BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Dilema Intelektual Banyuwangi: Kritik atas Pernyataan Kang Atho’

Dilema
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah

“Kami bukan Promotheus yang menjatuhkan api intelektual untuk manusia. Kami juga bukan para martir Revolusi Prancis yang memenggal kepa seorang raja. Kami tidak lain adalah bencana bagi para iblis tiran yang mengangkangi kehidupan manusia.”

(Mazhab Softinalean, 2023)

Pena Laut - Pada saat siang hari, sedang terik panas matahari sudah seperti membakar sekujur tubuh yang hampa ini, saya menerima notifikasi grup WhatsApp dari salah satu jurnalis kacangan Pena Laut Media. Saya buka notifikasi itu, ternyata ada tulisan yang baru saja di-upload. Tulisan yang masih segar itu ditulis oleh salah seorang dosen Institut Agama Islam Ibrahimy, Bapak Athoillah Aly Najamuddin, bertajuk: Bagaimana Sikap Akademisi Dalam Pilkada Banyuwangi?

Saya tertarik dengan tulisan alumnus “mazhab Jogja” itu karena dua hal: pertama, karena faktual; kedua, ingin tetap “mengintip” realitas politik di Bumi Blambangan. Namun, ketertarikan saya seolah-olah dipatahkan begitu saja setelah membaca opini seorang akademisi yang lebih suka disapa Kang Atho’ itu. Sehingga, saya perlu memberi komentar dan catatan singkat tentang opini tersebut.

Membaca opini Kang Atho’, saya melihat ada semacam “ejakulasi dini” di bagian pembuka tulisan. Beliau ujug-ujug menghidangkan tiga hipotesis kecenderungan sikap akademisi Banyuwangi dengan landasan yang kurang kuat—jika tidak disebut hipotesa serampangan. Misalnya, pada hipotesa pertama dan kedua (dengan maksud menyebutkan para akademisi yang mendukung Cabup-Cawabup 01 dan 02), Kang Atho’ tidak satu pun melampirkan data-data empirik sebagai landasan hipotesa-nya. Seyogianya, Kang Atho’ dalam menyatakan sebuah hipotesa, juga melampirkan data atau, setidaknya, informasi (secara umum juga ndak masalah) berkenaan dengan kedua kelompok yang dimaksud.

Selain itu, mengenai kelompok (akademisi) yang ketiga, Kang Atho’ menulis demikian:

“Akademisi yang berusaha menjaga netralitas. Mereka tidak terlibat proses dukung-mendukung dari kedua pasangan calon. Alasan mereka adalah untuk menjaga objektivitas, karena akademisi mampu menganalisis berbagai isu secara objektif, tanpa pengaruh politik atau ideologis.”

Tentang para akademisi yang “tidak terlibat langsung proses dukung-mendukung” itu, tidak jadi soal. Namun, menurut saya, ada yang luput dari pembacaan Kang Atho’. Dalam uraian di atas, kita menemukan kalimat: “tanpa pengaruh politik atau ideologi”. Bagaimana mungkin seseorang, terlebih para akademisi, mampu terbebas dari pengaruh politik dan ideologi, Kang? Bukankah njenengan paham betul (sebagai “intelektual organik” yang ahli dalam bidang sosiologi), jika setiap individu tidak dapat terlepas dari dua hal yang njenengan sebutkan itu.

Jika kita menengok kembali pemikiran Karl Mannheim, seorang sosiolog kelahiran Hongaria, tentang Sosiology of Knowledge-nya, telah jelas bahwa pengetahuan manusia tidak dapat terlepas dari subjektivitas individu yang mengetahuinya. Dengan kata lain, pengetahuan dan eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan. Semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan perspektif dirinya. Maka, latar belakang sosial dan psikologi individu yang mengetahui tidak dapat dilepaskan dari (dalam) proses terjadinya pengetahuan (selebihnya lihat; Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, 1991).

Kemudian, Kang Atho’ mengajak kita (para pembaca) untuk merefleksikan pemikiran seorang Neo-Marxis yang di akhir hidupnya ia harus mendekam dalam penjara, Antonio Gramsci. Siapa yang tidak kenal tokoh revolusioner asal Italia ini. Setiap anak muda yang mendaku aktivis di kampus (dengan tampil “gagah” di depan adek-adek Maba), kok ndak tahu Gramsci, bisa dibilang: kenemenen.

Dalam tulisannya, Kang Atho’ menggunakan teori hegemoni Gramsci untuk memperjelas positioning para akademisi di Banyuwangi. Dengan mendeskripsikan ulang secara ringkas dikotomi intelektual dan bagaimana sikap seorang intelektual dihadapkan pada kekuasaan menurut Gramsci, Kang Atho’ justru terjerembab ke dalam kecenderung normatif—jika tidak menyebutnya: hanya mendeskripsikan ulang pokok pikiran Gramsci seperti yang dilakukan para mahasiswa-nya saat diberi tugas menulis makalah.

Sebagai seorang pengamat politik, seharusnya Kang Atho’ menghidangkan strategi konkret bagaimana sikap dan gerakan akademisi Banyuwangi dalam menyongsong Pilkada mendatang. Sebagai contoh: mengadakan diskusi di kampus bersama segenap akademisi dari ketiga kategori tersebut bersama mahasiswa, dan kemudian hasil diskusi itu dipublikasikan sebagai penandasan “positioning” yang njenengan maksud atau (meminjam istilah Gramsci) sebagai counter hegemony.

Sebelum merampungkan tulisan ringkas ini, agaknya saya perlu memberikan rekomendasi untuk “menyambung lidah” Kang Atho’ sekaligus para intelektual muda di Banyuwangi yang saat ini, kita tahu, sedang di-obat-abetke oleh realitas politik. Beberapa rekomendasi yang saya maksud, antara lain: (1) mengadakan kajian mendalam tentang “pimpinan kampus” yang mendukung salah satu Cabup-Cawabup. Misalnya, keterlibatan Bapak Lukman Hakim (ngapunten, tanpa menyertakan gelar), selaku Rektor IAI Ibrahimy yang mendukung Ipuk-Mujiono dan juga terjadi hal yang sama pada Rektor UIMSYA, Gus Munib serta akademisi-akademisi yang lain; (2) mempertanyakan dan memperjelas keberpihakan organisasi mahasiswa (PMII, HMI, GMNI, IPNU-IPPNU, IMM, dan lain sebagainya) ketika dihadapkan dengan Pilkada Banyuwangi; (3) mengundang kedua Cabup-Cawabup (jika memungkingkan) di kampus agar mahasiswa dapat mengeluarkan “uneg-uneg”-nya dan sehingga mereka dapat mengetahui kualitas diri masing-masing calon; (4) menjaga kondusifitas Pilkada Banyuwangi dengan mengeluarkan petisi, misalnya.

Setidaknya empat rekomendasi di atas, urgen dilakukan oleh kaum “intelektual organik” ujung timur pulau Jawa. Sebab, sekarang ini kasus perselingkuhan tidak hanya ada di film-film Tanah Air, melainkan sudah merembet ke relasi intelektual dan kekuasaan (birokrasi). Allah yarham Gus Dur pernah menyebut intelektual model ini dengan sebutan: Intelektual Tukang.

Akhirul kalam, perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini tidak memiliki tendesi apa pun. Saya, sebagai penulis, juga tidak ada masalah dengan Kang Atho’. Hubungan kita baik-baik saja. Bukan berarti, kritik saya terhadap tulisan beliau ini, karena saya mendukung si A dan Kang Atho’ mendukung si B. Sama sekali bukan demikian. Justru, hal semacam ini (perbedaan pandangan) adalah tradisi yang nyaris punah di kalangan intelektual kita. Terlepas dari itu semua, secara jujur saya menaruh hormat kepada “senior” (penyebutan ini murni hanya untuk keindahan kalimat semata) saya, Kang Athoillah Aly Najamuddin, yang memiliki kepekaan terhadap isu-isu politik dan sosial di Banyuwangi. Wallahu a'lam.[]
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak