BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Strukturkan Pola Berpikirmu Dalam Mengkaji Iman dan Islam

Pena Laut -
Kamu beragama dan bertuhan karena apa? Kamu mengakui tuhanmu karena apa?
Beriman dan berislam tidak akan sah jika masih berlandaskan ikut-ikutan, karena warisan, karena lingkungan, bahkan ada yang mengatakan keturunan dari orang tua. Yang lebih fatalnya adalah ideologi yang salah kaprah dari dulu hingga sekarang yaitu, jika terlahir dari orang tua Yahudi maka diyahudikan, jika dilahirkan dari keluarga Nasrani maka dinasranikan, dan jika terlahir dari keluraga Muslim maka diislamkan. Inilah pola fikir yang sudah tertanam dikalangan masyarakat umum, tidak lagi membedakan agama manapun, semuanya sama rata memegang ideologi seperti ini.

Selayaknya seorang yang sudah baligh (bisa membedakan mana yang baik dan buruk) menyatakan beriman haruslah dari diri sendiri, karena sahnya seorang dikatakan beriman dan berislam ialah dia yang mengatakan, mengakui, dan menemukan dari cara dia menggunakan Aqli (akal atau logika) dan Naqli (petunjuk dari teks ayat Al-Qur’an) dari dirinya sendiri. Barulah sah keimanan dan keislaman seseorang.

Hal yang harus dilakukan untuk mestrukturkan pola berpikir dalam mengkaji Iman dan Islam, yaitu:

Pertama: dalam segi Logika (Aqli). Logika akan mengarahkan kepada angan-angan sehingga memunculkan kepercayaan adanya Allah dengan landasan adanya alam semesta ini. Lepas semua yang berkaitan dengan duniawi dan larikan angan-anganmu terhadap objek yang nalar sendiri tidak bisa menerima adanya objek tersebut. 

Contohnya alam semesta. Tidak ada satupun makhluk yang menyaksikan alam ini terbentuk, melainkan hanya Allah sajalah yang menciptakan. Loh penulis kok bisa mengatakan seperti ini? Lantas apa landasan penulis mengatakan ungkapan tersebut? Yakni dengan adanya dan tersusunnya kitab suci Al-Qur’an. Maka dari itu sangat berbahaya jika mempelajari Tauhid hanya setengah-setengah, bahkan berhenti di tengah jalan begitu fatal seperti ini.

Kedua: dalam segi Naqli atau bisa ditinjau dari kitab suci Al-Qur’an landasan atau dalil tersebut kebenaranya merupakan suatu yang mutlak bahkan kebenaran yang hakiki.

Kesimpulannya adalah carilah keyakinanmu tentang Tuhanmu dan para utusanya dengan jalan pikiranmu, dengan falsafahmu, dengan angan-anganmu. Dengan demikian Iman dan Islam kita dinyatakan sah dengan contoh ungkapan yang sederhana (“saya beragama, bukan semata-mata dari keturunan, melainkan saya beriman dan berislam memang dari dasar keturunan, namun diperkuat dengan logika yang mengarah kepada segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Serta diberi petunjuk dari orang-orang yang ahli di bidang Tauhid dan tidak lupa pedoman kitab suci Al-Qur’an yang kita miliki dari pemberian wahyu yang diturunkan melalui malaikat jibril yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, lalu disampaikan terhadap umat seluruh alam”).

Tidak mudah untuk mencapai titik beragama dan bertuhan dengan berfalsafah, dengan berpikir, dengan keyakinan tinggi tentang Tuhan yang muncul dan berkembang di diri sendiri, tanpa dipengaruhi dan tanpa mengkaitkan karena keturunan semata. Namun jika seseorang mampu menemukan Tuhan dan agamanya disebabkan dirinya sendiri dan disertai dengan wujud Tuhan yang ada, maka seseorang tersebut telah mencapai titik ber-Tuhan dan beragama secara utuh, bukan sekedar warisan, ikut-ikutan dan lain-lain.


Oleh: M.A.R.A
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak