BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Sesirih Kapur dari Softinalean: Pengantar untuk Memahami Paradigma Ndakikistik


Pena Laut - “Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan zaman mereka, bukan zamanmu,” qola Sokrates. Kutipan tersebut banyak beredar di mana-mana. Seorang ulama terkemuka, Imam Ahmad al-Syahrastani (w. 548 H), pernah mengutip dawuh mbah-nya filsuf Yunani itu dalam kitab yang beliau tulis: al-Milal wa al-Nihal (1404 H). Sebuah kitab yang memuat aliran-aliran dalam Islam. Atau, juga bisa disebut sebagai ensiklopedia pemikiran dan kepercayaan Islam.

Membaca maqolah Sokrates, sepertinya masih relevan hingga sekarang. Bahkan masa yang akan datang. Mengapa demikian? Tentu mudah untuk menjawabnya: beda zaman. Jika toh ada beberapa hal yang perlu dipegang erat-erat oleh generasi selanjutnya, itu perkara lain. Dalam konteks ini yang paling mendapat aksentuasi ialah tidak diperkenankan memaksa “paradigma” lama ke generasi masa kini atau masa yang akan datang kelak. Setiap masa, zaman, atau waktu tertentu memiliki cara berpikir dan pandangan masing-masing. Tidak perlu didekte, dituntun, dan dipaksa secara represif agar mengikuti gaya berpikir kita.

Cara berpikir dan bertindak pada setiap komunitas masyarakat tertentu, niscaya tidak akan pernah sama persis. Ngeplek. Sebaliknya, pandangan komunitas masyarakat satu dengan yang lain mempunyai perbedaan yang kentara—jika tidak dikatakan berbeda sama sekali. Kok, bisa begitu? Jelasnya banyak faktor, ya. Bisa karena sosial, politik, atau kebudayaan. Bisa juga karena konsensus. Dan lain sebagainya, sejenisnya. Praktik memaksakan standar atau ukuran berpikir kita kepada orang lain, adalah sebuah tindakan kriminal. Begituan itu tidak diperkenankan dan akibatnya bisa fatal. Secara blak-blakan, memaksa ukuran kita kepada orang lain itu derivasi dari otoritarianisme, diktatorial, dan praktik puritanisasi. Riskan kalau dilakukan.

Kalau tidak sepakat dengan pendapat orang lain, seyogianya disampaikan saja. Tidak perlu kemudian memaksa lawan bicara untuk ittiba’ kepada pendapat sampean. Lha wong sampean bukan nabi, kok. Aneh-aneh wae. Tak sedikit kita melihat fenomena paksa-paksaan di berbagai lini kehidupan seperti sekarang ini. Lebih brutal, malah. Semoga bukan kita pelakunya.

Ihwal tiap-tiap masyarakat memiliki gaya berpikir masing-masing, sudah diuraikan secara panjang kali lebar kali tinggi. Ada yang menyebutnya sebagai “paradigma”, ada pula yang lebih suka memakai kara pandangan hidup (worldview). Ulasan ini tidak mau berkutat, njubel, pada persoalan istilah yang cenderung bersifat latar (permukaan) tersebut. Melainkan sebagai—apa yang disebut Fariz Alniezar—“sesirih kapur”. Ya, ulasan ini hanyalah sebuah gerbang untuk membawa para pembaca—jika ada—ke bilik Softinala (dan Softinalean) yang lebih eksentrik dan genuine.

Pada sesirih kapur ini saya akan mengulas secara ringkas: 1) maksud dari Paradigma Ndakikistik; 2) ciri khas dan metode; 3) implikasi nyata. Setidaknya tiga itu yang akan saya bahas secara serampangan nanti. Dan, sudah pasti, metode yang digunakan ialah “ndakik-ndakik” dan sarat dengan kejenakaan. Kendati tidak lucu, saya rasa itu hanya urusan selera humor belaka. Tidak perlu diperdebatkan dan memang fokus tulisan ini bukan guyonan semata, melainkan menyampaikan informasi mengenai bagian kecil dari Mazhab Softinalean. Sebelum terpeleset, kata “mazhab” tidak disandarkan ala al-Madzahib al-Arba’ah, melainkan pada aliran pemikiran seperti Mazhab Frankfurt di Jerman atau Lingkaran Wina (Vienna Circle) yang didirikan di Austria. Deal, nggeh?

Paradigma Ndakikistik Itu Apa?

Saat membaca atau mendengar kata “paradigma”, sampean pasti akan mengingat-ingat seseorang. Menjajaki memory card yang ada di dalam kepala dengan kata kunci: paradigma. Mak cling!, akhirnya ketemu. Seorang pemikir atau filsuf yang berkontribusi banyak ihwal paradigma ialah Thomas Samuel Kuhn. Lahir di Cincinnati, Ohio pada 18 Juli 1922 dari pasangan Samuel L. Kuhn dan Minette Stroock Kuhn. Barangkali memang keluarga ini memberi nama anak-cucu dengan imbuhan “Kuhn”. Seperti halnya para pemikir, sudah barang tentu ia memiliki perjalanan intelektual-akademik. Kuhn menyelesaikan studi doktoral-nya di Harvard University (1949) dan pernah ngangsu kaweruh di University of California, Berkeley. Pada tahun 1964-1979 ia mengajar di Universitas Princeton dan mulai 1979-1991 bertugas di Massachusetts Institute of Technology.

Karya Kuhn yang paling fenomenal ialah The Structure of Scientific Revolution (1962). Dalam karya ini, secara eksplisit Kuhn mengritik pandangan Positivisme yang digalakkan oleh Auguste Comte dan Falsifikasi Karl Popper. Dari kritik-nya terhadap pemikiran Comte dan Popper tersebut, karakter pemikiran Kuhn mulai nampak jelas. Istilah paradigma kemudian dikenal luas, utamanya di kalangan akademisi.

Menurut Kuhn, pokok bahasan yang seharus dikaji oleh disiplin ilmu pengetahuan yang mencakup ‘apa yang seharusnya ditanyakan’ dan ‘bagaimana rumusan jawabannya disertai dengan interpretasi’. Demikian adalah pandangan dasar yang harus dikaji oleh ilmu pengetahuan. Kuhn menyebutnya paradigma. Secara definitif, paradigma merupakan konsensus bersama oleh masyarakat/komunitas ilmiah tertentu—atau para ilmuan—yang membuat mereka memiliki corak yang berbeda dengan komunitas ilmiah lainnya. Perbedaan paradigma tersebut disebabkan oleh latar belakang filosofis, teori, dan instrumen maupun metodologi ilmiah yang digunakan sebagai pisau bedah analisis. Dalam buku tadi, Kuhn menyebutkan secara gamblang:

By choosing it, I mean to suggest that some accepted examples of actual scientific practice-examples which include law, theory, application and instrumentation together-profide models from which spring particularcoherent traditions of scientific reseach models from which spring particular coherent traditions of scientific reseach.

Menilik statemen Kuhn ini, secara intrinsik paradigma memuat hukum, teori, aplikasi, dan instrumen yang menjadi model sebagai sesuatu yang diterima bersama. Bahkan, menjadi sumber tradisi secara partikular dalam penelitian ilmiah. Sehingga, paradigma juga dapat dipahami sebagai bagian dari teori lama yang pernah digunakan oleh para ilmuan dalam praktik ilmiah sebagai pijakan atau acuan riset dengan mendasarkan pada metode ilmiah yang digunakan. Hasil dari paradigma diperuntukkan sebagai keseluruhan perwujudan keyakinan, hukum, teori, nilai, teknik, dan lain-lain yang diakui dan diterima bersama oleh masyarakat atau komunitas ilmiah tertentu.

Bagi Kuhn, objektivitas ilmu pengetahuan tidak bersifat otoritatif, melainkan sebatas pada sebuah justifikasi kebenaran. Secara epistemologis, hal ini merupakan kritik terhadap keyakinan manusia (ilmuan) yang menganggap bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebagai representasi realitas atau fenomena yang bercorak positivistik. Apa yang benar menurut paradigma lama, belum tentu benar menurut paradigma baru. Benar menurut njenengan, belum tentu benar di zaman kita, Pak/Bu. Jadi, jelas duduk perkaranya. Paradigma zaman alif tidak bisa disamakan dengan paradigma zaman ya’. Kemudian, Kuhn memberi tambihun atau reminder kepada kita, bahwa hasil final dari penelitian ilmiah jangan terpaku pada penemuan kebenaran semata, melainkan harus juga mempertimbangkan makna dan fungsi aksiologis-nya; manfaat untuk masyarakat.

Kiranya cukup penjelasan mengenai paradigma. Selebihnya, bisa dicari sendiri. Saya tidak mau tenggelam ke dalam paradigma Kuhn. Saya hadirkan sekelumit pemikirannya, hanya untuk memberi penjelasan saja mengenai apa itu paradigma. Dan, tidak bermaksud bersikap reduksionis. Setelah mengetahui paradigma, kata yang membuntuti selanjutnya ialah “ndakikistik”. Kata ini berasal dari kata ndakik yang biasa dimaknai “muluk-muluk” atau terlampau tinggi. Jadi, ndakik-ndakik maksudnya berbicara dengan bahasa yang muluk-muluk, melangit, atau hampir utopis.

Namun, di lingkaran Softinalean, ndakik-ndakik dipahami sebagai wacana humor yang memiliki landasan teoritis dan berkarakter—soal ini, nanti akan dibahas lebih lanjut. Galibnya, para Softinalean akan ndakik-ndakik di mana pun mereka berada. Entah itu di kedai kopi, kampus, warung makan, dan tempat-tempat lain. Dengan siapa pun; dengan kawan atau kekasih sekalipun. Kalau sampean-sampean melihat ada segerombol pemuda yang kumpul-kumpul di kafe, misalnya, dan mereka berbicara nyaring dengan tangan mengais-ngais ke langit, bisa jadi itu Softinalean. Tampilan mereka ndak mbejaji, kadang-kadang sok-sokan bawa buku dan laptop. Rokok-nya dominan kretek—karena alasan keungan. Untuk makan saja, mereka harus repot-repot “nulis”. Jadi, urusan tulis-menulis itu sudah menjadi tabiat Softinalean.

Karena kebiasaan ndakik-ndakik itulah, paradigma mereka bercorak ndakikistik. Sesederhana itu. Eksistensi mereka sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara—nah, ndakik, kan, bahasanya. Bangsa dan negara saja dipikir, apalagi sampean, Dik. Untuk para calon mertua: bukalah mata panjenengan!

Ciri Khas dan Metodologi

Di atas tadi sudah disinggung mengenai ciri khas dan metodologi. Tidak mudah untuk menguraikan ciri khas Paradigma Ndakikistik ini. Sebab, terlalu kelindan berserakan. Sangking berseraknya, sampai-sampai sukar untuk menangkapnya. Meski demikian, saya akan berusaha untuk menampilkan segelintir ciri khas yang umumnya “menampakkan diri” ketika Softinalean tengah merumuskan wacana.

Pertama, landasan wacana Softinalean diawali dengan pembacaan fenomena atau realitas yang dapat mereka tangkap. Fenomena yang dimaksud seperti budaya pop, tindakan dua sejoli yang timpang, politik praktis, kriminalitas, budaya akademik, dan lain sebagainya. Jika dikelompokkan, ya, terkait sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kadang-kadang juga agama dan kepercayaan. Pembacaan mereka terhadap berbagai fenomena tersebut dilandasi oleh ketidakpuasan dan skeptis. Apalagi, ketika mereka mendapat kabar yang di luar prediksi BMKG. Beginian adalah camilan renyah untuk para Softinalean. Misalnya, pengambilan tali pocong oleh seseorang di salah satu desa yang ada di Banyuwangi. Selain terkesan ndlogog, hal semacam ini juga menarik menjadi objek penelaahan Softinalean untuk melahirkan wacana-wacana ndakik dan ndagel.

Kedua, membaca fenomena dengan kaca mata ndakik dan ndagel. Setelah fenomena diposisikan sebagai objek materia, maka objek forma (cara membaca) sarat akan ndakik dan ndagel. Bagi para Softinalean, tidak ada di dunia ini yang kaku, serius, dan mengerikan. Semua yang ada di bawah kolong langit, niscaya memiliki sisi ke-ndagelan dan ke-ndakikan. Sahih kalau itu. Sebab, pada sisi ini, masyarakat kontemporer banyak yang luput. Seolah-olah dunia itu serius dan tidak bisa bercanda sama sekali. Cek khodam dianggap serius. Ramalan kiamat dianggap serius. Pemilu dianggap dua-rius. Seturut pembacaan Softinalean, di balik fenomena atau pemikiran yang rigid, pasti terdapat unsur-unsur jenaka dan ndlogog.

Ketiga, kritik Softinalean selalu menggunakan medium humor. Akibat dari sikap skeptis dan pembacaan yang ndakik-ndagel, konsekuensinya akan menciptakan wahana yang ndakik dan ndagel pula. Semua orang bisa mengritik sesuatu, tapi jarang yang menggunakan paradigma seperti yang digunakan Softinalean; Paradigma Ndakikistik. Siapapun yang menjadi objek kritik, ciri khas kritik mereka ialah humor, ndakik, dan cespleng.

Setidaknya tiga ciri khas tersebut dapat mewakili yang lain. Tentu, masih ada banyak. Tidak cukup untuk diuraikan semuanya di sini. Barangkali nanti ada buku khusus yang menjelaskan tentang Mazhab Softinalean beserta pernak-pernik-nya. Semoga. Oh, iya. Hampir lupa. Para Softinalean memelajari pemikiran Barat dan Islam—maaf, harus menyebutnya demikian—untuk mengukuhkan argumentasi. Ya, semua akan berakhir pada penguatan kritik dan wacana yang ndagel itu. Bukan untuk “gaya-gayaan” atau pamer semata. Ndakik adalah sarana belajar. Sebab, kekakuan dan terlampau serius dalam belajar—dan mendemonstrasikan wacana—akan membuat orang lain jenuh, bosan, dan bahkan bisa lari terbirit-birit. Singkatnya, Softinalean mengajak semua orang belajar dengan cara guyonan, ndakik, dan tanpa “teriak-teriak”.

Sedangkan, metode yang digunakan dalam paradigma ini, dapat disebutkan sebagai berikut:

a) Menentukan, membaca dan menganalisis fenomena faktual maupun aktual;

b) Menggunakan pemikiran teoritis (para ilmuan) untuk pisau bedah;

c) Kritik dan apresiasi;

d) Dikemas secara ndagel (sebelum dipublikasi).

e) Tidak perlu sistematis seperti artikel-artikel ilmiah.

Metode tersebut sifatnya umum. Ada beberapa sifat khusus dari metode yang digunakan saat melakukan proses pembacaan analitik. Akan tetapi, hal ini juga menyesuaikan objek materia. Dan, yang paling penting, sebenarnya Softinalean tidak pernah terpaku pada satu metode tertentu. Mereka bisa saja menggunakan metode apa pun. Tidak ada batasan untuk itu. Ingat, ulasan ini hanyalah “sesirih kapur” untuk mengantarkan para pembaca mengenali paradigma Softinalean. Itu saja. Jadi, jangan mikir yang enggak-enggak.

Lantas, Implikasinya Apa?

Seperti yang telah dinyatakan oleh para filsuf, spirit Softinalean kurang lebih sama: buat apa belajar dan menciptakan wacana-gerakan jika tidak ada fungsinya sama sekali. Saya tidak akan menyebutkan secara detail implikasi dari wacana-gerakan Softinalean. Agar nanti juga menjadi bahan diskusi oleh para pembaca dan para Softinalean sendiri. Belakangan, mereka agak malas berpikir. Mungkin karena mendekati Pilkada kali, ya?

Dalam sebuah masyarakat, pasti memiliki nilai-nilai humoris. Sudah banyak yang menjelaskan hal itu. Nah, posisi dan peran Softinalean—wacana dan gerakan—berada di situ itu. Menyegarkan kembali khazanah per-ndakikan dan kejenakaan yang tetap disandarkan pada lajur-lajur teoritis. Terkesan susah, memang. Tapi, mau bagaimana lagi. Kita ndak mau kalah dengan para cendekiawan lainnya. Tidak bisa tidak, Softinalean harus ikut andil dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Ndakik, kan?! Emploken ndakik-ndakik iku.

Selain itu, Softinalean juga berperan aktif dalam mengingatkan generasi muda yang sudah keluar jalur (cara berpikir dan bertindak) dan tertipu oleh modernitas. Misalnya, berusaha mengingatkan—dengan ndakik dan ndagel tentunya—kawan-kawan yang lain tentang bahaya pemujaan merk (pakaian atau benda-benda lain) yang sudah menjadi “agama” baru.

Cukup segitu aja, sih, ya. Setidaknya dengan adanya ulasan ini dapat memberikan informasi baru kepada para pembaca. Sebelum merampungkan tulisan ini, izinkan saya mengutip salah satu puisi yang menurut saya kontekstual sampai hari ini.

Zaman semakin asu.

Hari ini aku baju hangatmu,

besok bisa saja aku

sudah menjadi gombal

di rak sepatumu.


(Zaman Asu, Jokpin)



Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak