Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan: “Ketika seorang politis tidak mengenal Multatuli, praktis berarti ia tidak mengenal Humanisme dan bisa menjadi politis yang kejam.” Demikianlah, background dalam buku Max Hevelaar mengisyaratkan kegundahan penulisnya ketika menemukan sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh kolonial Belanda kepada petani-petani Indonesia. Buku ini hadir sebagai kritik atas sistem yang menyalahi harkat kemanusiaan tersebut. Karenanya buku ini laiknya pengantar bagi pemangku jabatan kekinian untuk menghayati setiap kebijakan agar berakar pada nilai-nilai humanism dan egalitarianism.
Sebelum mengulas lebih jauh, Multatuli bukan satu satunya dan bukan orang pertama yang mensinyalir dan menggugat keadaaan buruk yang sudah lama berjalan di Hindia Belanda, namun disebelumnya sudah ada gerakan gerakan sosial dari masyarakat yang mempropagandakan perlawanan terhadap penjajah kala itu seperti perlawanan yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, dan Pattimura. Didorong oleh perfoma Kepribadian Multatuli yang spontan, jujur, tegas, Ia berani mengeritik perlakuan buruk dari penjajah terhadap orang pribumi, meskipun dirinya bukanlah orang asli Hindia belanda. Multatuli sendiri diangkat sebagai pegawai pemerintah Belanda, yakni menjadi Asisten Residen Lebak Banten. Ia dilantik oleh Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist pada tanggal 04 January 1856. Sayangnya, Multatuli memilih mengundurkan diri setelah berselisih paham dengan pejabat kolonial lainnya.
Secara idealis, Max Havelaar merujuk pada praktik perdagangan kopi yang dilakukan oleh Belanda pada masa kolonial di Hindia Belanda. Max Havelaar merupakan bagian dari simbol “lelang kopi maskapai dagang Belanda”, dimana lelang kopi menjadi komoditas utama untuk memperoleh keuntungan besar dari hasil kerja keras dan penderitaan rakyat pribumi. Buku ini terdiri dari 20 bab yang ditulis menggunakan bahasa Belanda dan telah diterjemahkan kedalam lebih dari 40 bahasa. Bahkan penulis sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer merujuk buku ini ke dalam The New York Times sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”.
Pada mulanya buku ini mengisahkan kehidupan seorang Batavus Droogstopel dan hubungannya dengan Havelaar. Droogstopel adalah seorang makelar kopi yang diminta Havelaar untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Dalam tulisannya, Havelaar menulis ihwal kondisi Hindia Belanda atas kekejaman sistem tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi mengalami kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan tak terperi.
Multatuli menjelaskan secara gemblang tentang sifat sifat munafik yang dilakukan oleh aparat Bumiputera. Demi jabatan mereka rela menindas rakyatnya sendiri sama seperti yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Selain menajali laku hidup yang mewah serta boros, aparat Bumiputra juga tega mengeksplitasi tenaga dan harta rakyat secara sewenang-wenang. Rakyat pribumi dipaksa untuk menggarap lahan para feudal dan meninggalkan lahannya sendiri. Feodalisme yang menggurita kian mendiskreditkan rakyat serta mengungkung mereka dalam jeruji ketidakberdayaan.
Selain itu, buku ini juga mengulas kisah romance dari Adinda dan Saijah, sepasang kekasih yang mengalami penderitaan akibat tekanan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Adinda Dan Saijah adalah petani yang memiliki banyak kerbau, akan tetapi kerbau-kerbau yang menjadi tumpuan hidup tersebut dirampas satu-persatu oleh para pejabat untuk membayar pajak. Pada akhrinya Adinda tewas dengan meninggalkan luka yang mengerikan akibat disiksa oleh para serdadu Belanda.
Max Havelaar tidak hanya menceritakan serangkaian kisah kekejian kolonial Belanda dan kisah pilu dari Adinda dan Saijah. Buku ini juga memuat fakta historis bahwa penindasan terhadap rakyat tidak dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda semata, melainkan oleh para pejabat dari kalangan pribumi sendiri.
Biarpun kejadian di Lebak jauh di belakang kita, tetapi nilai-nilai esensial dari karya Multatuli tetap relevan hingga saat ini, di mana kolonialisme dan feodalisme hadir dengan wajah yang baru. Pun buku ini menekankan pada kita moral kemanusiaan, “Panggilan manusia ialah mewujud sebagai manusia.” Sudah sepatutnya tindakan-tindakan semacam penindasan, kekerasan, dan kesemena-menaan ditanggalkan demi kemanusiaan.
Disamping kelebihan yang dimiliki, buku ini tentu tak terlepas dari kekurangan didalamnya. Walaupun hal ini bersifat subjektif dari penulis dan relatif dari pembaca, beberapa kekurangan dari buku ini diantaranya ialah terdapat beberapa kata yang sulit dipahami transliterasinya. Maklum Max Havelaar merupakan karya yang ditulis dengan Bahasa Belanda. Hal ini menyebabkan pembaca harus teliti bahkan mengulangi bacaannya. Selain itu genre yang dimainkan berupa sejarah Indonesia yang tidak semua orang menyukai buku dengan background sejarah.
Secara holistic, Max Havelaar merupakan karya yang sangat kritis dan inspiratif. Melalui tragedi-tragedi yang dinarasikan begitu baik, Multatuli seakan mengajak kita untuk menghargai betapa kemerdekaan hari ini tidak pantas untuk disia-siakan adanya. Sebuah novel yang sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang tertarik terhadap sejarah kolonial, kritik sosial, dan perjuangan moral. Selamat membaca!
Oleh : Novia Ulfa Isnaini ( Mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember)
Identitas Buku
Judul buku : Max Havelaar
Penulis : Multatuli atau Eduard Douwes Dekker
Penerjemah : H.B Jassin
Penerbit : Media Pressindo
Tahun terbit : 2018
Tebal : 430 halaman
Judul buku : Max Havelaar
Penulis : Multatuli atau Eduard Douwes Dekker
Penerjemah : H.B Jassin
Penerbit : Media Pressindo
Tahun terbit : 2018
Tebal : 430 halaman
Posting Komentar