BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Manusia: Homo Homini Nyebelin

Pena Laut -
Pernah enggak, merasa malas ke acara keramaian karena malas bertemu orang? Tidak hanya malas bertemu orang, tetapi dalam hati kita sudah berpikir bahwa orang-orang yang akan kita temui akan berprilaku menyebalkan kepada kita (tanpa pernah berpikir bahwa kita pun juga mungkin punya perilaku menyebalkan juga). Pergi ke luar rumah, kita harus berhadapan dengan perilaku pengendara yang tidak tertib. Pergi ke acara keluarga besar, akan bertemu saudara yang usil atau mulutnya setajam silet. Rasanya ingin tinggal di rumah saja, menyendiri, dan tidak bertemu orang lain. “Daripada jadi dosa, marah, dan jengkel karena orang lain, mending enggak ketemu mereka.”

Homo Homini Nyebelinmanusia yang nyebelin bagi manusia lainnya. Kita adalah manusia yang seringkali nyebelin bagi orang lain dengan ulah dan perkataan kita. Dalam buku Henry Manampiring—7 Kebiasaan Orang Yang Nyebelin Banget, dibahas begitu banyak hal menyebalkan yang kita lakukan kepada satu sama lain, baik sengaja maupun tidak sengaja. 

Manusia saling menyebalkan satu sama lain, misalnya lewat basa-basi ngeselin seperti, ”Kapan nikah?”, “Kapan punya anak?”, “Kok kamu gendutan sekarang?”, dan lain-lain. Perilaku menyebalkan ini juga termasuk tindakan-tindakan kecil kita, seperti main HP di dalam bioskop, masuk lift tidak menunggu yang keluar terlebih dahulu, atau segala perilaku tidak tertib di jalan raya. Lagi-lagi, tidak ada yang banyak berubah sejak 2.000 tahun silam: kita sering dibuat sebal oleh orang lain. Dalam buku Filosofi Teras terdapat pembahasan mengenai premeditatio malorum, kita melihat bagaimana Marcus Aurelius menjadikan kebiasaan untuk mengawali hari dengan membayangkan semua hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepada kita.

People hurt and offend each other—manusia saling menyakiti dan menyinggung sesamanya—ini kenyataan. Tidak ada tempat di mana pun di dunia ini untuk kita bisa menghindari orang-orang menyebalkan, bahkan di tempat ibadah sekalipun. Mungkin hanya di surga kita terbebas dari perilaku menyebalkan. Karena ini adalah realitas, seorang praktisi Stoisisme sudah harus bisa mengantisipasinya. “Mengharapkan orang jahat untuk tidak menyakiti orang lain adalah gila. Itu adalah meminta hal yang tidak mungkin. Arogan sekali jika kita bisa memaklumi orang jahat berbuat jahat kepada orang lain, tetapi kita terima jika terjadi pada kita. Itu kelakuan seorang tiran,” Macus Aurelius (dalam karyanya-Meditations). Kalau dibahasakan ulang, ya, wajar dong orang jahat menyakiti orang lain. Yang aneh itu kalo Anda berharap sebaliknya. Lebih ngeselin lagi kalo Anda berharap mendapat kekecualian, orang lain boleh disakiti kecuali Anda.

Jika kita kembali ke dikotomi kendali (baca: tulisan sebelumnya), orang-orang yang menyebalkan ada diluar kontrol kita. Sampai disini, apakah kamu bisa menebak apa yang akan dinasihati oleh para filsuf Stoa menghadapi orang menyebalkan? Yak, benar! Kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain, tetapi kita sepenuhnya bisa menentukan apakah kita akan terganggu atau tidak olehnya. Perilaku orang lain masuk dalam kategori indifferent, yang artinya tidak punya pengaruh kepada kebahagiaan kita. Yang artinya, aneh kalau kita terganggu oleh kelakuan menyebalkan orang lain, ketika sesungguhnya mereka seharusnya tidak punya pengaruh apa-apa pada kita. Jika ada seseorang yang dihina dan merasa terhina, Epictetus akan menyalahkan si terhina, “Salah loe sendiri kalo tersinggung!” Ini juga konsisten dengan pentingnya mengendalikan persepsi kita sendiri. Menghina ada di bawah kendali orang lain, merasa terhina ada di bawah kendali kita.


Oleh: Fawaid A.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak