Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
“Selama elit politik seenaknya ngomong di media massa tanpa memperhitungkan akibatnya terhadap rakyat, masalah tidak akan terselesaikan”
Kiai Zarkasyi
Pena Laut - Pandangan politik tiap-tiap komunitas masyarakat memiliki pijakan nilai dan karakterisrik yang beragam, apalagi dalam kehidupan yang plural dan heterogen seperti di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pengambilan sistem negara demokrasi (oleh pendiri bangsa) yang menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan pendapat dalam segala bidang. Mulai dari pandangan hidup (worldview) hingga hal-hal yang terjadi berkelindan di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, setiap komunitas masyarakat tertentu memiliki ciri khas dan nilai filosofis-etis menurut kebudayaan masing-masing meski di bawah payung konstitusional negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bagaimana “manusia Indonesia” membaca dan memahami realitas yang terjadi di bawah kolong langit, kemudian diletakkan untuk menjadi bahan renungan, sehingga memunculkan berbagai jalan keluar atas problem yang dihadapi.[1] Selain unsur nilai-nilai filosofis-etis yang telah menjadi legacy (warisan) leluhur mereka, acapkali tindakan moral dan liberatif (secara politis) juga bertolak dari prinsip dan nilai agama.
Sejak masa penjajahan (kolonialisme-imperialisme) yang pernah terjadi di Tanah Air, sebagian masyarakat (pribumi) mulai melakukan perlawanan atas ketidakadilan di bumi mereka dilahirkan. Dari sanalah, muncul organisasi politik yang berusaha untuk “memperbaiki” keadaan ketertindasan yang sudah bertahun-tahun lamanya. Berbagai lokomotif dibentuk (dengan beragam latar belakang dan idelogi-politik) dalam rangka meraih kemerdekaan hakiki. Sebut saja seperti Boedi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1905), hingga organisasi ulama, seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahldlatul Ulama (1926). Semua organisasi tersebut tak lain adalah kendaraan untuk meraih kemerdekaan di Bumi Nusantara ini.
Para ulama, pewaris para nabi (warotsatul anbiya’) dan syuhada’ ini, terus melahirkan pemikiran dan gerakan yang sublim untuk mewujudkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Dengan keteguhan iman, kegigihan, dan semangat ishlah (perbaikan), mereka melakukan kerja-kerja peradaban hingga akhir hayat. Sampai detik ini, nafas perjuangan tidak pernah tertimbun oleh “serangan” modernitas yang kian menyeruak. Hal ini disebabkan oleh keimanan dan semangat mengaktualisasikan nilai-nilai Islam yang menjadi tanggung jawab mereka selama hidup di dunia.
Oleh karena itu, para ulama Indonesia memandang kehidupan sebagai medan perjuangan tanpa akhir untuk meraih ridho-Nya. Dengan basis epistemologis yang kuat dan derap langkah aksiologis yang nyentrik, para ulama (selanjutnya ditulis Kiai) terus menginspirasi umat untuk senantiasa melakukan perbaikan dan perlawanan terhadap penindasan sistemik maupun segala bentuk tindakan yang dapat melahirkan kemudaratan publik.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari seorang kiai khos di ujung timur pulau Jawa dengan dedikasi pengabdian kepada agama dan masyarakat yang besar. Ia, selain sebagai pemuka agama yang mashyur, juga sebagai sosok yang memiliki kecakapan dalam melakukan komunikasi antar-golongan yang berlainan pendapat. Juga, menarik untuk dikaji sebagai pertimbangan situasi politik mutakhir, bagaimana kiai kharismatik ini memandang politik sebagai wasilah memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan untuk seluruh rakyat di Bumi Shalawat Badar (Banyuwangi), khususnya. Ia adalah KH. Imam Zarkasyi Djunaidi.
Masa Penggemblengan: Sketsa Perjalanan Organisasi
Jika mendengar nama Kiai Zarkasyi, masyarakat Banyuwangi umumnya akan memberikan kesan kagum dan hormat kepadanya. Tak ayal, karena kiprah pengasuh kedua Pondok Pesantren Bustanul Makmur, Kebunrejo, Genteng Wetan itu selama hidup begitu besar kepada umat.[2] Sikap itulah yang membuat Kiai Zarkasyi memiliki posisi istimewa di mata masyarakat.
Sebagai seorang yang ‘alim-‘allamah, Kiai Zarkasyi tidak hanya ahli dalam bidang agama (Islam), namun juga mahir dalam melakukan komunikasi dan membela kepentingan kawula alit. Kesabaran, kegigihan, dan keberanian Kiai Zarkasyi untuk mengabdi pada agama dan bangsa itu tidak diperoleh tanpa tarbiyah begitu saja. Justru, sikap itu muncul dari penggemblengan yang terus menerus beliau terima, selain dari bimbingan KH. Djunaidi Asmuni, selama menjadi santri dan seorang organisatoris sejak muda.
Sejak usia dua puluh tiga (23) tahun, Kiai Zarkasyi sudah berkecimpung di dunia organisasi. Kala itu, pada usia yang relatif muda, Kiai Zarkasyi telah menjabat sebagai Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Blambangan pada 1965-1967. Kemudian, setelah beberapa lama mengabdi di IPNU Blambangan, Kiai Zarkasyi juga menjabat sebagai Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Anak Cabang Genteng pada 1967-1970.[3]
Saat menjabat di GP Ansor Anak Cabang Genteng itu, Kiai Zarkasyi juga menjadi pengurus Ta’mir Masjid Baiturrahman Genteng Wetan pada 1971, pengurus P2A Genteng 1971-1976, dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi pada 1975. Lambat laun, Kiai Zarkasyi menjadi bagian Majelis Wakil Cabang NU Genteng, dan kemudian ia didaulat sebagai Ketua Tanfidziyah.[4]
Kemudian, di Nahdlatul Ulama, Kiai Zarkasyi meneruskan ke jenjang berikutnya, yakni menjadi bagian Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Banyuwangi. Jabatan pertama yang diemban Kiai Zarkasyi di PCNU Banyuwangi ialah anggota lembaga dakwah pada 1979-1985. Kemudian, pada 1985-1988 ia menjadi ketua IV dan periode berikutnya menjadi Wakil Ketua I di bawah kepemimpinan KH. Abdurrahman Hasan.
Sedangkan Kiai Zarkasyi didapuk menjadi Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi pada Konferenci Cabang NU yang digelar di Pesantren Mambaul Falah, Kedungliwung, Singojuruh, pada 1992.[5] Selain di NU, Kiai Zarkasyi juga aktif di Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Cabang Banyuwangi. Di organisasi ini, beliau pernah menjadi Ketua II IPHI Cabang Banyuwangi pada 1990-1995 dan penasihat pada 1995-2000.
Dari pengembaraan yang panjang itulah, mulai dari IPNU hingga PCNU, Kiai Zarkasyi mendapatkan segudang pengalaman dan, terutama, komunikasi di dalam organisasi. Maka tak heran, kiai kharismatik kelahiran Madura tersebut disegani dan dihormati oleh semua kalangan masyarakat. Mulai dari Nahdliyin, kawula alit, elit politik, pengusaha, hingga warga keturunan atau Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan (Muslim maupun non Muslim).[6]
Rihlah Politik Kiai Zarkasyi: Khidmah Kiai untuk Negeri
Pada saat Kiai Zarkasyi menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah MWC NU Genteng, beliau juga aktif dalam partai politik, yakni dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kala itu NU masih menjadi bagian dari PPP. Bahkan, Kiai Zarkasyi menduduki Komisaris PPP Kecamatan Genteng pada 1977-1982.[7]
Dan di tahun yang sama, Kiai Zarkasyi terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II Banyuwangi dari fraksi PPP. Namun, setelah berakhir masa jabatan di DPRD Banyuwangi, Kiai Zarkasyi memutuskan untuk tidak melanjutkan karir politik di lembaga legislatif, meski banyak pihak yang meminta agar beliau tetap bertahan menjadi wakil rakyat tersebut.
Menurut beberapa sumber, alasan beliau meninggalkan karir politik di lembaga legislatif itu, antara lain: pertama, karena keputusan NU kembali ke Khittah ’26 saat Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984[8] dan kedua, keinginan Kiai Zarkasyi agar lebih konsentrasi untuk mengajar para santri dan mengurus umat.[9]
Kendati terbilang cukup singkat dalam spektrum politik, Kiai Zarkasyi telah berkontribusi semaksimal mungkin untuk membawa kepentingan kawula alit dan masyarakat luas. Beliau juga terkenal sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan persoalan masyarakat. Hal ini merupakan keberanian Kiai Zarkasyi dalam menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Banyuwangi, khususnya.
Keberanian tersebut adalah manifestasi keberpihakan dan khidmah Kiai Zarkasyi pada bangsa Indonesia. Menjadi sosok yang berani menyuarakan kebenaran di masa Orde Baru kala itu, adalah sikap yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dengan spirit menegakkan kebenaran serta iman yang kokoh, Kiai Zarkasyi berani “menghantam” tembok-tembok otoritarianisme yang berdiri kuat pada masa kepemimpinan Soeharto.
Pembela Kawula Alit: Selayang Pandang Politik Kiai Zarkasyi
Islam, sebagai agama rahmah, tentu harus termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Atau, dapat dirasakan kebermanfaatan dan kesejukannya di tengah-tengah badai kemanusiaan. Isu-isu kontemporer, terutama mengenai sosial-kemasyarakatan, adalah juga wilayah agama Islam yang tidak dapat diabaikan. Bagaimana Islam memiliki spirit saling tolong-menolong, mengasihi yang lemah, keadilan di muka bumi, dan nilai-nilai etis yang seharusnya tidak berhenti pada level oral maupun literal semata. Nilai-nilai tersebut harus terejawantahkan dan menjadi kenyataan yang diaktualisasikan oleh segenap Muslim di seluruh jagat ini agar mampu memberikan solusi bagi persoalan masyarakat.[10]
Kiai Zarkasyi adalah salah seorang yang berupaya mewujudkan cita dan visi Islam itu. Beliau, dengan segala kemampuannya, memilih jalan kemanusiaan dan “pembebasan” atas keterbelengguan yang dialami kawula alit (masyarakat kecil). Sikap memprioritaskan kawula alit ini, merupakan didikan ayahnya, KH. Djunaidi Asmuni, agar senantiasa mengutamakan kepentingan kawula alit dan masyarakat luas.[11]
Untuk membela dan melakukan perbaikan (ishlah) di dalam kehidupan bangsa dan negara, Kiai Zarkasyi pernah memilih jalur politik. Pada 1977-1982 beliau terpilih menjadi anggota DPRD II Kabupaten Banyuwangi dari fraksi PPP. Jalan ini ditempuh Kiai Zarkasyi bukan tanpa rintangan, justru sebaliknya, beliau dihadapkan pada ganjalan-ganjalan yang menghambat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Spirit dan nilai yang dibawa oleh Kiai Zarkasyi ternyata tetap tidak memberikan perubahan yang signifikan di dalam pemerintahan. Sebab, masih banyak oknum politisi yang menghendaki perubahan dengan cara yang lamban. Pandangan politik yang kritis-konstruktif dan senantiasa memprioritaskan untuk kepentingan publik inilah yang menjadi pijakan Kiai Zarkasyi saat mengabdi dalam lembaga legislatif.
Tidak bisa saya berpangku tangan melihat kondisi bangsa dan negara. Sebagai anak bangsa, saya mempunyai rasa tanggung terhadap masa depan bangsa. Jika negara rusak, rusak lah manusia. Untuk itu para elit politik hendaknya memikirkan kepentingan rakyat, jangan mementingkan pribadi.. (Kiai Zarkasyi dalam Surya, 25 Maret 2001)
Memimpin umat bukanlah perkara yang mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Sebagai pemimpin, segala sesuatu harus bermuara untuk kemaslahatan orang banyak. Tidak asal duduk manis di bangku kekuasaan. Pemimpin (juga segenap pemerintah dari berbagai bidang dan tingkatan) harus penuh pertimbangan untuk memutuskan kebijakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat.
Selama elit politik seenaknya ngomong di media massa tanpa memperhitungkan akibatnya terhadap rakyat, masalah tidak akan terselesaikan (Kiai Zarkasyi, dalam Surya, 25 Maret 2001)
Dalam pandangan Kiai Zarkasyi, apalagi mengenai urusan politik, jalan kompromi adalah yang paling utama. Sebab, jika para elit politik terus menerus saling menjatuhkan satu sama lain, maka yang paling dirugikan adalah rakyat. Padahal, segala kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan umat. Bagaimana langkah ini beliau ambil saat meredam massa di Ketapang dan Kalibaru.[12]
Selama masalah itu dapat diselesaikan dengan cara kompromi, ya jalankan daripada memilih konflik yang nantinya menyusahkan rakyat kecil. Jika para elit politik tidak mau dengan cara kompromi, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi (Kiai Zarkasyi, dalam Surya 25 Maret 2001)
Perspektif politik Kiai Zarkasyi tersebut sejalan dengan orientasi besar Nahdlatul Ulama untuk bangsa Indonesia. Secara historis, NU bertujuan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, perbaikan, dan amar ma’ruf-nahi munkar di segala lini kehidupan. Keberpihakan NU tak lain pada kebenaran dalam urusan politik, bukan justru netral dan pasif sehingga membiarkan kebatilan menyeruak dan mengakibatkan kemafsadatan yang jelas merugikan warga negara.[13] Dengan kata lain, politik NU itu milik segenap komunitas bangsa Indonesia, tidak memandang latar belakang agama dan suku. Semua sama demi kemaslahatan agama dan bangsa.
Selain itu, kekuatan NU dan sebagai Nahldiyin tidak hanya kuat di dalam masyarakat, namun juga secara struktural (dalam sistem kenegaraan) harus kokoh. Sebagaimana yang termaktub dalam penggalan QS. Ibrahim ayat 24: ...ashluha tsabit wa far’uha fis-sama’. Artinya, akar NU itu kokoh menghujam dalam basis sosial masyarakat serta kuat dan besar hingga menjulang ke langit; mengayomi, sekaligus membawa berkah dan rahmat bagi alam semesta.[14]
Pandangan ini telah disampaikan sebelumnya oleh KH. Muchit Muzadi, bahwa NU merupakan organisasi yang independen. Maksud dari independen ialah tidak netral, sebaliknya, ia harus memihak demi kemaslahatan umat.[15] Pandangan politik kiai asal Tuban yang akrab disapa Mbah Muchit itu juga dilakukan oleh Kiai Zarkasyi. Melalui lembaga legislatif, Kiai Zarkasyi melakukan segala upaya perbaikan dan membangun kemaslahatan umat secara umum. Setelah menjabat anggota DPRD II Kabupaten Banyuwangi, akhirnya beliau memilih untuk ngeramut masyarakat dengan cara mengajar, mendirikan sekolah, dan menjadi komunikator antar-golongan masyarakat.
Kendati Kiai Zarkasyi tidak lagi aktif dalam dunia politik-praktis, hal tersebut bukan berarti beliau absen untuk berpihak dan membela kawula alit (masyarakat kecil). Justru pada fase inilah, Kiai Zarkasyi menorehkan seluruh hidupnya untuk agama dan bangsa.
Wasiat Kiai Zarkasyi untuk NU dan PKB
Orang-orang alim memang terkadang tidak dapat dilihat dan dibaca menggunakan pandangan rasional. Seringkali, keputusan dan tindakan para ulama sulit diterima akal pikiran rasional (khoriqul adah). Sebab, orang-orang yang memiliki iman yang kuat, alim, dan terus berjuang di jalan Allah (fi sabilillah) akan mendapatkan keistimewaan dan derajat yang mulia di sisi-Nya.
Hal tersebut juga dimiliki oleh Kiai Zarkasyi. Seorang kiai yang jarang sekali berbicara (yang tidak perlu) ini pernah mengatakan kepada salah satu santrinya, KH. Surajuddin Ahmad, Sampang, Madura beberapa saat sebelum beliau meninggal dunia.[16] Selain itu, setahun sebelum Kiai Zarkasyi wafat, beliau menulis wasiat-wasiat, beberapa wasiat itu ditujukan untuk warga NU dan PKB.[17]
Akhirnya, wasiat itu dibacakan oleh KH. Muwafiq Amir dan disaksikan oleh Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi kala itu serta puluhan ulama NU. Wasiat itu ditulis dalam satu buku kecil menggunakan Arab-pegon.[18] Berikut butir-butir wasiat Kiai Zarkasyi untuk NU dan PKB;
Kepada warga NU:
Warga NU harus ikhlas berjuang, bersikap tasamuh, tawazun, tawassuth, dan adil, serta amar ma’ruf-nahi munkar; bersatu padu melaksanakan tugas, memperjuangkan dan memantapkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah; bermusyawarah menyelesaikan persoalan; selalu mendekatkan diri kepada Allah; memperkuat persaudaraan Nahdliyah dan Islamiyah; mengamalkan ajaran Aswaja melalui pengajian, dan selalu menegakkan disiplin dalam berorganisasi.
Kepada pengurus dan warga PKB:
Ikhlas berjuang lewat PKB demi tegaknya agama Allah; jangan khianati ulama dan rakyat; tidak gentar membela yang benar; selalu menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar; katakan benar walaupun pahit; hidup adalah perjuangan; selalu melakukan konsolidasi partai; menata diri dan memperkuat partai; dan PKB harus tetap menjadi partai terbuka dan pelopor reformasi dan demokrasi.[19]
Catatan Akhir
1) Mochtar Lubis menyebutkan ciri-ciri manusia Indonesia yakni: hipokrit; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodal; percaya takhayul; artistik; dan memiliki watak yang lemah. Pernyataan ini disampaikan pada pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 6 April 1977. Sedangkan diterbitkan pertama kali dengan judul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban pada 1978.
2) Kiai Zarkasyi merupakan pengasuh kedua PP. Bustanul Makmur, Kebeunrejo, sepeninggalan ayahnya, KH. Djunaidi Asmuni (pendiri dan pengasuh pertama). Lihat Dendy Wahyu Anugrah, 5 Wasiat KH. Imam Zarkasyi Djunaidi: Syarah Wasiat Untuk Institut Agama Islam Ibrahimy. Malang: Dinun, 2024. Hal. 16
3) Lihat Ainur Rofiq S. Ahmad, Tiga Kiai Khos. Yogyakarya: Pustaka Pesantren, 2008. Hal. 105-6
4) Lihat Ayung Notonegoro, Lentera Blambangan: Biografi Sembilan Ulama Teladan. Banyuwangi: Komunitas Pegon, 2023. Hal. 285
5) Ibid. Hal. 288-9
6) “Kiai Zarkasi sebenarnya bukan hanya milik warga NU atau mulsim saja. Tapi juga milik warga keturunan yang bukan muslim,” tutur Sekretaris GP Ansor Banyuwangi, Dr. (HC) Zainal Arifin Salam, M.Sc. Lihat: koran Radar Banyuwangi, Kiai Zarkasih Wafat, 3 Desember 2001
7) Ainur Rofiq, Op.cit. Hal. 106
8) Keputusan Kiai Zarkasyi meninggalkan karir politiknya itu bersamaan dengan sejumlah tokoh lain. Di antaranya adalah KH. Muhammad Thohir, Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi kala itu. Lihat Ayung Notonegoro, Op.cit. Hal. 285
9) “Daripada santri dan umat tidak terurus, saya mengundurkan diri dari kancah politik. Apalagi selama jadi (anggota) dewan, pemerintah daerah saat itu merasa berkuasa, dan tidak mau dikritik,” tandasnya (Kiai Zarkasyi). Lihat: koran Surya, KH. Imam Zarkasih Djunaedi, Peredam Aksi Massa di Pelabuhan Ketapang, 25 Maret 2001
10) Sebelum mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut, perlu pembacaan yang kritis terhadap ajaran moral agama. Seperti yang ditulis oleh Nur Khalik Ridwan: “Menurut saya tanpa model rekonstruksi dan pembacaan yang dekonstruktif terhadapa peran ajaran-ajaran moral agama, “agama” dan “Tuhan” akan mengalami kematian dan hanya tampil sebagai “pil penenang” yang tidak menyelesaikan masalah”. Selebihnya lihat Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia. Yogyakarta, Galang Pres, 2001. Hal. xliii
11) “Sejak kecil saya selalu diajarkan orang tua, bahwa kita hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain. Sebab umur kita ini merupakan amanah dari Allah Swt. Jika kita absen dari kebaikan maka akan merugi di akherat kelak”. Dalam Surya, Dengar dulu uneg-unegnya sampai puas, 25 Maret 2001
12) Lihat Ainur Rofiq, Op.cit. Hal. 116-121; Ayung Notonegoro, Op.cit. Hal. 293-295; Surya, 25 Maret 2001; Surya, 3 Desember 2001;
13) Lihat Ahmad Baso, Ngaji Khittah NU untuk Pemula: Ngaji Khittah untuk Bersama Menyusun Kekuatan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yayasan Garuda Bumandhala, 2022. Hal. 115
14) Ibid. Hal. 57
15) Lihat NU Online, Muchit Muzadi: NU Independen Berarti Tidak Harus Netral, 4 Juni 2004 (diakses pada 11 September 2024)
16) Pada pertengahan Nopember, KH. Surajuddin Ahmad yang mengaku menjadi santri sejak 1963-1972 tersebut sempat bertemu dengan KH. Imam Zarkasyi Djunaidi. “Saya ketemu terakhir pertengahan Nopember lalu. Saat itu almarhum menyatakan sudah akan meninggal”. Lihat: Radar Banyuwangi, Tak Lupakan Tugas Mengajar Santri, 3 Desember 2001. Hal. 31
17) Menurut KH. Lukman Hakim, salah satu putra KH. Imam Zarkasyi, surat wasiat itu ditulis sejak tahun lalu (tertanggal Kamis, 17 Februari 2000). Bahkan ketika Kiai Zarkasyi sakit, beliau juga mengingatkan kembali mengenai surat wasiatnya yang ditulis di buku (book note) itu. Lihat Radar Banyuwangi, Wasiat Kiai Zarkasih Masih Misterius, 3 Desember 2001
18) Radar Banyuwangi, Wasiat Kiai Zarjasih Dibuka, pada Kamis (malam), 6 Desember 2001
19) Ainur Rofiq, Op.cit. Hal. 127; Radar Banyuwangi, Warga NU Harus Ikhlas..
Posting Komentar