Pertanyaan bunyinya, begini: Bagaimana sikap atau positioning akademisi di dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi ?
Jawaban saya, ada tiga hipotesis kecenderungan sikap akademisi dalam kontestasi politik di Banyuwangi.
Kelompok pertama: akademisi yang mendukung pasangan 01. Jumlah signifikan massif. Beberapa dari mereka adalah Pimpinan Perguruan Tinggi. Mayoritas mereka sederhana, bahwa apa yang dilakukan petahana cukup baik, dan sebaiknya perlunya keberlanjutan.
Argumentasi dari kelompok akademisi disertai dengan bukti kongkret, mulai dari data angka kemiskinan di Banyuwangi yang turun signifikan menjadi data pembuka wawasan, hingga keberhasilan pembangunan Banyuwangi dalam dekade 15 tahun, sebagai alasan untuk memihak mendukung pasangan 01.
Kelompok kedua: akademisi yang mendukung pasangan 02. Alasan mereka sederhana, yaitu: ingin perubahan, karena dalil mereka bahwa kekuasaan yang telah lama, jika tidak segera dibatasi, maka sangat riskan atas penyalahgunaan wewenang yang dapat disalahgunakan untuk tujuan pribadi atau kelompok tertentu.
Jumlah mereka besar. Akan tetapi, kelompok ini lebih banyak diam dan tidak bersuara ke publik. Mereka bukan takut, tetapi lebih tepatnya menunggu momentum yang tepat, untuk mengambil sikap menyuarakan perubahan.
Kelompok ketiga: akademisi yang berusaha menjaga netralitas. Mereka tidak terlibat proses dukung-mendukung dari kedua pasangan calon. Alasan mereka adalah untuk menjaga objektivitas, karena akademisi mampu menganalisis berbagai isu secara objektif, tanpa pengaruh politik atau ideologis.
Sikap ini dirasa, memungkinkan mereka untuk mendalami dan menganalisis isu dengan lebih jernih dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa memberikan kontribusi yang berharga bagi masyarakat.
Ketiga hipotesis saya, untuk mengomentarinya sikap akademisi atas sikap politik dalam Pilkada di Banyuwangi, Antonio Gramsci, pemikir Neo-Marxis asal Italia, mengingatkan di dalam karyanya tentang hegemoni budaya dan kekuasaan.
Ada dua konsepnya yang menjelaskan tentang sikap akademik di dalam pilkada Banyuwangi. Menurut Gramsci, kaum intelektual terbagi atas dua kategori, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik.
Bagi Gramsci, intelektual tradisional adalah mereka yang bertugas sebagai kepanjangan tangan kekuasaan, untuk mengarahkan agar menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh kekuasaan.
Kelompok ini memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung kelas penguasa. Oleh karena itu, kaum intelektual tradisional diberikan posisi strategis di dalam kekuasaan.
Menurut Gramsci para intelektual justru menjustifikasi berbagai macam kebijakan yang salah dan merugikan rakyat yang dilakukan oleh penguasa.
Kelompok intelektual yang kedua, menurut Gramsci, adalah intelektual organik yang muncul dari kelas sosial tertentu dan secara aktif berperan dalam menyebarkan ideologi, serta nilai kelas untuk memperjuangkan kepentingan sosial-politik.
Bagi Gramsci, intelektual organik mewakili kelas sosial yang dominan dalam masyarakat. Peran dalam hegemoni bagian dari proses hegemonik, di mana kelas penguasa tidak hanya menguasai secara material, tetapi juga secara ideologis.
Gramsci melihat perjuangan kelas melalui intelektual organik berperan penting dalam membangun kesadaran kelas dan menciptakan dalam membangun kesadaran kelas dan menciptakan solidaritas untuk menentang ketidakadilan sosial.
Konsepsi Gramsci, saya kira relevan untuk menjelaskan pertanyaan tentang sikap akademik di dalam Pilkada di Banyuwangi. Konsep ini menunjukkan pentingnya peran akademik di dalam kontestasi kekuasaan. Kita dapat memberikan wawasan apakah kehadiran akademisi mampu mengartikulasi, melalui ide-ide yang berguna untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Lebih lanjut, teori Gramsci mengajak kita mempertanyakan posisi para akademik dalam lingkaran kekuasaan. Ataupun yang telah memilih kelompok pertama, kedua atau ketiga. Tetapi, bagi Gramsci mengajak para akademisi untuk memiliki kesadaran akan peran yang dimainkan akademisi dalam mendukung atau menentang sistem kekuasaan yang ada.
Karena, bagaimanapun sikap yang ditempuh oleh seorang akademisi di dalam percaturan politik di Banyuwangi. Masyarakat akan melihat dan menilai, sejauh mana kemampuan akademisi untuk menjawab keberpihakan, dan memisahkan antara kepentingan pribadi, pengaruh dari afiliasi partai politik hingga iming-iming janji manis kekuasaan. (*)
Oleh: Athoillah Ali Najamuddin
Posting Komentar