BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Kiswah az-Zarkasyi: Kaum Intelektual, Kepekaan Sosial, dan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah


Oleh: Dendy Wahyu Anugrah

Pena Laut - Keberadaan kampus yang berdiri gagah di tengah jantung kota tidak serta-merta hanya menjadi penghias dan pelengkap artistik daerah-daerah urban belaka. Kampus, selain mencetak insan akademik, juga memiliki tanggung jawab sosial-kemasyarakatan. Setiap tahun berbagai kampus di penjuru negeri menghasilkan jutaan sarjana yang menjadi harapan masyarakat pinggiran untuk menuntaskan problem pelik yang kian hari kian menyeruak tak terkendali.

Sebagai pencetak intelektual organik, kampus memiliki kewajiban untuk menuntaskan segala problem bangsa dan negara—dengan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi.[1] Di antaranya, kemiskinan, ketimpangan sosial, konflik antar-golongan, isu-isu kebudayaan hingga langkah preventif untuk mencegah krisis moral. Adalah suatu keharusan bagi kaum intelektual organik untuk menjalankan fungsi intelektual-nya. Seperti yang digagas oleh seorang filsuf asal Itali, Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks (1971). Ia menyatakan secara tegas maksud dari seorang intelektual:

All man are potentially intellectuals in the sense of having an intellect and using it, but not all are intellectuals by social function.[2]

Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa sejak awal, kampus yang berupaya membentuk seorang intelektual memiliki tanggung jawab yang amat besar dalam spektrum sosial-kemasyarakatan.

Selain itu, Islam juga sangat menekankan bagaimana Muslim menjalankan ibadah sosial-nya dengan cara membantu sesama. Seperti halnya yang termaktub dalam QS. Al-Ma’un. Spirit “intelektual al-Ma’un” adalah membawa visi pembebasan kaum tertindas dan kesetaraan sosial.[3]

Sehingga, sesungguhnya, kampus yang tersebar di seluruh Tanah Air ini merupakan salah satu entitas yang diharapkan mampu memberikan kontribusi penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Tak terkecuali kampus Islam pertama di Bumi Blambangan, Institut Agama Islam Ibrahimy.

Di atas sebidang tanah yang terletak di jantung kota Genteng itu berdiri bangunan yang telah mencetak ribuan insan Ulul Albab. Sejak bedirinya pada tahun 1984, lembaga pendidikan yang mulanya merupakan kampus cabang Universitas Ibrahmy Situbondo (Unib) itu, memiliki spirit perjuangan dan pengabdian kepada masyarakat yang kuat dan konsisten.[4]

Sebab, selain didirikan oleh para ulama’ wal umara’ kala itu, Institut Agama Islam Ibrahimy (selanjutnya ditulis IAII) memiliki jejak langkah kontributif yang mampu mewarnai khazanah pemikiran dan gerakan sosial di Banyuwangi, utamanya di wilayah pemikiran dan gerakan Islam dalam ranah sosial-kemasyarakatan.

Hal ini terbukti dilakukan oleh civitas akademika IAII dari kegiatan Forum Group Discussion (FGD) yang diberi nama: Kajian Islam & Sosial Ahlusunnah wal Jama’ah atau yang disebut Kiswah az-Zarkasyi.
 
Kiswah: Potret Kepekaan Sosial Kaum Intelektual
Istilah “Kiswah” telah lazim diketahui oleh kalangan Muslim, terutama kalangan Nahdliyin. Kata kiswah biasa dipahami sebagai kain penutup Ka’bah. Sedangkan, kata Kiswah yang dimaksud di sini ialah akronim dari Kajian Islam & Sosial Ahlusunnah wal Jama’ah. Kemudian, halaqah ilmiah ini berkembang dan akhirnya melahirkan Aswaja NU center pada 31 Januari 2011 oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur di bawah asuhan KH. Abdurrahman Nafis.[5]

Kajian Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah itu di-launching oleh IAII (saat itu masih STAII) bekerja sama dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi pada 5 Maret 2015 yang bertempat di Auditorium KH. R. As’ad Syamsul Arifin.

  
Gambar I:
Sambutan Ketua STAII, Dr. H. Kholilur Rahman, M.Pd.I, saat launching Kiswah az-Zarkasyi yang diresmikan oleh Ketua PCNU Banyuwangi, KH. Machrus Aly dan dihadiri oleh Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab) Jember serta pengurus Yasmy (Dok. IAII)

Kajian ilmiah ke-Islaman itu telah mendatangkan berbagai tokoh nasional hingga lokal. Seperti KH. Abdullah Syamsul Arifin Jember (5 Maret 2015), KH. Muhammad Idrus Ramli Jember (2015), KH. Marzuki Mustamar Malang (2016), allahu yarham KH. Agus Sunyoto (17 Oktober 2018), KH. Afifuddin Muhajir Situbondo (23 Maret 2019) hingga allahu yarham KH. Yusuf Nur Iskandar Muncar (2016), KH. Ali Makki Zaini (2016) dan para ulama lainnya.

Cikal bakal Kiswah ini, tak lain dari perenungan panjang para intelektual NU di ujung timur pulau Jawa atas fenomena dekadensi moral, wacana Islam yang kontraproduktif, isu-isu sosial-kemasyarakatan yang kurang teratasi, hingga nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengalami erosi (secara madzhabi dan manhaji) di kalangan generasi muda.

Sehingga, eksistensi Kiswah az-Zarkasyi merupakan wujud kepekaan sosial kaum intelektual yang sebagian besar memiliki latar belakang kaum sarungan (baca: santri) itu. Segala problem sosial, ekonomi, politik, keagamaan, dan kebudayaan menjadi wilayah yang senantiasa dikaji melalui lensa Ahlussunnah wal Jama’ah. Mengenai cara berpikir Nahdliyin ini, Rais Aam PBNU kelima, KH. Achmad Siddiq, menuliskannya dalam al-Fikrah an-Nahdliyah (1969):

Tanggapan, sikap, dan program Nahdlatul Ulama tentang masalah-masalah perjuangan berdasarkan atas prinsip-prinsip, patokan/kaidah, yang disebut dengan lima dalil perjuangan, yaitu; jihad fi sabilillah, ‘izzul Islam wal Muslimin, at-Tawasshut (moderat)/al-I’tidal (tegak lurus)/at-Tawazun (harmoni), saddudz-dzari’ah (waspada), amar ma’ruf-nahi munkar.[6]

Gambar II:
Kiswah az-Zarkasyi tema “Islam Nusantara dan Status Non Muslim dalam Bingkai Nation State” dengan pembicara KH. Afifuddin Muhajir Situbondo (Dok. IAII)

Dari keteguhan iman dan spirit nilai-nilai perjuangan itulah, kaum intelektual IAII tidak duduk nyaman di atas menara gading intelektual, melainkan berusaha berkontribusi melalui kegiatan-kegiatan ilmiah dengan menelaah dan membedah isu-isu kontemporer melalui manhaj al-Fikr wa al-Harakah Ahlussunnah wal Jama’ah. Tentu, keteguhan teologis dan manifesto nilai-nilai perjuangan itu sebagai ibadah sosial yang ditunaikan oleh intelektual Islam IAII.

Kiswah menjadi penting dilakukan, karena dua hal: pertama, sebagai penandasan kepada publik bahwa IAII merupakan kampus dengan turrats (tradisi pemikiran dan gerakan) Ahlussunnah wal Jama’ah yang kokoh, dan kedua, sebagai lokus prinsip-prinsip aksiologis untuk membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin dengan cara tidak apatis terhadap isu-isu sosial-kemasyarakatan.[7]

Oleh karena kehidupan kontemporer terus melaju pesat tak terbendung, sudah menjadi kewajiban bagi intelektual Islam untuk menangkap dan memahami segala hal yang datang, namun tidak menanggalkan khazanah lama yang baik. Demikian sesuai dengan kaidah fikih yang mashyur di kalangan Nahdliyin: al-Muhafadzah 'ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Sebagai langkah strategis untuk melawan secara progresif sebab-sebab terjadinya jahiliyah kontemporer, kaum intelektual IAII kala itu, selain membahas isu-isu sosial-kemasyarakatan, juga tetap memelihara tradisi kitab kuning dengan mengkaji secara kritis karya salah seorang pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, yang bertajuk Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.[8]

Hal itu dilakukan karena pemahaman mengenai aqidah dan amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah semakin mengalami erosi. Sehingga, untuk memperkuat fondasi ilmiah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orang yang memegang kendali Kiswah menyelenggarakan kajian salah satu kitab Rais Akbar NU itu setiap satu bulan sekali.[9]

Min al-Jami’ah ila an-Nahdlah: Kontekstualisasi Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah
Sebagai kampus Islam (yang memiliki latar belakang Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyyah) dengan visi pengabdian kepada agama dan bangsa, IAII tidak seharusnya bersikap pasif di tengah silang sengkarut-nya demokrasi, krisis ekologi, konflik antar-golongan, dan penjajahan kebudayaan lain terhadap kebudayaan lokal, utamanya hal itu jika terjadi di atas tanah ia berdiri, Banyuwangi.

Menutup mata dan telinga sebagai kaum yang mempunyai kapital intelektual-spritual yang memadai terhadap isu-isu kontemporer, adalah sikap yang tidak dapat dibenarkan. Maka dari itu, perlu suatu kesadaran kritis secara kolektif yang senantiasa berikhtiar dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di tingkat lokal maupun nasional.

Gambar III:
Kampus STAI Ibrahimy tampak depan (Dok. IAII)

Intelektual NU di dalam IAII juga harus melakukan tinjauan kritis terhadap landasan pemikiran dan gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah yang sampai detik ini masih banyak kebenaran yang belum tersingkap secara komprehensif. Pokok-pokok Ahlussunnah wal Jama’ah yang mafhum diketahui, seperti al-Usus al-Tsalasah fi i’tiqadi ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dalam wilayah tauhid; mengikuti salah satu mazhab empat di bidang fikih; dan mengikuti perumusan Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali di bidang akhlak-tasawuf) itu tanpa dikembangkan, akan mengalami stagnasi pemikiran dan gerakan, jika dilihat dalam konteks saat ini.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memberikan tawaran dalam tulisan berjudul Pengembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul Ulama yang perlu dikaji lebih lanjut, dalam hal ini dikontekstualisasikan dalam lingkungan kampus, Nahdliyin, dan masyarakat dalam rangka mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.

Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang meliputi pengkajian kembali sejarah pertumuhan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan dasar-dasar umum penerapannya di berbagai negara dan bangsa. Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, meliputi bidang-bidang berikut: 1) pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam; 2) pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi; 3) pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat; 4) pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’); 5) pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan budaya; 6) pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat; dan 7) asas-asas penerapan ajaran agama dalam kehidupan.[10]

Berbagai tawaran Abdurahman ad-Dakhil di atas sangat penting ditelaah secara kritis dan diaplikasikan, terutama bagi intelektual yang mengabdi di kampus-kampus dengan kultur akademik Ahlussunnah wal Jama’ah seperti IAII. Selama ini, narasi historis yang terus didemonstrasikan oleh civitas akademika IAII masih bersifat verbalistik dan masih berupa patahan-patahan semata. Dengan kata lain, bangunan epistemologis dan aksiologis masih belum terjangkau.

Misalnya, insan akademis IAII perlu melanjutkan “gerakan” Kiswah az-Zarkasyi secara progresif sebagai upaya untuk merumuskan landasan epistemologis dari nilai-nilai dan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah. Selain itu, menjadikan Kiswah sebagai lokus penyelesaikan isu-isu sosial, ekonomi, pendidikan, keagamaan, dan kebudayaan dengan ciri khas dan karakter IAII itu sendiri.

Sehingga, kontekstualisasi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah adalah salah satu dari sekian jawaban atas tantangan dunia kontemporer. Visi min al-Jami’ah ila an-Nahdlah (dari kampus menuju kebangkitan) ini harus diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan intelektual seperti kajian, riset, dan menulis untuk kemudian menjadi langkah solutif bagi persoalan-persoalan masyarakat.***

Catatan Akhir
1. Lihat Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

2. Lihat Gramsci, Antonio. 1971. Selections from the Prison Notebooks. Terj. Quintin Hoare & Geoffrey N. Smith. New York: International Publishers. Hal. 3

3. Lihat Mardhatillah Umar, Ahmad Rizky, “Membaca Surah Al-Ma’un Menjelang Tahun 2019” https://indoprogress.com/2018/08/membaca-surah-al-maun-menjelang-tahun-2019/ (diakses 2 September 2024)

4. Institut Agama Islam Ibrahimy (dulu Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy) berdiri sejak terbit akta pendirian Yayasan Pendidikan Islam dan Sosial Ibrahimy no. 27, 15 Nopember 1984 oleh notaris Reinhardt Bawolje, S.H

5. Secara historis, Kiswah ini merupakan cikal bakal dari Aswaja NU Center yang saat ini dikenal luas sebagai perisai kajian Islam Ahlusunnah wal Jama’ah di kalangan warga Nahdliyin. Kala itu, Kiswah dilaksanakan sebulan sekali di PWNU Jatim. Dan atas gagasan dan restu para kiai, alhasil Kiswah dikembangkan menjadi Aswaja NU Center pada amanat Konperwil 31 Januari 2011. Launching Aswaja NU Center bersamaan dengan peringatan Harlah NU ke-85 PWNU Jatim yang diresmikan oleh Drs. H. As’ad Said Ali dari PBNU. Aswaja NU Center ini memiliki lima divisi, antara lain: Kiswah (Kajian Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah), Dakwah (Dauroh Ahlu as-sunnah wal jama’ah), Makwah (maktabah Ahlu as-sunnah wal jama’ah), Uswah (usaha sosialisasi Ahlu as-sunnah wal jama’ah), dan Biswah (Bimbingan Ahlu as-sunnah wal jama’ah). Lihat: https://sorbansantri.com/asnuter/ (diakses pada 3 September 2024)

6. Lihat Siddiq, KH. Achmad. al-Fikrah an-Nahdliyah: Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama’ (Surabaya: FSSNU Jatim, 1992 [1969]). Hal. 19

7. Wawancara dengan Dr. H. Kholilur Rahman, M.Pd.I, 26 Agustus 2024

8. Sang mushonnif, KH. M. Hasyim Asy’ari, menuturkan dalam mukadimah kitab ini, bahwa di dalamnya memuat hadits-hadits tentang orang-orang yang mati, tanda-tanda hari kiamat, penjelasan tentang sunnah dan bid’ah serta beberapa hadits yang berisi nasihat-nasihat agama. Judul lengkap: 
رسالة أهل السنة و الجماعة في حديث الموتي و أشراط الساعة و بيان مفهوم السنة و البدعة

9. Wawancara dengan Ansari, S.Sy., M.H (selaku koordinator Kiswah az-Zarkasyi tahun 2019), 17 Agustus 2024

10. Lihat Wahid, Abdurrahman. Pengembangan Ahlussunnah wal Jama’ah di Lingkungan Nahdlatul Ulama (kata pengantar buku Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, 1997)










Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak