“Tapi apakah ibu memiliki uang? Aku tidak ingin memberatkan ibu. Aku bisa mencari jurusan lain yang lebih murah. Farmasi misalnya…”
“Selama kamu serius mengejar cita-citamu, Tuhan pasti akan memberi jalan. Termasuk untuk membiayai kuliahmu,” timpal ibu sembari pandangannya tetap mengarah ke oseng-oseng tempe yang dimasaknya.
Aku tinggal berdua dengan ibuku di rumah sederhana yang kami tempati. Aku anak semata wayang. Ayahku meninggal dunia saat aku masih kelas 3 SD karena kecelakaan di jalan tol ketika ia menyupiri keluarga bosnya yang cina itu saat hendak liburan di pantai yang jauh. Sialnya, dari total enam penumpang yang berada di mobil naas itu, cuma ayahku yang mati. Saksi mata mengatakan, ayahku sengaja mengorbankan dirinya dengan membanting stir sehingga bagian truk yang melaju dari arah berlawanan tepat mengenai sisinya. Seminggu setelah kejadian, bos ayah sempat datang ke gubuk kami, memberi uang ganti rugi nyawa ayahku. Sepuluh juta. Jumlah yang sangat banyak bagi keluarga kami. Ayah harus lima kali gajian untuk memperoleh uang sebanyak itu, tapi keluarga mana yang mau ayahnya dibeli sepuluh juta? Sejak peristiwa itu aku selalu membenci jalan tol, liburan, dan tentu saja: orang cina.
“Dela, belikan beras di Koh Ahong! Beras kita habis. Ibu lupa mengeceknya.”
Aku tak pernah keberatan melakukan segala perintah ibu. Semua kulakukan sepenuh hati, kecuali perintah untuk membeli sembako di kelontong Koh Ahong. Sialnya, perintah itu justru yang paling sering. Setiap hari ibu selalu menyuruhku belanja ke Koh Ahong. Minyak, gas elpiji, galon, beras, tepung terigu. Dari kebutuhan dapur hingga kebutuhan remeh temeh, semuanya tersedia di kelontong Koh Ahong.
“Beras, Koh. Dua kilo,” kusodorkan selembar lima puluh ribuan.
Koh Ahong menatap uang dari balik kacamatanya yang kedodoran. Dahinya mengernyit, untuk memastikan bahwa uangku benar-benar lima puluh ribu, bukan lembar dua ribu keluaran terbaru yang warnanya serupa. “Kau sudah lulus SMA ya, Del?”
“Iya, Koh.”
“Kuliah jurusan apa?”
“Kedokteran, Koh.”
Koh Ahong menyeringai. “Bagus. Jadilah dokter. Angkat martabat Suparni. Buat bangga Sugeng di surga, biar matinya nggak sia-sia.”
Dasar cina sialan, umpatku. Memang begitulah karakter Koh Ahong. Ia gemar menasehati orang lain sekaligus mencelanya. Kuperhatikan lamat-lamat mukanya: kepala botak dengan rambut tipis putih, lima baris keriput di dahi, sepasang mata sipit yang seolah tak kuasa untuk sekedar mengangkat kelopaknya, serta sebuah gigi perak ikoniknya yang kalau beruntung, lawan bicaranya akan mendapat pantulan sinar mentari dari sana. Umurnya sudah tua sekali. Mungkin tujuh puluhan. Sepertinya tak lama lagi orang ini akan mati, pikirku.
“Sampaikan ke ibumu, harga beras naik lagi. Sekarang tujuh belas ribu sekilo.” Koh Ahong menyodorkan beras dan uang kembalian.
“Iya,” jawabku singkat sambil segera berlalu dari hadapannya. Bukannya aku tak ingin memprotes kenaikan harga beras. Aku hanya malas meladeni perdebatan dengan Koh Ahong. Seperti cina lainnya, ia pandai bersilat lidah. Pernah sekali aku mendebatnya gara-gara harga gas melon naik lima ribu. Aku protes dan mengatakan kepadanya bahwa ia mencekik pembeli. Lantas aku membandingkannya dengan harga gas melon di toko Ammar, toko kelontong di kecamatan, yang jauh lebih murah.
“Kalau begitu sana kau pergi ke toko Ammar! Jangan beli di sini. Aku pedagang yang berbisnis. Halal. Transparan. Ada kenaikan harga, aku beri tahu. Aku tak menipu. Kalau kau tak setuju dengan harga yang kupatok, silakan cari toko lain. Beres. Aku juga tak mau memaksa calon pembeli,” ucapnya kala itu. Sebelum pergi, aku membalasnya dengan mengumpat bahwa orang kikir matinya cepat.
Kejadian waktu itu kuceritakan kepada ibu dengan penuh emosi. Ibu memintaku untuk bersabar. Tidak apa-apa, katanya. Faktanya, kelontong Koh Ahong adalah satu-satunya toko sembako di desa kami. Toko serupa terdekat adalah toko Ammar yang berada di kecamatan, memerlukan waktu sepuluh menit untuk ke sana dengan motor. Aku bilang ke ibu bahwa ada baiknya sesekali kita belanja di toko Ammar saja, hitung-hitung sebagai pelajaran buat Koh Ahong. Tapi ibu menolak usulku. Tidak apa-apa, anggap saja kita sedang membantu tetangga yang berdagang, kata ibu. Aku tak bisa menolaknya. Mulai saat itu aku tak pernah lagi memprotes dan menceritakan keluh kesah kenaikan harga di kelontong Koh Ahong sebab jawaban ibu pasti akan selalu sama: tidak apa-apa.
***
Desa kami terkenal dengan sebutan desa janda. Bukan isapan jempol. Ada ratusan janda yang menghuni desa kami, termasuk ibuku. Janda terbaru adalah Mbak Ratih, usianya baru dua puluh tiga tahun, anak satu. Seminggu yang lalu, suaminya meninggal di perantauan, di Malaysia, karena terkena tumor ganas. Aku sering kali merenung mengapa banyak janda di desa kami? Apakah ini sebuah kutukan atau azab dari Tuhan? Kalau iya, karena apa? Ah, mungkinkah gara-gara di desa kami ada seorang pedagang yang super kikir dan cina itu? Entahlah. Aku segera membuang jauh-jauh pikiran nakalku saat teringat larangan suudzon dari ceramah Ustadz Gunadi di Youtube.
Banyaknya janda juga berarti banyak anak yatim. Walau begitu, jangan pernah membayangkan bahwa anak-anak yatim di desa kami tak terurus. Janda-janda di desa kami benar-benar tangguh. Mereka akan melakukan apa saja demi kesuksesan anaknya, seperti ibuku. Ibuku, bersama para janda lainnya, membentuk komunitas pengrajin bantal dan kasur kapuk–atas inisiasi Bu RT. Desa kami gersang. Hanya segelintir orang yang menggarap sawah, sisanya kalau tidak menjadi kuli bangunan–bagi para pria–ya menjadi pengrajin kasur. Satu-satunya hasil alam yang bisa diandalkan dari desa kami adalah pohon randu yang melimpah. Dari situlah masyarakat desa kami hidup. Beberapa pria yang tak kuat hidup miskin dan ingin mengubah masa depan keluarga mencoba peruntungan dengan pergi merantau, ke Jakarta dan ke Malaysia. Tapi nasibnya sama saja, tak berubah. Beberapa orang bahkan bernasib seperti Mas Aji, suami Mbak Ratih. Mati di perantauan dan hanya pulang nama. Meninggalkan anak istri berjuang hidup sendiri.
Kalau ada pengecualian, maka itu adalah Koh Ahong. Ia benar-benar mewakili definisi minoritas di desa kami. Kaya, cina, mualaf, duda, dan kikir. Semua atribut itu hanya dimiliki Koh Ahong. Konon ia bercerai dengan istrinya gara-gara pindah agama. Dengan istrinya, ia tak punya anak. Koh Ahong tak menikah lagi dan memutuskan untuk mengangkat anak dari desa kami yang ibu-bapaknya mati. Herman, anak angkat Koh Ahong itu sepantaranku. Ia juga sekolah di tempat yang sama denganku. Suatu ketika aku pernah iseng bertanya kepada Herman apakah ayah angkatnya itu juga pelit kepadanya? Ia hanya mengangguk kecil. Selain memonopoli toko sembako, Koh Ahong juga memiliki hamparan tanah berhektar-hektar yang ditanami pohon jati. Meski begitu, tempat tinggal Koh Ahong yang ia diami bersama Herman sangat sederhana, selevel dengan rumah kebanyakan penduduk di sini. Padahal mudah saja baginya untuk membangun rumah tingkat tiga dengan taman-taman bunga dan kolam renang seperti di film-film. Entah mengapa ia tak melakukannya. Katanya, orang cina selalu dididik begitu: tempat tinggal secukupnya saja, yang penting aset bisnisnya menggurita. Isi pikirannya hanya cuan, cuan dan cuan. Karena kikirnya yang minta ampun itu, aku sering memberi julukan Kelontong Mehong Koh Ahong. Tentu saja tidak kukatakan di depan orangnya langsung.
***
Aku tak pernah bertanya kepada ibu berapa penghasilan seorang pengrajin kasur dan bantal kapuk. Sekalinya bertanya, ibu hanya menjawab bahwa itu cukup untuk menyekolahkanku. Benar saja, sejak lulus SD, aku selalu mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah favorit yang biayanya tak murah. Teman sebayaku, Rindi dan Nur yang ibunya juga seorang janda sama seperti ibuku, juga mampu belajar di sekolah mahal. Mbak Reni, yang juga anak seorang janda, bahkan sudah menjadi arsitek dan sekarang kerja kantoran di Jakarta, tiap bulan mengirim ibunya uang jutaan untuk hidup dan biaya sekolah dua adiknya. Inilah yang kubanggakan dari desa kami. Perempuannya berdaya dan tak bergantung pada lengan para lelaki. Di sini jarang sekali ada janda yang menikah lagi. Bagi mereka, susah pahit menghidupi anak adalah sebentuk pengorbanan mulia yang harus dijalani dengan berani.
“Benarkah ibu akan menguliahkanku di kedokteran? Biaya gedungnya saja tiga puluh juta, Bu…,” kataku sembari menyimak brosur online kampus impianku dari layar gadget. Aku harus memastikan lagi kepada ibu agar ia tidak kaget dengan biaya kuliah kedokteran yang mahal.
“Tidak apa-apa, Del. Kalau kampus itu memang menjadi takdirmu, Tuhan akan mempermudah jalan masuk ke situ. Ibu akan usahakan.” Ibu menoleh dan tersenyum tipis kepadaku sebelum segera beralih ke wajan penggorengannya.
“Terima kasih, Bu,” balasku penuh haru. Sudah kukira, ibu pasti akan menjawab dengan tidak apa-apa dan ibu akan usahakan. Aku sering diam-diam berterima kasih kepada Tuhan karena telah memberiku ibu yang baik seperti ibuku. Entahlah apa jadinya aku tanpa ibu. Terkadang aku membayangkan bagaimana kelak jika ibu mati? Apakah aku bisa menjadi ibu yang tangguh seperti ibuku? Andai Tuhan membebaskanku memilih orang tua, aku akan tetap memilih ibuku meski tak punya ayah.
“Del, belikan minyak goreng di Koh Ahong, ya. Dua liter,” pinta ibu dari dapur. Aku bergegas menuruti permintaanya.
Baru tiga langkah aku keluar rumah, terdengar suara dari speaker surau, “Telah meninggal dunia pada hari ini, tepat pukul tujuh pagi, Bapak Riziq Sulaiman alias Koh Ahong…,”
Pengumuman itu diulangi sebanyak tiga kali. Aku tercekat dan bingung: entah aku harus bahagia atau sebaliknya. Diam-diam aku bahagia jika ia mati. Toko kelontongnya akan dijalankan oleh Herman, pikirku. Harga sembako pasti jadi murah dan masuk akal, aku tahu watak Herman dan kenal baik dengannya. Ia tidak akan mewarisi sifat kikir Koh Ahong. Tapi aku juga sedih karena hari ini kelontong Koh Ahong tutup dan aku harus mencari minyak goreng di kecamatan.
Sepulang dari toko Ammar, aku segera masuk ke rumah. Hendak menyampaikan kabar kepada ibu bahwa Koh Ahong sudah mati. Setelah kucari-cari di dapur dan kamar, rupanya ibu tak ada. Mungkin ia pergi ke surau karena sebentar lagi masuk waktu shalat dzuhur, sangkaku. Aku cepat berganti pakaian dan menyusul ibu ke surau.
Orang-orang ramai di surau. Mungkin ada ribuan orang, bahkan lebih. Rasanya seluruh orang di desa kami sedang berkumpul di surau. Mereka hendak mengantar jenazah Koh Ahong ke liang lahat. Para janda menangis menyaksikan mayat Koh Ahong dimasukkan ke dalam keranda. Beberapa dari mereka menangis sesenggukan, seolah yang meninggal adalah suami mereka sendiri. Di tengah kerumunan orang, aku celingukan mencari-cari ibu.
“Del, ibumu pingsan. Seseorang baru saja menggotongnya pulang ke rumahmu,” kata Rindi dari arah belakang. Tanpa menoleh, aku bergegas pulang ke rumah.
Ibu pingsan dua jam sebelum kembali siuman. Selama tak sadar, ibu terus-terusan mengigau. Ia mengulang-ulang kata yang sama, “Koh Ahong… Dela… Kedokteran…” Aku tak tahu apa maksudnya. Setelah kesadarannya pulih, aku bertanya kepada ibu tentang kondisinya. Tetapi ibu tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah mengucapkan hal lain.
“Del, kau tahu, kemarin setelah kau menyampaikan niatanmu untuk kuliah di kedokteran, aku bercerita kepada Koh Ahong. Ia memberi ibu lima puluh juta. Gunakan itu untuk membayar uang gedung, pakai sisanya untuk biaya kuliahmu, secukupnya. Kau harus tahu, Del. Reni, Rindi, Nur, Siti, Hasna, Rio, dan semua anak yatim di desa ini bisa sekolah dan kuliah berkat bantuan dana Koh Ahong. Ia memang meminta kami, para janda, untuk tutup mulut tentang kebaikannya itu. Tapi ibu merasa harus menyampaikannya padamu kali ini, toh ia sudah meninggal. Setidaknya agar kau tidak membicarakan hal-hal jelek lagi tentangnya.”
Kepalaku seperti dihantam palu godam. “Jadi aku bisa kuliah di kedokteran?”
Ibu mengangguk. “Pakailah uang dari Koh Ahong itu. Kalau masih kurang tidak apa-apa. Ibu akan usahakan.”
*** TAMAT ***
Oleh: Muhammad Imdad
Muhammad Imdad, penulis asal Banyuwangi yang tinggal sementara di Yogyakarta. Novelnya, Pasir yang Sama terbit pada tahun 2021. FB/IG: Midadwathief.
Posting Komentar