BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Karomah Gus Salik

Pena Laut
- Warung Mak Ijah pagi itu sudah ramai dipenuhi pemburu gorengan anget ala Mak Ijah yang memang sudah termasyhur kelezatannya di lidah para sarkub. Sarkub adalah akronim dari sarjana kuburan, sebutan bagi orang-orang yang gemar berziarah ke makam-makam keramat. Warung Mak Ijah kerap menjadi destinasi favorit para sarkub memanjakan lidah. Selain harganya yang terjangkau serta gorengan dan kopinya yang maknyus, warung Mak Ijah bertempat di area salah satu kuburan keramat yang menjadi jujugan para sarkub melepas dahaga rohaninya: makam Mbah Nafis.

"Mat, nanti siang kamu ikut aku sowan ke Gus Salik," ajak Sholeh, setengah berbisik.

"Gus Salik itu siapa?" tanya Mat Gozi penasaran.

"Gus Salik itu cucu Mbah Nafis yang disemayamkan di pemakaman keramat ini. Konon katanya, Gus Salik mewarisi segala karomah dan keistimewaan yang dimiliki oleh kakeknya. Beliau bisa membaca isi hati orang seperti membaca koran. Ada juga yang bilang bahwa tiap malam tertentu, beliau secara rutin menghadiri majelis para wali asuhan Nabi Khidir," papar Sholeh.

Kopi panas yang baru saja diminum Mat Gozi hampir muncrat saking takjubnya. "Wah, berarti Gus Salik itu seorang wali, ya?"

"Waduh, kalau itu sih aku ya nggak tahu, Mat. Soalnya yang bisa mengetahui pangkat kewalian seseorang ‘kan harus seorang wali juga. Sedangkan aku bukan seorang wali," jawab Sholeh. "Tapi banyak orang yang bilang kalau Gus Salik itu seorang wali. Padahal umurnya baru 32 tahun."

Mat Gozi manggut-manggut. Ia bingung antara harus percaya atau tidak. Mat Gozi memiliki latar belakang berbeda dengan Sholeh, kawannya yang seorang sarkub tulen. Mat Gozi pernah nyantri puluhan tahun di sebuah pondok pesantren ternama di Jawa sebelum akhirnya memutuskan untuk kuliah. Sedangkan Sholeh, sejak usia belasan tahun sudah hidup dari satu makam ke makam lain. Sholeh menjadi sarkub karena almarhum ayahnya juga seorang sarkub. Genealoginya sebagai seorang sarkub sudah tidak diragukan lagi. Ia hafal semua makam keramat yang berada di sepanjang tanah Jawa sebagaimana ia juga menghafal kisah-kisah karomah para wali.

“Nanti kau lihat dengan mata kepalamu sendiri, Mat. Betapa hebatnya Gus Salik itu,” tambah Sholeh seolah mengetahui kegamangan Mat Gozi.

***

Siang itu ndalem Gus Salik juga ramai, bahkan melebihi ramainya warung Mak Ijah. Ratusan orang mengantri untuk bisa sowan menghadap beliau, mencurahkan segala persoalan hidup dan meminta solusinya sekaligus. Gus Salik pinarak di kamarnya. Di pintu ndalem, tiga orang khodam alias santri pelayan Gus Salik tampak cekatan menertibkan antrian panjang manusia.

"Mat, kamu yakin nggak mau menanyakan persoalan apa gitu sama Gus Salik?" tanya Sholeh di tengah-tengah antrian.

"Nggak lah, mau tanya apa? Hidupku lagi nggak ada persoalan berarti akhir-akhir ini," ujar Mat Gozi cengengesan.

Penjaga pintu ndalem mempersilahkan Sholeh dan Mat Gozi. Mereka dituntun masuk ke sebuah ruangan yang tak lain adalah kamar Gus Salik. Di tembok terpajang kaligrafi arab bertuliskan ayat Alqur'an Surat Yunus 62: Alaa inna auliyaa allahi laa khaufun 'alaihim walaa hum yahzanuun. Tepat di bawah ukiran kaligrafi indah itu, foto Mbah Nafis semasa muda terpampang. Persis di bawahnya lagi terdapat foto Gus Salik sendiri.

"Namanya siapa?" tanya Gus Salik membuka percakapan. Suara Gus Salik tampak berwibawa tanpa dibuat-buat.

"Saya Sholeh, Gus. Dari Madura. Ini teman saya, Ahmad Gozi, biasa dipanggil Mat Gozi," jawab Sholeh.

"Hm... Iya, iya. Sering ke makam Mbah Nafis ya?" tanya Gus Salik.

"Iya, Gus. Tadi pagi kami juga ziarah ke makam Mbah Nafis," suara Sholeh tampak gugup. Di benak Soleh, pertanyaan Gus Salik ini seakan keluar dari penerawangan tajam bahwa tamunya ini tadi pagi ziarah ke makam kakeknya, Mbah Nafis. Semakin mantaplah Sholeh akan kewalian Gus Salik seperti yang dikabarkan orang-orang.

"Lalu, ada apa gerangan yang membawa Kang Sholeh menghadap saya saat ini?"

"Anu, Gus. Pertama, saya bermaksud silaturahmi. Kedua, saya hendak matur soal kesulitan keuangan saya akhir-akhir ini. Hutang saya semakin menumpuk. Motor juga sudah saya gadaikan untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, tapi belum nutup. Sekarang saya sedang berusaha menjual sawah, tapi belum laku juga. Mohon doanya, Gus," tutur Sholeh.

"Oh, itu...," Gus Salik mengangguk pelan. Sesekali matanya terpejam, seolah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tak kasat mata. "Yang jelas, kerja dan ibadah Kang Sholeh yang sudah diistiqomahkan harus tetap dilaksanakan. Ziarah ke makam Mbah Nafis juga sesempat mungkin terus dilakukan, jangan sampai putus. Saya sarankan Kang Sholeh untuk sowan kepada Gus Chitam di daerah Grobogan. Beliau itu seorang wali. Gus Chitam ini yang pegang kunci wilayah rezeki dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti persoalan yang menimpa Kang Sholeh sekarang. Bertawasul kepada kekasih Tuhan akan mempercepat pengabulan doa-doa."

"Iya, Gus. Terima kasih. Kalau begitu saya undur diri. InsyaAllah saya akan sowan ke Gus Chitam Grobogan," ujar Sholeh. Dengan takzim, Sholeh menciumi tangan Gus Salik sembari menyelipkan ‘amplop’ sebagai tanda terima kasih kepada Gus Salik.

"Oh, iya. Kalau mau sowan ke Gus Chitam, tepat satu minggu dari sekarang, ya. Berarti hari Sabtu depan. Soalnya beliau itu agak sibuk orangnya. Sampaikan juga salam saya ke Gus Chitam nanti," pesan Gus Salik, sembari memberi kertas bertuliskan wirid berbahasa arab karangannya sendiri.

Saat meninggalkan ruangan, Mat Gozi sempat bertanya kepada salah satu santri yang menjaga pintu ndalem tentang aktifitas dan pengajian yang diasuh oleh Gus Salik. Santri itu menjawab bahwa Gus Salik tidak mengasuh pengajian apapun. Beliau berdakwah dengan cara membantu orang-orang melalui pemecahan solusi yang diberikannya. Mat Gozi segera mengadukan hal ini kepada Sholeh.

"Masak seorang gus seperti Gus Salik tidak ada pengajiannya?" tanya Mat Gozi. “Agama ini ‘kan pondasinya ilmu dan amal, bukan keramat. Ilmu menjadi pondasi amal sehingga setiap laku ada muatan pengetahuannya dan amal menjadi aspek praktis dari ilmu sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak berhenti menjadi ide-ide yang mengawang, tetapi juga hidup dalam kenyataan. ‘Ilmiyah ‘amaliyah dan ‘amaliyah ‘ilmiyah. Nah, cara mentransfer ilmu itu ya dengan mengaji. Begitu kata kiaiku di pesantren. Tanpa pondasi mengaji, robohlah bangunan agama ini.”

"Ya ‘kan gak semuanya harus ngaji, Mat. Cara untuk wushul atau menjadi kekasih Tuhan itu tidak hanya melalui ngaji. Makanya sering-sering nyarkub, biar tahu hal-hal kayak gitu," pungkas Sholeh.

Mat Gozi hanya terdiam.

***

Sholeh meluluskan saran Gus Salik. Tepat seminggu pasca sowan Gus Salik, Sholeh berangkat ke Grobogan, sowan Gus Chitam. Mat Gozi yang awalnya menolak untuk mendampingi Sholeh menghadap Gus Chitam akhirnya menyerah karena terus menerus dipaksa dan diyakinkan oleh Sholeh bahwa Gus Chitam ini juga seorang wali yang tak kalah tersohor namanya dengan Gus Salik. Sebab Gus Chitam direkomendasikan oleh Gus Salik. Seorang wali pasti juga merekomendasikan wali lainnya, pikir Sholeh. Circle kewalian itu nyata adanya.

"Siapa namanya?" tanya Gus Chitam sembari menata letak kacamatanya senyaman mungkin.

"Saya Sholeh, Gus. Dari Madura. Ini teman saya, Mat Gozi," jawab Sholeh memperkenalkan diri.

"Kalau saya lihat, kondisi ekonomimu sedang seret. Kamu dililit hutang, dan meski motormu sudah kau gadaikan, kesulitanmu tetap saja belum teratasi. Aku melihat warna hijau. Sawah ya? Ah iya, sawah itu jalan keluarnya," tegas Gus Chitam, mantap dan meyakinkan.

Sholeh takjub luar biasa. Bagaimana bisa Gus Chitam mengetahui segala permasalahannya? Padahal sepatah katapun belum keluar dari mulutnya. "I, iya, Gus. Betul, betul sekali," ucap Sholeh terbata-bata.

"Ya sudah. Itu soal mudah. Tiap malam sebelum tidur, kamu baca Surat al-Waqiah sebelas kali sembari menghadap kiblat. Tiap selesai baca sekali, kamu baca wirid yang saya berikan ini," Gus Chitam menyodorkan selembar kertas. "Wirid itu saya ijazahkan khusus untuk kamu. InsyaAllah, masalahmu segera terurai dan terselesaikan."

"Terima kasih, Gus. Kalau begitu saya sekalian pamit undur diri saja," ujar Sholeh sembari menciumi dengan takzim tangan Gus Chitam. Tak lupa ‘amplop’ disisipkan sebagai mahar ijazah doa dan ucapan terima kasih.

Sepanjang perjalanan pulang, Sholeh tak berhenti mengungkapkan kekagumannya terhadap Gus Chitam yang disebutnya memiliki daya linuwih, ngerti sakdurunge winarah atau tahu sebelum terjadi. Wirid pemberian Gus Chitam segera menjadi serupa barang keramat yang begitu berharga di tangan Sholeh. Ia menggenggamnya erat-erat sembari sesekali menciuminya.

Mat Gozi hanya diam menyaksikan tingkah laku kawannya itu, sementara di dalam kepalanya terbayang konsep sacred space Mircea Eliade saat ia sedang mengikuti kuliah Teori-teori Agama. Kertas berisi wirid itu hanya simbol yang mendadak sakral di tangan Sholeh karena ia menganggapnya sebagai representasi dari Gus Chitam, sosok keramat yang dikaguminya.

***

Urusan pekerjaan menyeret Mat Gozi ke Jakarta. Bersama beberapa rekan kerjanya, malam itu Mat Gozi ngopi di salah satu kedai kopi berlambang Sirene di sebuah mall Ibu kota. Di tengah asyik bercengkrama, perhatian Mat Gozi teralihkan kepada dua orang pemuda yang duduk di meja sebelahnya. "Mereka ini siapa, ya? Rasanya wajah mereka tidak asing," pikir Mat Gozi. Demi menuntaskan rasa penasarannya, Mat Gozi menggeser kursinya sedikit demi sedikit untuk mendapatkan jarak dengar yang baik. Layaknya seorang telik sandi, Mat Gozi menajamkan telinganya, mencuri-dengar percakapan dua orang yang membuatnya penasaran.

"Bagaimana kabar Gus Salik sekeluarga? Sehat, ‘kan?" seorang yang berkacamata membuka percakapan.

"Alhamdulillah, baik. Kabar Gus Chitam bagaimana?"

"Sama. Sehat seger waras semuanya, hamdalah."

Mat Gozi terkesiap. "O iya. Mereka ini Gus Chitam dan Gus Salik. Ada urusan apa mereka di Jakarta?" batin Mat Gozi.

Rasa penasaran Mat Gozi terhadap dua sosok manusia yang dikeramatkan di daerahnya masing-masing ini semakin tinggi. Kembali ia menguping pembicaraan Gus Salik dan Gus Chitam.

"Gus, menurut sampean, apakah yang kita lakukan selama ini benar?" tanya Gus Salik.

"Maksudnya?" Gus Chitam menata letak kacamatanya.

"Ya tentang relasi kita. Simbiosis mutualisme di antara kita," kata Gus Salik.

Gus Chitam meraih macchiato di mejanya. "Begini, Gus. Simbiosis mutualisme ini ‘kan sudah menjadi komitmen di antara kita. Gus Salik harus menjaga rahasia saya, saya juga akan menjaga rahasia Gus Salik. Jadi..."

"Tapi, Gus...," potong Gus Salik, "Bukankah dengan begini, kita telah berdosa karena membohongi umat?"

"Hm...," Gus Chitam mengelus janggut, "Praktek ini kan sudah kita rencanakan sejak dulu, sejak kita masih sama-sama nyantri ke Kiai Zaini. Dan ingat, Gus, kita berkongsi melakukan praktek ini karena kita sama-sama bodoh. Baik aku maupun kamu, sama-sama tidak bisa membaca kitab kuning. Kita tidak pandai soal hukum fikih, nahwu-shorof, apalagi tafsir, hadits dan lain-lainnya. Modal kita satu-satunya hanyalah kemampuan meyakinkan orang lain dan untungnya kakek-kakek kita juga termasyhur sebagai seorang wali.

"Seperti yang kamu bilang dulu, Gus. Kita memakai media karomah sebagai alat. Setiap orang yang datang ke Gus Chitam akan diarahkan sowan ke Gus Salik dan sebaliknya. Kita sudah berhasil membuat orang-orang yakin bahwa kita memiliki karomah, bahwa kita bisa tahu sesuatu sebelum orang tersebut menceritakannya. Ya, meski kenyataannya, kabar tentang kondisi, permasalahan dan keluhan orang-orang yang sowan ke aku ini sudah kau kabarkan sebelumnya via telepon, dan begitu pula yang kulakukan kepadamu. Kebutuhan hidup kita terpenuhi, sebagian orang menganggap kita wali, kata-kata yang keluar dari mulut kita selalu ditaati. Kurang apa lagi, Gus? Bukankah ini sudah sangat bagus?"

"Ya itu maksudku, Gus. Bukankah dengan berpura-pura tampil sebagai wali dan memiliki karomah, kita telah melukai hati banyak orang?" tanya Gus Salik.

"Setelah bertahun-tahun praktek ini berjalan dan kita sudah mendapat milyaran uang dari amplop-amplop umat, kau baru kali ini mempertanyakannya, Gus? Haha, betapa naifnya dirimu, Gus Salik," jawab Gus Chitam. "Pikirkanlah, Gus. Pikirkan apa kata umat jika praktek ini tiba-tiba bubar. Orang-orang tetap akan mencari Gus Salik yang sakti, Gus Chitam yang doanya langsung terkabul tanpa aling-aling. Terus kita mau sembunyi di mana? Mau pindah hidup di luar negeri? Atau mau bertapa di gunung-gunung?"

"Ya. Tapi..."

"Begini, Gus Salik. Ingat apa yang pernah diucapkan Kyai Zaini dulu, bahwa orang yang paling baik adalah orang yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Praktek kita ini kan bermanfaat bagi orang lain. Mereka dapat solusi. Mereka lega setelah bertemu dengan kita. Intinya ‘kan cuma itu, Gus. Ini persis sama dengan praktek dokter. Orang datang ke dokter karena mereka percaya bahwa dokter yang didatanginya sanggup memberikan solusi bagi penyakitnya. Dan karena percaya itu, mereka disembuhkan oleh Tuhan. Kita juga begitu, Gus. Orang-orang sudah terlanjur percaya kalau kita adalah wali. Maka apapun yang kita berikan kepada mereka, mereka akan melaksanakannya dengan mantap. Dan lantaran kemantapan hati mereka itu, pada akhirnya Tuhan berkenan menyelesaikan beragam permasalahan yang menimpa mereka. Toh, kita juga tidak pernah memaksa orang-orang yang sowan ke kita untuk memberi amplop. Tarif juga nggak ada patokan, seikhlasnya mereka saja, ‘kan? Jadi aku rasa, praktek ini baik-baik saja. Sebab praktek ini memang terbukti bermanfaat bagi orang lain," tukas Gus Chitam.

"Ya, tapi bermanfaat dan memanfaatkan itu beda, Gus," ujar Gus Salik.

"Kita memangnya memanfaatkan apa? Siapa?" tanya Gus Chitam.

"Umat. Kebodohan umat," tegas Gus Salik.

Percakapan antara Gus Salik dan Gus Chitam masih berlangsung. Namun Mat Gozi tidak mendengarkannya lagi--memilih untuk tidak lagi mendengarkan. Isi kepala Mat Gozi dipenuhi berbagai hal. Ia tidak tahu harus menyikapi fenomena simbiosis mutualisme antara Gus Salik dan Gus Chitam dengan cara seperti apa. Tatapannya kosong. Kopinya terasa semakin pahit. Lebih pahit dari sebelumnya. Dan bayang-bayang Sholeh berkelebat di benaknya.

***

"Alhamdulillah, Mat. Alhamdulillah." Begitu melihat Mat Gozi muncul di depan pintu rumahnya, Sholeh langsung berhambur memeluk kawannya itu.

"Ada apa, Kang Sholeh?"

"Sawahku yang sudah berbulan-bulan aku tawarkan untuk dijual itu akhirnya laku. Hutang-hutangku lunas semua sekarang. Ini berkat amalan dari Gus Salik dan Gus Chitam. Luar biasa memang jika waliyullah langsung yang memberi ijazah dan amalan. Padahal amalannya baru kulakukan selama tiga hari, tapi khasiatnya langsung cespleng," terang Sholeh sembari tak henti-henti mengucap syukur.

Mat Gozi mematung. Ia mengurungkan diri untuk menyampaikan maksud utama kedatangannya pagi itu ke rumah Sholeh: mengungkap rahasia di balik simbiosis mutualisme antara Gus Salik dan Gus Chitam. Setelah menyaksikan apa yang terjadi kepada Sholeh pagi ini, ia merasa tak tega untuk menghapus kegembiraan kawannya itu dengan memberi tahu kenyataan sebenarnya yang baru diketahuinya tempo hari di Ibu kota. Biarlah kini ia menjadi pihak keempat yang mengetahui rahasia dari karomah-karomah itu, selain Gus Salik, Gus Chitam, dan tentu saja Tuhan.

TAMAT


Oleh: Muhammad Imdad
Muhammad Imdad, penulis asal Banyuwangi yang tinggal sementara di Jogja. Penulis Matahari di Bumi Blambangan (Bunga Rampai Puisi dan Cerpen Pilihan Radar Banyuwangi 2018), Pasir yang Sama (Novel, 2021) dan Fragile (Novela, 2024)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak