BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menggugat Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan

Antroposentrisme dan Krisis Lingkungan
Pena Laut - Salah satu permasalahan yang paling monumental pada akhir abad ini adalah permasalahan lingkungan. Menurut beberapa pakar ekologi menyebut kerusakan lingkungan sering kali menjadi petanda lemahnya moral manusia, karena mereka beranggapan bahwa alam semesta diciptakan untuk mendukung kebutuhan manusia dalam melanjutkan perjalanannya, tanpa memperdulikan dampak dari buah pemikirannya yang dapat menyebabkan kualitas lingkungan semakin buruk, bahkan tidak berfungsi kembali sebagaimana mestinya. Tak ayal ketidakadilan terhadap alam yang diakibatkan oleh dominasi pandangan tersebut membuat beberapa belahan dunia mengalami deforestasi, polusi dan perubahan iklim.
Berangkat dari anomali tersebut, sebagaimana menurut Resmussen yang dikutip oleh Mary Evelyn dan John A Grim mengatakan akar dari segala permasalahan lingkungan diduga berawal dari filsafat antroposentrisme, yakni teori etika lingkungan yang memandang pusat alam semesta adalah manusia, sehingga kepentingan manusia merupakan hal yang paling menentukan dalam pengambilan suatu kebijakan.
Tentu sudut pandang ini telah lama mengakar di pikiran sebagian manusia, bahkan kemungkinan secara tidak langsung kita sendiri juga mengilhaminya dalam berinteraksi dengan alam. Parahnya lagi pandangan ini tidak hanya mengabaikan hak-hak makhluk hidup disekitar kita, tetapi mengabaikan kenyataan bahwa manusia juga bergantung pada keseimbangan ekologis untuk keberlangsungan hidupnya sendiri.
Hal ini bisa kita saksikan dari beberapa kasus di wilayah Indonesia termasuk permasalahan pada kawasan hutan Ake Jira. Dimana PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang disinyalir sebagai perusahaan pertambangan pengelolaan mineral dan produksi komponen baterai kendaraan listrik, justru merusak dan merampas ruang hidup masyarakat yang berada di sekitar sana, padahal di kawasan tersebut merupakan tempat bergantungnya masyarakat adat.

PT IWIP sendiri juga telah melanggar prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), yaitu persetujuan bebas tanpa paksaan atas dasar informasi dari segala tindakan yang mempengaruhi tanah, wilayah, serta sumber daya alam masyarakat. Hal ini berdampak pada kerusakan hutan dan sumber air di kawasan tersebut ikut terganggu. Dengan permasalahan yang terjadi antara perubahan lingkungan dengan perusahaan tambang tersebut, membuktikan adanya indikasi mementingkan kepentingan manusia tanpa mengacu pada kelestarian dan hak asasi lingkungan dalam penalaran rasional ekologis manusia.

Maka penting bagi kita untuk melihat isu ini dalam segi antroposentrisme. Karena dari terminologi tersebut kita dapat melacak sifat kekerdilan manusia atas perbuatan serakahnya, ketamakan, dan semena-mena tanpa bertanggung jawab terhadap keseimbangan ekosistem makhluk hidup lainnya. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir praktek yang keliru dan intervensi berlebihan manusia dengan alam.

Antroposentrisme sebagai Krisis Lingkungan

Mekanisme kerusakan lingkungan disebabkan karena terjadinya kepincangan dan ketidakseimbangan dalam sistem kerja alam. Apabila dikaitkan dengan antroposentrisme yang memandang keberadaan alam hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka kerusakan alam yang terjadi disebabkan karena ulah manusia dan baginya perbuatan ini seakan akan dianggap sebagai hal yang wajar.

Basic antroposentrisme sendiri terbangun dari 3 persepsi, yakni memandang alam sebagai sumber kehidupan yang tidak terbatas, manusia sebagai makhluk ekslusif, dan alam sebagai sesuatu yang perlu dikuasai. Pandangan ini yang mendorong watak manusia ke alam bawah sadarnya bahwa mereka merasa proaktif terhadap perbuatan eksploitasi yang telah mereka lakukan.

Terdapat beberapa watak manusia yang tidak bisa dipisahkan dari antroposentrisme, yaitu pertama pandangan yang beranggapan bahwa alam terbentang luas dan tidak akan pernah habis sehingga setiap orang dengan leluasa memanfaatkannya. Kedua, etika ingin terus maju. Artinya manusia tidak pernah puas dengan segala hal yang dimiliki sehingga membuat para korporasi perusahaan dengan gencar mengorientasikan penuh produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan mengambil sumber daya alam untuk di eksploitasi.

Ketiga, mendorong sifat materialism, yakni pemahaman yang menjadikan kepemilikan benda dan harta sebagai tolak ukur keberhasilan. Dan yang terakhir, individualism, yakni sikap dan keyakinan yang menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian di pihak lain. Terlepas dari hal tersebut ideologi pembangunan juga memicu kegiatan eksploitatif, karena strategi pembangunan sebagai salah satu asas memperoleh keuntungan dalam akumulasi kapital untuk memanfaatkan seluruh SDA masuk kedalam produksi komoditas ekonomi pasar. Dengan demikian keberlanjutan lingkungan menjadi aspek yang terabaikan. 

Konsekuensi Pandangan Antroposentrisme

Pandangan antroposentrisme ini memiliki dampak yang signifikan terhadap keadaan lingkungan secara global. Tak terelakkan keadaan dunia saat ini sedang menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah. Seperti pemanasan global, kepunahan spesies, kebakaran hutan, pencemaran air udara dan tanah. Lebih serius pandangan antroposentrisme tidak hanya berbahaya bagi alam tetapi bagi manusia sendiri. Karena dampak yang tengah dihadapi juga dapat mengancam nyawa manusia termasuk dari gangguan kesehatan dan keamanan tempat tinggal.

Terhitung dari dekade terakhir, menurut Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNBP) melaporkan ada 1200 bencana alam yang terjadi di Indonesia, dan yang paling mendominasi bencana tersebut ialah hidrometeorologi; artinya peristiwa banjir dan pencemaran air ini merupakan dampak paling signifikan yang perlu kita.

Selain itu BNBP juga mendata dampak dari bencana alam yang terjadi saat ini mengakibatkan 41.224 bangunan mengalami kerusakan, 411 orang meninggal, dan lebih dari 4 juta orang menderita. Deretan angka tersebut bukanlah angka angka yang cukup dipandangi lalu diabaikan, perlu adanya tindakan intensif untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan meminimalisir bencana alam yang akan terjadi.

Membangun Tawaran dan Solusi

Menghadapi kondisi tersebut sebagian besar orang lebih berharap pada perkembangan sains dan teknologi untuk menghadirkan solusi daripada membatasi pola konsumsi dan pola produktif mereka sendiri. Memang kecanggihan teknologi dapat membantu mengatasi permasalahan lingkungan, dengan pengelolaan industrial baru yang berbasis perkembangan lingkungan. Seperti daur ulang sampah menjadi paving block, penggunaan teknologi desalinasi, dan pembangunan teknologi terbarukan yang ramah lingkungan lainnya. Akan tetapi hal ini tidak cukup untuk menghentikan siklus kerusakan dan degradasi lingkungan yang terus berlangsung. Maka perlu bagi kita untuk memulihkan ekosistem dan menjaga keseimbangan lingkungan secara komprehensif dan berkelanjutan.

Mengikuti pendapat Naes, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi melalui perubahan cara pandang dan tindakan setiap individu masyarakat terhadap alam secara fundamental. Artinya dibutuhkan pola pikir baru dalam menuntun etika lingkungan hidup yang lebih koheren dalam berinteraksi antara manusia dengan alam semesta.

Kerusakan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan teknologi saja, akan tetapi tanggung jawab moral disetiap individu, pemerintah, komunitas global, dan perusahaan, turut bersikap andil dalam memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil memperhatikan keberlanjutan ekosistem lingkungan. Langkah kecil dalam upaya konservasi lingkungan ialah kesadaran individu dalam memahami bahwa kita bukanlah penguasa yang absolut, tetapi bagian dari alam yang kompleks.


Oleh: Novia Ulfa Isnaini (Mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak