Perempuan itu senantiasa bernama: kasih sayang, perjuangan, dan cinta
Pena Laut - Ketika Tuhan mencintai salah seorang hamba-Nya, maka seluruh makhluk langit dan bumi berbondong-bondong ikut mencintai hamba itu. Demikian dalam hadist yang masyhur kita ketahui. Jika Tuhan semesta alam telah mencintai seorang hamba, sudah barang tentu hamba itu istimewa di “mata” Tuhan. Semua cinta yang ada di dunia ini bersifat profan, kecuali cinta Tuhan kepada hamba-Nya.
Selain itu, kita juga seringkali mendengar ayat, yang artinya:
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, hanya kepada Kami kamu dikembalikan (QS. Al-Ankabut: 57).
Apalagi, dia adalah orang yang memiliki keistimewaan berupa ketaqwaan, senantiasa beramal saleh, di mana-mana menebar kasih sayang kepada sesama, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak lain adalah mengajak kepada kebajikan, kebenaran, dan taqarrub ila Allah. Insan seperti ini merupakan “kesayangan” Tuhan.
Orang-orang kesayangan Tuhan ini, sebagian besar, tidak hanya merenungi ayat-ayat Tuhan, melainkan juga berusaha untuk mewujudkan ayat yang bertebaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Atau, dengan kata lain, ia telah menjadi laku hidup yang sublim. Hal ini dapat kita saksikan pada orang yang memiliki spirit keimanan yang kokoh, etos kerja yang tinggi, dan selalu pada lajur kebenaran yang di-ridhai oleh-Nya.
Sosok di atas seolah-olah menyatu pada diri sahabat kami, Anisah Hajir Dzahabiyyah.
Tepat pada Minggu (15 September 2024/11 Rabiul Awwal 1446) dini hari, seorang perempuan tangguh meninggalkan kami semua dengan segudang kebaikan yang telah ia berikan selama hidup.
Perempuan Kesayangan Tuhan: Ia Hanya Pulang, Bukan Pergi
Perempuan yang tangguh dan berani itu bernama Anisah Hajir Dzahabiyyah. Ia, lahir dari kehidupan yang amat menempa dirinya, sehingga ia menjadi pribadi yang tangguh. Semua mengakui hal ini. Siapapun dia. Orang yang baru pertama kali bersua pun akan berkata dengan jujur: bahwa dia adalah orang yang baik (sholihah).
Anisah, demikian panggilan akrab kami kepadanya, merupakan potret seorang perempuan muda yang tak pernah mau tinggal diam melihat ketidakdilan. Ia selalu berada di jalur kebenaran. Ia senantiasa berpihak pada kaum yang dilemahkan, terzalimi, dan terbelenggu oleh siasat orang-orang munafik.
Siapa yang tidak kenal Anisah Hajir Dzahabiyyah, seorang aktivis perempuan ujung timur Jawa yang telah menghibahkan dirinya untuk kepentingan publik. Terutama, bagi kaum perempuan. Suaranya lantang, namun tak menyakiti. Kepalan tangannya bak Dewi Keadilan asal Yunani, Themis, yang menjadi simbol keadilan di muka bumi.
Tulisan-tulisannya tajam, persis merobek-robek kejahatan yang bersemayam pada diri manusia. Untaian kata-kata Anisah tak pernah kosong. Huruf demi huruf, kata demi kata, rentetan kalimat yang dia hadirkan, adalah saripati ilmu yang terkandung dalam hati dan pikirannya.
Kita juga dapat menyaksikan dengan mata yang jujur, bahwa perempuan asal Tembokrejo, Muncar, Banyuwangi itu adalah seorang muslimah yang taat. Ghiroh tholabul ilmi-nya, tiada tanding. Dan, ilmu itu tidak mengendap, melainkan termanifestasi dalam tiap derap langkah untuk menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan meraih ridha-Nya.
Bagi saya, dia adalah piantun (baca: sosok) perempuan yang lengkap; gigih, cerdas, cakap, sabar, visioner, hingga bijak. Perempuan yang memiliki darah Bugis itu, kesehariannya, tidak luput dari “menanam benih-benih” kebaikan dan memberikan hasil panen benih itu kepada seluruh manusia yang ia temui. Maka tak ayal, jika ia saya anggap sebagai pribadi yang sulit dicari keberadaannya saat ini.
Dan yang tak kalah penting, adalah pengabdian Anisah selama hidup. Menjadi mahasiswa, aktivis, mengajar anak-anak bangsa di sekolah, menggembleng diri dengan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan menjadi pemimpin yang harus mengayomi orang banyak. Itu semua ia lakukan bersamaan dengan menjaga ayat-ayat al-Qur’an yang ia simpan dalam hatinya. Ya, Anisah adalah seorang hamilatul qur’an.
Bagi kami, terutama saya pribadi, perempuan yang tangguh dan berjiwa besar itu tidak pergi meninggalkan kami. Sesungguhnya ia tidak pergi, melainkan pulang atau kembali ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, saya syahadah, bahwa Anisah Hajir Dzahabiyyah adalah perempuan kesayangan Tuhan.
Melanjutkan Perjuangan Anisah Kini, Esok, dan Nanti
“Hidup yang tak pernah dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan,” demikian teriakan seseorang yang pernah diasingkan ke Banda Neira, Sutan Sjahrir. Sahabat kami, Anisah, juga telah mempertaruhkan pikiran, waktu, dan tindakan untuk cita-cita universal berupa keadilan bagi seluruh umat manusia.
Pembacaannya atas kalimat Pramoedya Ananta Toer, “adil sejak dalam pikiran maupun perbuatan” telah menjadi gerakan sahabat kami selama hidup. Sekali lagi saya tandaskan: setiap orang yang dekat dan bahkan ikut serta dalam perjalanan Anisah untuk memperjuangkan hak dan keadilan bagi sesama, utamanya perempuan, telah menyaksikan bagaimana ia tertatih-tatih dalam masa-masa itu.
Kepribadiannya kuat, laiknya Nyai Ontosoroh dalam roman Tetralogi Pulau Buru. Acap kali ia “menggugat” kemapanan seperti Nidah Kirani dalam novel gubahan Muhidin M. Dahlan. Ketaatan ibadah dan semangat mencari ilmu-nya bagaikan Annisa Nurhaiyyah, tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Ketabahannya seperti Nyai Siti Walidah, istri KH. Ahmad Dahlan.
Alumni Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bondowoso, ini memang sosok yang berani. Bagaimana tidak, sebab ia senantiasa membela perempuan-perempuan yang dilemahkan. Sampai akhir hayat-nya, ia tetap pada jalur yang semula ia tekuni saat menjadi anggota organisasi di kampus. Hal ini ia lakukan semata karena tidak kuasa melihat ketimpangan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di bawah kolong langit.
Selain itu, ia juga tak pernah takut menyampaikan kebenaran kepada siapapun. Melalui kata-kata yang lugas dan tidak menyakiti seseorang yang dikritik, ia selalu berusaha memperbaiki dan meluruskan hal-hal yang bengkok. Seakan-akan, apa yang dia lakukan adalah perwujudan dari hadist Nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 49).
Untuk senantiasa “mengabadikan” Anisah dalam tiap hembusan nafas perjuangan kita, seyogianya kita melanjutkan apa yang telah diperjuangkan oleh Anisah selama ini. Ia akan tetap “hidup” di dalam hati dan tiap langkah kita dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Terutama, membela mereka yang dilemahkan dan dilindas oleh manusia yang lalim. Pergerakan Anisah akan terus bersemi, di dalam kepalan tangan kita yang terus menghantam tabir-tabir tirani.
Sugeng Tindak, Nis, Swargi Langgeng...
Jujur, kepulangan sahabat kami, Anisah Hajir Dzahabiyyah, tidak dapat diutarakan dengan kata-kata dan apalagi, tulisan semacam ini. Hanya saja, hati saya tergerak untuk mengabadikan Anisah dan hal-hal yang terus diperjuangkan hingga akhir hayat-nya.
Semua terasa begitu cepat. Sekelibat. Namun, kepulangan sahabat kami yang penuh dengan dedikasi dan spirit yang kuat di jalan kebenaran itu, tidak lantas membuat kami (terutama saya) hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong. Justru sebaliknya, saya dan sampean semua memiliki tugas yang amat berarti untuk Anisah, yakni dengan terus melanjutkan segala perjuangan Anisah Hajir Dzahabiyah semampu kita. Dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Untuk sahabat dan adik saya, Anisah Hajir Dzahabiyyah, sugeng tindak lan swargi langgeng.
Bagi saya, perempuan itu senantiasa bernama: kasih sayang, perjuangan, dan cinta..
Salam,
Dendy Wahyu Anugrah
Banguntapan, Bantul, DIY, 15 September 2024
1 komentar