BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Aksi Banyuwangi Menggugat: Mengapa Banyak Kejanggalan Terjadi?



“Saya curiga terhadap hal-hal yang tidak disampaikan secara terbuka; karena di sanalah sumber segala kekacauan”

Jean-Paul Sartre

Pena Laut - Di negara demokrasi, menyatakan suara di depan umum adalah hak setiap warga negara. Seluruh elemen masyarakat berhak atas hak suara-suara yang menghantam tembok-tembok kekuasaan, menampar mimik wajah pengkhianatan, dan membakar “mahkota raja” yang menutupi isi kepala kotor penguasa. “Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan,” demikian penggalan sajak seseorang yang dirampas hidupnya oleh rezim Orba, Wiji Thukul.

Belakangan kita dicengangkan dan dibuat marah oleh kabar yang keluar dari celah-celah gedung DPR RI, bahwa Baleg bermaksud mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada pada Kamis (22/08) kemarin. Melansir Tempo.co, rencana pengesahan RUU Pilkada itu akhirnya dibatalkan karena sidang paripurna tidak memenuhi syarat kuorum atau 50 persen plus 1 dari anggota DPR yang hadir.

Bersamaan dengan DPR menggelar rapat paripurna, seluruh elemen masyarakat (mahasiswa, akademisi, buruh, dan lain-lain) melakukan aksi demonstrasi di berbagai wilayah. Massa aksi yang berdesakan bak ombak laut utara itu mengepalkan tangan ke langit untuk mengawal demokrasi dengan tajuk: Peringatan Darurat.

Bagi mereka, turun ke jalan bukan suatu hal yang muspro (baca: sia-sia) dilakukan. Sikap idealis dan melawan kepongahan penguasa lalim merupakan nilai yang senantiasa terus di-demonstrasikan. Meski, semangat gerakan yang berapi-api itu tidak mampu membumihanguskan istana penguasa yang mengkhianati rakyat. Salah satu demonstran di Jogja, Agus Mulyadi, dalam akun media sosial-nya mengatakan demikian:

“...Kami ingin menjadi semut Ibrahim, yang tetap mencoba membawa air setetes untuk ikut memadamkan Ibrahim yang sedang dibakar oleh Namrud, betapapun ia sadar air setetes itu tidak akan bisa memadamkan api besar yang melahap Ibrahim. Tapi, ini bukan tentang air dan api, ini tentang sikap.
‘Aku tahu setetes air yang kubawa tidak akan bisa memadamkan api besar Namrud, tetapi dengan air ini aku bisa memastikan di pihak mana aku berada’, kata si semut.”


Bermula dari upaya Baleg DPR RI yang akan mengesahkan RUU Pilkada—yang justru dianggap kontras dengan putusan MK—itulah, seluruh masyarakat Indonesia marah. Sebab, konstitusi coba-coba dilawan. Perlawanan rakyat akan terus mematahkan cengkeraman cakar kekuasaan yang lalai dan melakukan tindakan inkonstitusional. Dengan tangan, lisan, dan hati.

Gerakan massa juga terjadi di daerah Jawa paling timur, Banyuwangi. Ratusan massa berkumpul untuk menegakkan kembali demokrasi. Sebagian besar masyarakat Banyuwangi menggelar aksi di dua titik; depan kantor KPU dan gedung DPRD. Seperti demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia, Banyuwangi juga turut andil menyuarakan “kebenaran” dengan cara turun ke jalan.

Beragam poster, bendera, dan teriakan orator menggema di sepanjang jalan aksi. Setidaknya, tercatat beberapa organisasi ikut serta dalam aksi “Peringatan Darurat” itu. Antara lain, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra dan intra kampus (GMNI, PMII, HMI, IMM, BEM), akademisi, dan masyarakat.

Banyuwangi Menggugat: Konsolidasi I & II
Sebelum mereka mengadakan aksi pada Jum’at (23/08) yang bertitik kumpul di Universitas Tujuh Belas Agustus ’45 (Untag) Banyuwangi, beberapa perwakilan yang akhirnya membentuk “Aliansi Banyuwangi Menggugat” tersebut mengadakan konsolidasi pertama pada Rabu (21/08) di depan Taman Makam Pahlawan (TMP). Secara umum, di sana mereka membahas perihal putusan MK (nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024) dan indikator tindakan pembangkangan konstitusi oleh Baleg DPR RI.

Keesokan harinya, pada malam hari tepatnya pada Kamis (22/08) mereka melakukan konsolidasi kedua untuk bersepakat mengadakan aksi dan membahas teknis, penentuan tuntutan, serta dua titik aksi (KPU dan DPRD). Dengan menunjuk dua Dinamisator Lapangan, yakni Beckham dan Andre, mahasiswa Untag ’45. Konsolidasi kedua ini didatangi beberapa perwakilan Omek dan mahasiswa se-Banyuwangi. Secara garis besar, konsolidasi ini menghasilkan kesepakatan bahwa keberlangsungan aksi nanti akan di-handle oleh dua Dinamisator.

Sedangkan Koordinator Lapangan (Korlap) berada di bawah kendali pimpinan Omek dan Omik masing-masing. Juga, dibentuk beberapa seksi lainnya.

Kejanggalan Aksi: Tidak Sesuai Konsolidasi
Saat skema sudah siap dan rencana sudah bagus—setidaknya yang ada di benak para perwakilan demonstran itu, hal yang terjadi di lapangan berbeda. Kalau berbeda karena ada sesuatu di luar kendali, barangkali tidak menjadi problem yang “cukup” serius. Tetapi, jika diamati agak detail, aksi Banyuwangi Menggugat kemarin berbelok arah—jika tidak dikatakan berbeda jauh dari kesepakatan.

Hal ini yang membuat sebagian demonstran menarik barisan pada saat kepulan asap pembakaran ban dan pekikan orasi masih berlangsung. Tindakan “banting setir” sebagian demonstran tersebut bukan tanpa alasan atau ujug-ujug pergi begitu saja. Menurut beberapa pengakuan demonstran yang penulis wawancarai, terdapat alasan-alasan yang membuat mereka menarik barisan;

Pertama, tidak ada informasi yang disampaikan mengenai keikutsertaan alumni Omek saat Konsolidasi II. Sehingga, keberadaan alumni Omek tersebut (yang seolah-olah memberi komando aksi), membuat perwakilan yang mengikuti Konsolidasi II heran. Sebab, hal itu tidak dikatakan sebelumnya.

Kedua, aksi dengan ratusan orang itu terkesan sudah dikonsep atau di-setting sebelumnya—oleh pihak tertentu. Tampak jelas ketika beberapa demonstran “menjemput” salah satu anggota dewan, Marifatul Kamila, dari fraksi Partai Golongan Karya (Golkar). Tindakan penjemputan itu, pada saat Konsolidasi II, padahal sama sekali tidak dibahas sebelumnya. Akhirnya, sebagian demonstran mengernyitkan dahi ketika mereka melihat hal tersebut.

Ketiga, manajemen aksi yang kacau. Penulis sendiri mengikuti aksi mulai dari Kantor KPU dan di depan gedung DPRD Banyuwangi. Menurut salah seorang Dinamisator Lapangan, manajemen yang telah disusun dan disepakati ketika Konsolidasi II kacau ketika di lapangan. Saat tiba di titik kedua (Gedung DPRD), misalnya. Kesepakatan demonstran berhenti di depan gerbang, namun massa malah dibawa ke pertigaan DPRD.

Tidak hanya itu, poin tuntutan dan permintaan yang diajukan oleh beberapa orator tidak satu komando atau tidak selaras. Saat Marifatul Kamila menemui demonstran, para pemegang mic bergantian dengan maksud yang berbeda-beda. Terkesan blunder; satu orang berberda dengan yang lain.

Contohnya, ketika salah seorang mahasiswa meminta agar semua perwakilan fraksi menemui mereka, justru seseorang yang “mendaku” representasi masyarakat memberi kelonggaran waktu selama 30 menit kepada Marifatul Kamila untuk menghubungi anggota dewan yang lain. Bahkan, apa yang disampaikan oleh (kalau penulis tidak salah ingat, karena penulis berada di lingkaran orator) lima orang yang meraih mic bergantian itu, relatif sama; menuntut pengawalan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Atas dasar itulah, sebagian demonstran menarik barisan karena aksi sudah tidak kondusif—sejak dalam ‘tubuh’ massa aksi itu sendiri. Menurut dugaan salah satu demonstran yang menarik barisan tersebut, aksi yang dilaksanakan pada Jum’at (23/08) itu telah di-setting sejak awal.

“Karena beberapa ketidaksesuaian tersebutlah, akhirnya kami menarik diri dari barisan. Kami ini mewakili rakyat, kami tidak mau ditunggangi (oleh siapapun), kami juga tidak mau di-cap demo hanya demi sebungkus nasi!” ucap seorang demonstran yang merasa dikhianati itu.

Akhirul kalam, tulisan ini bukan untuk menginjak-injak hati nurani para demonstran yang dengan tulus membela rakyat dan mengawal demokrasi. Sama sekali tidak. Hanya saja, kita perlu sedikit menengok ke kanan dan kiri, barangkali di sebelah kita ada “babi yang mengenakan topeng wajah seorang demonstran”. Dan, taruhlah tulisan ini sebagai manifesto kejujuran. Bukankah George Orwell dalam Nineteen Eighty-Four (terbit 1949) telah menandaskan: Dalam dunia di mana dusta mendunia, berkata jujur adalah tindakan revolusioner.

Lantas, mengapa terjadi banyak kejanggalan saat aksi Banyuwangi Menggugat itu? Wallahu a’lam..

Oleh: Dendy Wahyu, (Bukan) representasi masyarakat

Sumber:
Wawancara dan pengamatan lapangan



Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak