Rumah Mbah Bedjo, tak gede-gede amat, hanya muat kira-kira maksimal buat sepuluh orang, barangkali ukurannya cuma 3x5 meter. Model rumah yang kuno, bukan disusun dengan batu-bata, melainkan dengan kayu-kayu—biasanya rumah yang demikian disebut dengan Gubuk. Sederhana, memang, tapi tiap kali saya memasuki rumah itu, rasa-rasanya suasana hati jadi bahagia betul, ingin tetap berada di sana.
“Assalamualaikum, Mbah.”
“Waalaikumsalam, mari duduk di sini, Dik.” Jawab Mbah Bedjo
“Enggih, lanjutkan bacanya, Mbah.” Saat saya datang, Mbah Bedjo sedang asyik membaca buku, sambil memegang rokok di tangan kirinya. Secangkir kopi, sepiring pisang goreng, dan asbak rokok berbentuk lingkaran yang berbahan kayu, terlihat di atas mejanya yang berada tepat di samping kiri Mbah Bedjo.
“Kalau saya lanjut membaca, lantas kau mau apa kemari, hah?” Sahut Mbah Bedjo sambil tersenyum.
“Hahahaha. Ya, merokok sambil merenung, Mbah.” Ucapku sembari menggaruk-garukkan kepala. Benar juga. Kalau Mbah Bedjo masih asyik membaca, bahkan sampai berjam-jam, lantas saya kemari mau ngapain? La wong tujuan saya kesini tak lain dan tak bukan hanya untuk berbincang-bincang.
“Hahaha,” tawa Mbah Bedjo saat mendengar jawaban saya. “Kau ini, Dik, sok-sok an megaya mau merenung. Memang ilmu dan pengetahuan mu sudah mumpuni?”
Saya hanya manggut-manggut, sembari berpikir: lah, memang merenung itu harus menggunakan ilmu dan pengetahuan? Jika iya, berarti hanya kelas-kelas tertentu yang boleh merenung. Sedang kaum-kaum yang masih minim ilmu dan pengetahuan, lagi-lagi terpinggirkan.
“Seperti menyelam di lautan, merenung itu butuh dengan ilmu dan pengetahuan,” kembali Mbah Bedjo menjelaskan. “Bila tidak dengan ilmu dan pengetahuan, maka perenunganmu hanya akan membuahkan sampah. Sampah-sampah yang akan mengotori pikiran dan hatimu. Penyelam akan mati di kedalaman laut atau mati dalam cengkraman makhluk laut yang berbahaya, bila dia tidak mengerti cara menyelam yang baik dan benar dan mengerti pengetahuan seputar makhluk laut.”
Berhenti sejenak, Mbah Bedjo mengambil segelas cangkir kopi di sampingnya, dan menyalakan sebatang rokok lintingannya. Selang beberapa detik kemudian, gumpalan asap tebal mengepul di depan mulut Mbah Bedjo.
Suasana terasa santai, hingga saya memberanikan diri untuk memulai perbincangan lagi. “Tapi, Mbah, seringkali saya melihat orang yang sudah berilmu—bahkan sampai berjimbun pangkat sudah dia capai, namun dia mempunyai perangai yang buruk. Suka menipu banyak orang, ngibul sana-sini, korupsi, dan menjilat.”
Mbah Bedjo sejenak tersenyum tipis, lantas menjelaskan. “Perlu kau ketahui, Dik. Berjimbun dan berderet pangkat tidak menjamin manusia itu berilmu. Karena sejatinya orang yang berilmu itu bisa dilihat dari perilakunya, bukan dengan pangkatnya. Paham kau, Dik?”
“Enggih, Mbah.”
“Sebagaimana kata Imam Syafi’i, ilmu itu dinamis, tidak sekedar yang menempel di kepala. Ilmu itu seperti air, jika ia tidak bergerak, maka akan jadi keruh dan membusuk. Ilmu yang hakiki adalah yang terwujudkan dalam kehidupan, bukan hanya bertengger di kepala. Jadi, ilmu itu harus terwujudkan dalam perilaku, Dik. Jika ilmu tak menjadi perilaku, sungguh itu celaka. Orang yang demikian, hanya bisa menipu sana-sini, berdalil sana-sini, sok jadi tukang analisis, menyalahkan dan menjatuhkan orang lain, melihat orang lain melalui standar kebenarannya sendiri. Ilmunya—meminjam istilah Kang Fiq—cuma ilmu "kakean cangkem" dan "kakean ruwet" bin ribet.” Sejenak berhenti, Mbah Bedjo kembali menyeruput kopi di sampingnya.
Sedang saya hanya manggut-manggut berusaha mencerna ucapannya. “Orang yang demikian berarti tidak memanusiakan manusia ya, Mbah?”
“Ya, orang yang menipu sana-sini, berdalil sana-sini, menyalahkan dan menjatuhkan orang lain, dan melihat orang lain melalui standar kebenarannya sendiri, itu bukan orang yang memanusiakan manusia. Kau hafal kan, ucapan Bismillahirrahmanirrahim?” Tanya Mbah Bedjo.
“Ya, jelas, Mbah.”
“Dalam ucapan itulah kunci kemanusian kita. Bismillahirrahmanirrahim, yang berarti Tuhan maha pengasih lagi maha penyayang. Tuhan dapat mengampuni segala dosa asal yang berdosa sudi datang pada-Nya dengan kejujuran dan penyesalan yang sungguh. Kita, manusia yang biasa dan lemah ini, tidak ada kekuasaan secuil pun untuk menjadi hakim yang mutlak, dan menjatuhkan hukuman tanpa ampun kepada sesama manusia.” Jelas Mbah Bedjo.
Suasana kembali hening dan tenang, menyisakan suara sebatang lintingan rokok. Hingga kembali Mbah Bedjo melanjutkan perbincangan. “Manusia itu, sejatinya adalah makhluk sosial, makhluk yang butuh pada sesamanya. Kau butuh pada orang lain, Dik?"
“Sudah jelas, iya, Mbah.” Singkat dan jelas, begitulah jawab saya.
"Bagus. Kalau saja kau bilang tidak, asbak di sampingku ini sudah melayang di ndasmu. Hahahaha.” Tawa Mbah Bedjo memecahkan suasana. Sedang saya hanya tersipu malu, meringis, menggarukkan kepala.
“Coba kau pikir! Kaos dan celana yang kau gunakan itu", ucap Mbah Bedjo sambil menunjuk ke pakaian saya. "Bila tak ada tukang kain dan tak ada tukang jahit, mana bisa kau berpakaian seperti itu. Bila tak ada orang yang menanam tembakau, tak ada orang yang meracik, hingga tak ada si warung penjual rokok, mana bisa kau menghisap rokokmu itu. Jadi, sadar atau tidak sadar, segala kehidupan kita selalu membutuhkan campur tangan orang lain. Maka, tak seharusnya kita bertindak, bahkan berpikiran pun, jangan sampai menghakimi segala lini kehidupan orang lain. Itu hanya hak dan wewenang Tuhan. Sampai sini paham kau, Dik?"
“Enggih, Mbah.”
“Bagus. Sudah terwujud kan kepentinganmu untuk datang menemui saya? Ini sudah malam, saya mau tidur.” Pungkas Mbah Bedjo.
Seraya berpamitan, saya berpikir keras. Kok bisa Mbah Bedjo tau tentang kepentinganku untuk datang menemuinya? Ah, ucapan Mbah Bedjo sejenak melintas dalam pikiranku. “Sok-sok an megaya mau merenung. Memang ilmu dan pengetahuanmu sudah mumpuni?” Segera saya lupakan persoalan itu. Sekarang lebih baik saya mengisi baterai fisik, dengan memejamkan mata sembari membaringkan badan di ribuan pulau kapuk kamarku.
Oleh: Hilmi Hafi
Posting Komentar