BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menyaksikan Jeratan, Mendengar Jeritan: Keluh kesah Para Pekerja Kafe di Banyuwangi

Pekerja Kafe Banyuwangi
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
“Orang bisa menolak nasihat, namun tidak bisa menolak cerita.”
Anthony de Mello

Pena Laut - Sekedar untuk ngopi, orang-orang rela menunggu dengan sabar antrean yang panjang dan acap kali mejenuhkan ketika sepintas lalu dilihat. Kafe atau kedai kopi, seperti memiliki daya tarik magis tersendiri, sehingga mampu menarik minat berbagai kalangan; dari kawula alit sampai bendoro elit. Jika ditanya, mengapa mereka rela mengantre sampai berjejer-jejer laiknya pulau-pulau semacam itu, jawabannya akan mudah ditebak: mau ngopi. Soal mereka ternyata memesan Matcha atau Red Velvet, misalnya, itu hanya urusan selera dan teknis belaka. Tapi, secara paradoksal, toh mereka tetap menggunakan istilah “ngopi” saat hendak pergi ke kafe atau kedai kopi.

Belakangan, memang kemunculan kafe dengan konsep dan karakter yang variatif membuat sebagian besar masyarakat kita, utamanya generasi muda, sering hilir-mudik di kafe. Tujuan mereka, selain ngopi (juga disebut “ngafe”), tujuan mereka juga bermacam-macam: foto-foto, pacaran, buat konten, nugas, atau diskusi. Sehingga, keberadaan kafe, bisa dikatakan sebagai salah satu faktor pembentuk “tindakan sosial” generasi muda mutakhir. Apalagi, kafe-kafe yang “menjual” konsep ke-Barat-Baratan atau tradisional. Sudah pasti, kafe model semacam ini akan di-geruduk oleh para “seleb”. Sebab, menurut mereka, kafe tersebut masuk ke dalam kategori: instagramable.

Ketertarikan generasi muda terhadap kafe instagramable itu, tentu, adalah satu dari beragam gejala sosial yang terjadi saat ini. Namun, saya rasa, ada hal yang perlu ditilik secara lebih mendalam tentang kafe yang selalu memberikan kesan bahagia, ramah, estetik, dan terkadang sangat filosofis itu. Laiknya seorang dramaturg, tulisan ringkas ini berusaha untuk menampilkan realitas yang terjadi di luar panggung (baca: kafe). Kerap kali, realitas yang ada di luar kafe, tidak diketahui oleh pengunjung—untuk tidak mengatakan “diabaikan”.

Agar tidak terkesan bertele-tele, sepertinya saya perlu mengatakan ini: silahkan menyeduh kopi, siapkan beberapa batang rokok, dan membeli gorengan, kalau ada uang yang nyelip di saku. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selamat menikmati!

Sedikit (Sekali) Fasal Kopi, Ngopi, dan Kafe

Kita tahu, menurut sejarah yang mashyur, tentang kopi sejak akhir abad ke-16. Berkat para bule Belanda (VOC), tanah subur Nusantara mengenal kopi hingga saat ini. Mulanya, mereka membawa tanaman kopi Arabika. Alasan mereka membawa kopi Arabika karena ingin meruntuhkan monopoli Arab terhadap perdagangan kopi dunia. Tanah yang pertama kali ditanami kopi oleh Belanda menggunakan tangan, cucuran keringat, dan jerih payah nenek moyang kita adalah wilayah sekitar Batavia. Kemudian di Sukabumi dan Bogor. Karena saking tinggi permintaan pasar, mulailah mereka
mendirikan pabrik kopi di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Gambar I: Dua mandor perkebunan kopi (Belanda) dan pribumi

Model tanam paksa (cultuurstelsel) adalah kebijakan yang diberlakukan Belanda kepada pribumi kala itu.Apa yang mencolok pada pemberlakukan tanam paksa ini adalah, bahwa jalur usaha kolonial berjalan dari atas ke bawah dan sasaran yang dituju harus tercapai berapa pun harganya, tanpa memperhatikan beban yang (mungkin) melebihi kemampuan petani.[1] Mengenai hal ini, Michael Watts, memberikan perangkat analitis yang berpusat pada tiga hal, khususnya berkenaan dengan ekologi politik.

Pertama, bahwa kemiskinan, kerusakan alam, dan ketertindasan adalah tampilan saling menguatkan satu sama lain. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Kedua, gejala pengurasan, penghilangan hingga perusakan mutu alam yang mengancam umat manusia, terutama orang yang miskin dan tertindas, terjadi akibat pemujaan dan pemaksaan dari cara manusia melakukan produksi dengan segala kuasa dan proses sosial-politik yang mempengaruhi cara produksi. Ketiga, keterbatasan dan biasa kepentingan maupun ideologi yang dipegang (atau diidap) oleh berbagai pihak, baik yang menjadi sutradara, produser, aktor utama, pemain figuran maupun penonton yang menjadi korban atau penikmat, mau tidak mau menyadarkan kita bahwa terdapat ragam persepsi, definisi, analisis, kesimpulan hingga rekomendasi tentang data seputar perubahan lingkungan tersebut.[2]

Berkenaan dengan budaya ngopi, setidaknya masyarakat kita sudah lama melakukan hal tersebut sejak kopi dikenal di Nusantara. Di beberapa belahan dunia, kopi juga telah dikenal dan dinikmati secara luas. Di Eropa misalnya, kopi popularitas kopi menyeruak pada abad ke-16. Hal ini ditandai dengan kemunculan coffe house pertama di London pada 1652. Tak lama berselang, kedai kopi tersebut menjadi pusat diskusi politik dan sastra. Coffe house kemudian berkembang di Prancis dan Jerman pada abad ke-17 dan 18. Budaya ngopi di Eropa sangat dekat dengan budaya literasi (intelektual) saat itu. Pada Zaman Pencerahan (Aufklaruung) di Prancis, misalnya, terdapat kafe yang menjadi titik kumpul para cendekiawan atau filsuf yang bernama Cafe d’Alexandre.[3] Meski berada dalam kekuasaan seorang raja yang korup, Raja Louis XV, para filsuf tetap melakukan diskusi-diskusi kritis. Dengan kata lain, mereka ngopi sembari berfilsafat.

Selain di Eropa, budaya ngopi juga populer di Timur Tengah. Namun, budaya ngopi di Timur Tengah dengan Eropa berbeda. Bagi orang-orang sufi, ngopi tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas komsumtif belaka, melainkan sebagai aktivitas produktif dan spiritual. Terkait dengan kopi, Abdurrahman al-Husainy mempunyai pendapat, bahwa biji kopi baru ditemukan pada akhir abad ke-8 Hijriyah di Yaman. Penemu biji kopi tersebut ialah Syaikh Abu Hasan Ali asy-Syadziliy.[4]

Secara umum, para ulama (terutama para sufi) memiliki pandangan yang positif terhadap kopi. Ngopi, bagi mereka, tidak lain merupakan stimulan untuk membantu tetap terjaga selama meditasi dan doa.

Dari uraian di atas, dapat dipahami, bahwa kopi, budaya ngopi, dan tempat menjual kopi tidak lepas dari kegiatan masyarakat, terutama sebagai pendukung perumusan wacana kritis dan aktivitas produktif-spiritual. Tinjauan historis seperti ini perlu dilakukan secara serius guna memberikan wawasan dan perspektif lain dari mainstream budaya ngopi saat ini. Sehingga, dapat membentuk karakter generasi muda yang cakap, tidak gampang fomo (Fear of Missing Out), dan kritis.

Menengok Kembali: Kopi dan Tanam Paksa di Ujung Timur Jawa

Awal mula pembibitan kopi di Nusantara dilakukan saat Walikota Nicholas Witsen memerintahkan Gubernur Belanda di Pantai Malabar untuk mengirimkan kopi Arabika ke pelabuhan Batavia pada tahun 1690-an, di daerah Jakarta Timur. Upaya ini harus gagal akibat banjir. Setelah itu, penanaman kedua dilakukan pada 1696 dan disebarkan ke wilayah Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Banten, dan Priangan). Alhasil, pada 1711, untuk pertama kalinya VOC mengekspor kopi ke Eropa melalui pelabuhan Batavia. Di tanah Sunda inilah, kemudian diberlakukan suatu sistem yang kita kenal dengan istilah Sistem Priangan (Preangerstelsel).
Gambar II: Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937
Setelah perkebunan kopi di Priangan mengalami peningkatan, penyebaran dilakukan ke wilayah Jawa dan keresidenan Besuki. Lahan yang dijadikan uji coba ialah di Sukaraja, Banyuwangi. Pada tahun 1788, Residen Clement de Harris membuka lahan di hutan lereng Gunung Ijen untuk budi daya kopi. Lambat laun perkebunan kopi di Banyuwangi memberikan hasil yang memuaskan. Sehingga, Banyuwangi merupakan daerah yang berhasil dalam budi daya tanaman perkebunan di Jawa pada tahun 1818-1827.[5]

Pada awal 1818 adalah awal penanaman bibit kopi. Kemudian, dari penanaman tersebut baru memperoleh hasil pada tahun 1820. Masa keemasan produksi kopi di Banyuwangi pada 1829 hingga 1840. Dan setelah tahun 1840 terjadi kemunduran produksi. Secara kulminatif, penyelewengan laporan-laporan hasil perkebunan terjadi pada 1859. Akhirnya, pada 1865 perkebunan kopi milik pemerintah resmi ditutup.
Gambar III: Peta Residentie Besoeki - Afdeeling Banjoewangi 1883

Dari sistem tanam paksa yang terjadi di perkebunan kopi Banyuwangi ini, membuat masyarakat pribumi saat itu terbelenggu oleh kemiskinan dan penindasan sistemik (secara fisik maupun non-fisik). Karena pekerjaan merawat perkebunan tidak dibayar oleh pemerintah.

Hingga saat ini, beberapa daerah di Banyuwangi mampu menghasilkan kopi dengan kualitas terbaik. Antara lain: Kecamatan Kalibaru (perkebunan Malangsari) dengan luas lahan 2.600 hektar; Kecamatan Songgon; Kecamatan Licin; dan Kecamatan Kalipuro.[6]

Jeratan & Jeritan: Suara Para Pekerja Kafe di Banyuwangi

Kita sekarang banyak menemukan kafe-kafe di Banyuwangi yang amat cantik, megah, elegan, dan nampak instagramable. Dengan konsep yang beragam, kafe di Banyuwangi menyuguhkan hidangan dan pelayanan yang baik. Seolah-olah, kita tidak kesulitan mencari tempat fafifu, kencan, dan diskusi di Banyuwangi. Seperti daerah-daerah lain, Banyuwangi memiliki kafe dengan jumlah yang banyak. Dari kafe indoor maupun outdoor.

Para pemilik atau owner kafe di Banyuwangi melakukan segala cara untuk membuat usaha mereka ramai pengunjung. Kalau perlu dengan cara-cara irasional sekali pun (datang ke dukun, misalnya). Bahkan, seringkali mereka menggunakan kecantikan atau ketampanan seseorang—jika tidak mengatakan “menjual”—untuk menciptakan daya tarik kepada pelanggan (customer). Menurut analisis Naomi Wolf, seorang feminis Amerika Serikat, tindakan semacam itu disebut sebagai “industri kecantikan”—juga ketampanan. Bagaimana mitos kecantikan ini dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu.[7] Dalam konteks ini, untuk menciptakan daya tarik pelanggan kafe.

Beberapa waktu lalu kita sempat dibuat heboh dengan pengakuan seorang perempuan yang bekerja paruh waktu di salah satu kedai kopi di Banyuwangi. Perempuan itu bersuara di media sosial atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik kedai kopi tempat ia bekerja. Namun, akhirnya, masalah bisa terselesaikan dengan cara berdamai dan pelaku mengakui kesalahannya. Dari kasus tersebut, saya terdorong untuk sedikit menilik “kehidupan” kafe yang ada di Banyuwangi dengan melakukan wawancara kepada beberapa pekerja kafe.

Setelah saya melakukan wawancara kepada mereka, ternyata terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lebih jauh. Saya akan mengelompokkan berbagai hasil wawancara ke dalam tiga pembahasan: kerja dan upah, tingkah para pengunjung, dan lingkaran (circle) para pekerja kafe.

Gaji Ra Sepiro, Kerjo Ra Kiro-kiro

Dunia pekerjaan memang tidak selalu indah seperti poster yang ditampilkan. Apalagi mengenai sistem kerja dan upah yang diterima. Sampai detik ini masih banyak pekerjaan yang menjerat atau, meminjam istilah Marxian, mengalienasi para pekerja. Hal ini terjadi, salah satunya, di kafe. Telah mafhum bagi kita, setiap orang yang membuka usaha tujuannya satu: mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, mendapatkan keuntungan dengan cara “menekan” para pekerja, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Keadaan semacam itu dirasakan oleh Alifi (nama samaran; semua nama yang disebutkan sengaja disamarkan untuk menjaga identitas narasumber), seorang barista kafe, yang telah mengerahkan seluruh kemampuannya meracik kopi, namun merasa bahwa upah yang diterima tidak sebanding dengan kinerja terbaiknya.[8] “Kalau masalah upah buat saya pribadi kurang sebanding, apalagi saya dituntut untuk mengeluarkan kinerja terbaik saya,” ujar pemuda asal Desa Karang Sari, Kecamatan Sempu itu.

Bahkan, ia mengeluhkan manajemen yang diterapkan di kafe tempat ia bekerja dan sikap pemilik (owner) yang cenderung “semau gue”.

“Para pekerja di sini, termasuk saya, merasa tertekan oleh sikap pemilik kafe yang seenaknya sendiri. Misalnya, menuntut kami untuk meminimalisir komplain (zero complaint) dan mengeluarkan crew secara sepihak. Soalnya teman saya kemarin dikeluarkan tanpa keterangan yang jelas dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Dan manajemen kafe juga masih kurang baik,” terang Alifi (24).

Seorang barista kafe di Banyuwangi bagian utara bernama Fahmi (21) juga merasakan hal yang sama. “Antara jam kerja dan upah yang saya terima, menurut saya, masih belum sebanding. Apalagi kerjanya juga lumayan berat, karena saya tidak hanya membuat kopi saja, tapi juga harus mengerjakan hal lain,” kata barista kelahiran Bedewang, Songgon itu dengan tatapan yang penuh harap.[9]

Selain upah yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang harus dilakukan, para pekerja tersebut juga mendapatkan tekanan dari manajemen kafe yang mengejar target. Bayangkan, bagaimana mereka berjuang di dalam “jeratan” yang sebenarnya tidak mereka kehendaki. Namun karena kehidupan memaksa mereka untuk melangsungkan hidup, mau tidak mau, suka atau tidak suka, pekerjaan itu tetap mereka lakukan; untuk sesuap nasi dan menambal kebutuhan lainnya.

“Tertekan dengan target omset yang tinggi, dan kurangnya karyawan yang ada di tempat saya kerja, sehingga keteteran. Malahan, kalau target tidak tembus, upah bulanan tidak (segera) cair,” demikian ujar Fila (21), seorang perempuan asal Glenmore.[10]

Dalam keadaan demikian, mereka tetap harus profesional melakukan pekerjaan. Terjerat oleh sistem yang diberlakukan, menjerit karena upah yang diberikan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kesabaranlah yang membuat mereka tetap bertahan hingga detik ini.

Tingkah polah Para Pengunjung

Sudah dijelaskan di muka, bahwa sekarang banyak orang (khususnya anak-anak muda) yang sering melakukan aktivitas di kafe. Entah mereka nongkrong, kencan dengan pacar, atau mengadakan diskusi-diskusi kecil. Namun tidak sedikit pula yang duduk seorang diri untuk menghilangkan kepenatan yang dialami. Di Banyuwangi, bisa kita ketahui kafe-kafe yang setiap hari ramai pengunjung, dari Banyuwangi bagian selatan sampai utara. Banyaknya pengunjung disebabkan oleh beberapa hal: pelayanan yang baik, konsep kafe yang estetik dan instagramable, tempat yang nyaman, waitress yang menarik, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, pernahkah kita berusaha mencari tahu, bagaimana perasaan para pekerja kafe yang menghadapi pengunjung dari berbagai bentuk dan karakter itu? Meski hal itu adalah konsekuensi dari pekerjaan mereka. Tapi, bagaimanapun, mereka juga manusia. Tidak ada perbedaan atau bahkan kesenjangan “kelas” di antara customer dan waitress. Berkenaan dengan tingkah laku para pengunjung kafe, Bale (25) sangat menyayangkan para pengunjung yang “sok seleb” dan sombong.

“Saya sudah bertemu pengunjung dengan berbagai macam sifat dan karakter, Mas. Sebenarnya sih saya tidak terlalu peduli dengan sifat mereka. Tapi, mbok ya jangan terlalu sombong dan seenaknya sendiri. Pernah saya dikomplain pengunjung gara-gara musik yang diputar di kafe dan makanan yang tidak segera datang. Padahal, sebelumnya kami sudah memberitahu mereka, kalau pesanan datang sesuai antrean,” ucap seorang barista yang sudah melanglang buana di dunia kafe itu.[11]

Selain itu, tingkah polah para pengunjung yang membuat para pekerja kafe “geleng-geleng kepala” ialah tidak segera pulang ketika kafe sudah hampir tutup, menyerobot antrean, membuang sampah tidak pada tempatnya (puntung rokok, misalnya), dan berkomentar terhadap kinerja pelayan dengan nada sinis. Soal yang terakhir ini, pernah dialami oleh pekerja kafe di salah satu daerah di Banyuwangi.

“Kalau tingkah laku pengunjung yang buat aku ngerasa gak enak itu, sering dikatain judes sama customer cewek. Padahal aku sudah berusaha menampilkan wajah yang sumringah, tapi nggak tahu ya, kenapa mereka mengatakan demikian,” jelas Firda (22) yang bekerja di kafe tepi sawah itu.[12]

Mereka semua memberikan pesan kepada para customer satu hal: ngono yo ngono ning ojo ngono!

Mencemari Solidaritas dengan Senioritas

Setelah memaparkan keadaan para pekerja (dari segi upah dan kerja) dan tanggapan mereka mengenai tingkah laku pengunjung, pada bagian ini akan menguraikan pandangan tentang lingkaran (circle) anak-anak kafe.

Kesan yang sering muncul di benak kita terhadap anak-anak kafe ini ialah keren, menarik, kekinian, dan lain sebagainya. Namun di balik kesan itu, ternyata terdapat berbagai persoalan dasar yang justru mencemari circle dan solidaritas anak-anak kafe. Menurut pengakuan Bale, selama ia berkecimpung di dunia perkopian, terdapat “budaya” yang justru membunuh karakter dan solidaritas anak-anak kafe. Bahkan ia sering melihat kompetisi yang tidak sehat di antara anak-anak kafe; saling menjatuhkan, misalnya.

“Ada senioritas di dalam lingkaran anak-anak kafe. Bahkan, saya melihat kompetisi yang tidak sehat di tempat saya bekerja. Kasarnya, saling menjatuhkan satu sama lain, Mas. Entah karena tidak cocok secara pribadi, atau karena suatu hal,” cetus barista periang itu.

Senada dengan pengakuan Bale di atas, seorang barista kafe Kota Atap, Alifi, mempunyai pandangan yang sama. Ia melihat ada beberapa circle yang merasa memiliki kedudukan lebih tinggi (karena lebih dulu berkecimpung di dunia kopi) daripada yang lain. “Memang ada beberapa circle yang menganggap diri mereka sebagai senior,” terang Alifi yang sampai saat ini menjadi barista satu-satunya di kafe tempat ia bekerja.

Hal yang juga sering dialami para pekerja kafe ialah godaan atau pelecehan verbal, terutama pekerja kafe perempuan. Meskipun apa yang mereka terima merupakan konsekuensi pekerjaan, namun tidak sepatutnya mereka mendapatkan tindakan yang merugikan dan kurang pantas tersebut. Salah seorang pekerja kafe perempuan di Banyuwangi mengaku pernah mendapatkan perlakuan yang membuat dirinya tidak nyaman saat bekerja di kafe.

“Biasanya kalau ada teman-temannya owner, mereka nggoda-nggoda gitu. Bahkan dulu aku hampir mendapat perlakuan yang tidak terpuji oleh salah satu owner kafe di Banyuwangi. Untungnya, aku bisa menghindar dengan berbagai alasan,” kata perempuan muda asal Sempu itu.

Dari beberapa pengakuan di atas, setidaknya kita dapat sedikit menengok keadaan lingkaran anak-anak kafe di Banyuwangi. Tentunya, tidak semua pemilik atau pekerja kafe memiliki perilaku demikian. Akan tetapi hal-hal di atas perlu menjadi bahan renungan kita bersama. Sebagai manusia, yang memiliki tugas “menjadi manusia” sekaligus “memanusiakan manusia” lainnya.

Akhir kata, tulisan ini hanyalah pemantik obrolan di kafe atau kedai kopi atas persoalan yang terjadi di sekitar kita. Besar harapan saya, topik ini dijadikan bahan obrolan atau diskusi ringan di kafe-kafe langganan sampean semua. Sekian. Mohon maaf dan terima kasih.

Salam pembebasan!


Rujukan
1. Lihat Jan Breman, Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Terj. Jugiarie Soegiarto, Christina Suprihatin, & Indiria Ismail. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014

2. Lihat Razif, dkk, Sejarah/Geografi Agraria Indonesia. Yogyakarta: STPN Press, 2017

3. Lihat F. Budi Hardiman, Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius, 2020.

4. Lihat Robingun Suyud El Syam & Muhamad Yusuf Amin Nugroho, Makna Filosofis Dalam Secangkir Kopi Kehidupan. Journal of Creative Student Research (JCSR). Vol. 1, No. 5 Oktober 2023

5. Lihat Fachri Zulfikar & Purnawan Basundoro, Perkebunan Kopi di Banyuwangi Tahun 1818-1865. Verleden: Jurnal Kesejarahan. Vol. 11. No. 2, Desember 2017

6. Lihat tulisan Fareh Hariyanto, 4 Kecamatan Penghasil Kopi Terbaik di Banyuwangi tahun 2022 di Mojok.co https://mojok.co/terminal/4-kecamatan-penghasil-kopi-terbaik-di-banyuwangi/ (diakses pada 3/10/2024); atau Switzy Sabandar, 4 Kecamatan Ini Menjadi Penghasil Kopi Terbaik di Banyuwangi tahun 2022 di Liputan6.com https://www.liputan6.com/regional/read/5061200/4-kecamatan-ini-menjadi-penghasil-kopi-terbaik-di-banyuwangi (diakses pada 3/10/2024).

7. Lihat Naomi Wolf, The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. London: Chatto & Windus, 1990; Naomi Wolf, Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Terj. Alia Swastika. Yogyakarta: Niagara, 2004

8. Wawancara dengan Alifi (24) pada 20 September 2024

9. Wawancara dengan Fahmi (21) pada 27 September 2024

10. Wawancara dengan Fila pada (21) 24 September 2024

11. Wawancara dengan Bale (25) pada 20 September 2024

12. Wawancara dengan Firda (22) pada 6 Oktober 2024

Sumber Gambar
1. Gambar I: Koran Sulindo
https://koransulindo.com/kopi-jawa-dari-coba-coba-sampai-tanam-paksa/ (diakses pada 4/10/2024)

2. Gambar II: Kompas.com https://www.kompas.com/skola/image/2021/02/02/154907069/penyimpangan-sistem-tanam-paksa-di-indonesia (diakses pada 4/10/2024)

3. Gambar III: Banjoewangie Tempo Doeloe,
https://www.facebook.com/banjoewangitempodoeloe/posts/ini-peta-/3108000912561643/ (diakses pada 4/10/2024)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak