BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Sang Inspirator

Pena Laut -
 "Bukankah engkau orang yang aku temui di taman alun-alun kota pada sore itu?" Tanya seorang Pemuda berkulit putih, berbadan tinggi dan berambut pirang.

"Betul, aku lah orang yang kau temui di alun-alun kota pada sore itu."

"Bolehkah aku mengetahui namamu?" Sangat disayangkan, belum sempat menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya, Pemuda itu ditinggalkan sendirian di trotoar jalan.

"Hei, kau mau kemana? Belum mengeluarkan satu kata pun untuk menjawab pertanyaanku. Mengapa kau pergi begitu saja?" 

Karena rasa penasaran, Pemuda itu mengikutinya dari belakang secara diam-diam dan mengamati apa yang sebenarnya dibawa oleh orang tua misterius tersebut.

"Astaga, aku baru menyadari bahwa kemarin sore ketika aku bertemu dengannya di taman, dia membawa tas selempang berwarna cokelat yang ukurannya sebesar laptop, dan sekarang tas yang dia bawa sama persis dengan yang aku lihat waktu itu. Apa sebenarnya isi tas itu dan mengapa selalu dia bawa di saat bepergian? Ah, tapi sudahlah, aku ikuti saja ke mana dia pergi. Setidaknya aku akan tahu di mana alamat rumahnya," sergah Pemuda.

Tidak lama kemudian setelah berjalan di atas trotoar menyusuri pinggiran kota, orang tua misterius itu berhenti di kerumunan pedagang asongan untuk membeli secangkir kopi hitam. "Tunggu-tunggu, kenapa tiba-tiba dia berhenti di kerumunan secara mendadak, huft…" 

Hembusan nafas yang di keluarkan oleh Pemuda, mendadak keras bunyinya, seraya berkata: “Untung saja aku selalu mengawasinya dan berhati-hati menjaga jarak, jika aku ceroboh bisa-bisa ketahuan olehnya.” 

"Apa yang sedang dia beli sebenarnya?" Pemuda itu masih terus mengawasi. Selang beberapa menit kemudian, orang tua misterius itu telah selesai membeli kopi hitam favoritnya dan melanjutkan perjalanannya. Dia membeli secangkir kopi hitam di penjual kaki lima.

Masih melanjutkan perjalanan, hingga sampailah di sebuah taman yang terdapat sungai yang mengalir di tengah-tengah taman. Sangat jernih. Ikan salmon dan tupai yang ada di sekitar taman sangat indah jika dipandang. Sementara orang tua misterius, sedang duduk di atas batu di pinggir sungai, lalu meletakan secangkir kopi hitam di atas batu dan melepas tas yang dia bawa. 

Pemuda masih mengamatinya dari kejauhan dan memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang tua misterius itu. Ternyata dia bersantai di pinggir sungai yang di kelilingi taman serta ikan Salmon dan banyaknya tupai-tupai di sekitarnya. 

"Aku masih penasaran dengan tas yang dia bawa kemana-mana. Apa sebaiknya aku lebih mendekat sedikit, agar mengetahui apa isi tas itu sebenarnya? Baiklah aku akan mendekatinya." Pikir Pemuda.

Berjalan sangat pelan, seolah-olah sedang mengintai mangsa di hutan. Tidak disengaja langkah kakinya menginjak ranting pohon. Kretek. Bunyi ranting yang diinjak oleh Pemuda. Terdiam dan sangat panik. Bertanya-tanya apakah orang tua misterius itu mendengar apa yang baru saja terjadi? 

Sepuluh detik berlalu, Pemuda itu perlahan-lahan mengangkat kakinya dari serpihan ranting pohon. Srek-srek. Bunyi suara daun yang bergesekan, Pemuda itu sangat terkejut, karena orang tua misterius itu secara diam-diam telah menghampirinya karena penasaran oleh suara ranting pohon yang terinjak.

“Hei, anak muda! Apa yang sedang kau lakukan di sini?

“Ee...ee...ee..a...a...aku sedang menangkap tupai di sini. Iya! Itu yang aku lakukan." Ujar Pemuda sambil tersenyum malu.

“Kenapa kau sangat gugup dalam bertutur kata, wahai anak muda?"

“Aku baik-baik saja. Engkau tak perlu khawatir dengan apa yang terjadi padaku."

“Baiklah, namun jika boleh tau, siapa sebenarnya namamu?" Tanya orang tua itu kepada Pemuda.

“Kenapa engkau bertanya kepadaku? Apakah aku wajib menjawab pertanyaanmu? Sedangkan kau tadi tidak menjawab pertanyaanku." Jawab Pemuda dengan wajah kesal.

“Jadi sebenarnya kau sedang mengikuti ku?" Tanya orang tua misterius itu dengan wajah tersenyum tenang.

“Iya, aku mengikuti mu," jawab Pemuda. Sedang orang tua misterius itu masih terus tersenyum. “Kenapa kau hanya tersenyum, hei, orang tua?"

“Mari ikut bersamaku untuk bersantai dan menikmati kopi di aliran sungai yang jernih."

“Baiklah, aku terima tawaranmu."

Keduanya berjalan menuju tempat yang sudah disiapkan oleh orang tua misterius itu. Setelah mereka duduk bersantai, suasana pun lebih tenang karena sejuknya pemandangan yang ada.

"Hei, anak muda, siapa namamu?" 

"Engkau bertanya kepadaku?"

"Iya, aku bertanya kepadamu."

"Setelah menjawab pertanyaanmu, apakah engkau juga bersedia menjawab semua pertanyaanku?"

"Baiklah, aku bersedia."

"Baiklah, aku juga bersedia."

“Ibuku memberi nama Ali, namun aku lebih sering dipanggil 'Mas Al' oleh teman-teman sekelas ku," ujar Pemuda itu. “Sekarang giliranku bertanya kepadamu wahai orang tua misterius. Siapa namamu?"

“Semua orang mengenalku dengan nama Detektif, namun perlu kau ketahui, sebenarnya namaku adalah Ainun. Apa bisa buat jika keahlianku secara tiba-tiba juga menjadi julukan atas nama yang sudah dirancang oleh orang tua ku?" Jelas orang tua misterius (selanjutnya disebut Detektif).

“Tapi, itu sangat keren." Ujar Pemuda (selanjutnya disebut Ali), dengan wajah terpukau.

“Lalu apa isi tas cokelat yang selalu Detektif bawa?"

“Ini adalah tas laptop dan beberapa berkas yang selalu aku bawa kemanapun perginya." Detektif berkata seraya mengeluarkan laptop dari tas cokelatnya.

“Lalu, seberapa penting-kah laptop dan berkas mu itu sampai kau bawa kemanapun kau pergi?"

“Sebenarnya tidak begitu penting semua ini, tapi…"

“Tapi apa?"

“Inilah pekerjaanku dan bahkan ini juga hobiku." Jawab Detektif sambil tersenyum.

“Jika engkau mengizinkan, apa sebenarnya yang engkau kerjakan dengan laptop dan berkas-berkas itu?"

“Aku akan menjelaskan, namun kau harus duduk diam di sini dan memperhatikanku berbicara. Kau siap?"

“Ya. Aku siap."

“Pekerjaanku adalah meneliti, melacak, mencari, dan menangkap. Namun tidak semudah yang dibayangkan, meneliti itu membutuhkan ketenangan, kefokusan, kesabaran dan kejernihan pikiran dalam mengambil sebuah objek untuk dijadikan sebagai pokok penelitian. Melacak pun membutuhkan skill yang tinggi, yang mana pelacakan dilakukan dengan menggunakan laptop dan nantinya akan terhubung sebagai hacker. Jika dalam berjalannya proses pelacakan terdapat salah satu kesalahan saja, maka akan berurusan dengan hacker yang ada di dunia. Bahkan bisa menjadi buronan FBI, ketika aku salah mengambil langkah. Mencari juga membutuhkan ketenangan pikiran, kesunyian lingkungan, dan kematangan dalam mendikte gerak-gerik target secara tepat. Lalu yang terakhir menangkap, aku sendiri sebagai Detektif sebenarnya sangat risih jika sudah mencapai tahap yang terakhir ini, karena pada saat menangkap, Detektif di seluruh dunia akan berkumpul dan bersatu untuk memperkuat berkas-berkas bahwa memang benar dia target penangkapannya. Tidak hanya para Detektif dunia yang berkumpul dan bergabung, para FBI tingkat dunia, para pasukan tentara elite, dan para penembak jitu bersiap akan menangkap target. Apabila informasi dari para Detektif sudah akurat, maka penangkapan dilakukan. Yah, begitulah pekerjaanku selama kurang lebih 15 tahun terakhir ini."

“Wow, jadi kau adalah seorang pahlawan seperti yang ada di film perang itu?" Ujar Ali dengan tatapan mata yang penasaran.

“Tidak. Aku hanya menjalankan tugas saja, tidak lebih."

“Jadi itu sebabnya Detektif selalu membawa laptop dan berkasnya kemanapun perginya?"

“Berarti sampai sini kau sudah paham, Ali?"

“Iya, aku memahaminya. Namun tunggu sebentar."

“Ada apa denganmu, Al?"

“Tidak. Aku hanya terheran saja denganmu. Kau bisa sehebat ini. Aku hanya ingin tahu, seberapa pahitnya perjuangan yang kau lalui, hingga kau sampai pada titik sukses ini, bahkan berjasa bagi Negara?"

“Apakah aku harus menceritakannya juga?"

“Iya, menurutku kau harus menceritakannya, karena prinsipku dari kecil adalah ketika aku bertemu dengan orang-orang sukses sepertimu, aku tidak akan menanyakan berapa gajimu, apa yang sudah kau capai, berapa profit-mu dan sudah berapa investasi mu," Ujar Ali menjelaskan.“Melainkan aku akan menanyakan tentang seberapa sulit proses berjuang mu, sehingga kau bisa mencapai tangga kesuksesanmu yang paling tinggi."

“Prinsip yang sangat bagus wahai anak muda. Baiklah, aku akan menjawab bagaimana proses perjuanganku dulu untuk mencapai semua ini. Namun aku akan bertanya sedikit kepadamu. Mengapa harus aku ceritakan prosesku kepadamu?"

“Aku akan menjadikan ceritamu sebagai inspirasiku, dan kau akan aku jadikan sebagai seorang Inspirator." Ujar Ali dengan wajah tegas dan berwibawa.

“Baiklah jika itu tujuanmu wahai anak muda, akan aku mulai ceritanya."

*

Disaat umurku masih 7 tahun, keluargaku sangat kebingungan dengan kondisi perekonomian yang terjadi. Ayah sebagai kepala rumah tangga mengambil keputusan untuk ber-hutang kepada Bank. Karena saat itu aku juga akan masuk ke Sekolah Dasar, jadi Ayah mengambil keputusan besar.

Sembilan tahun berlalu, keluargaku juga masih tetap sama keadaanya. Namun, saat ini aku harus masuk ke bangku Sekolah Menengah Atas/ SMA. Ayah dan Ibu pun sangat bingung saat aku menjelang masuk sekolah. Hingga, Ayah berhutang kembali kepada Bank, karena sudah tidak ada jalan lain, selain berhutang kepada Bank. Namun, kali ini Ayah berhutang tidak hanya untuk biaya sekolah saja, melainkan berhutang puluhan juta untuk berbisnis juga. Aku pun bertanya kepada ayah pada saat itu.

"Ayah, kalau Ainun boleh tahu, sebenarnya Ayah ingin berbisnis apa dengan jumlah uang sebanyak ini?"

"Sudahlah, Nak, jangan kau pikirkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab Ayah. Tugasmu hanya satu, yakni sekolah dan belajar yang rajin agar di masa yang akan datang kamu tidak sengsara seperti ayahmu ini." Sekejap aku pun terdiam mendengar kata-kata yang tak pernah Ayah ucapkan kepadaku selama ini.

Ayah memulai berbisnis. Perekonomian keluarga semakin hari, semakin membaik. Bahkan pada saat masa liburan, keluargaku juga bisa berlibur, sama seperti kalangan orang-orang kaya pada umumnya.

Satu tahun berlalu, Ayahku menjadi bos. Namun, pada tahun berikutnya, di saat para bawahan Ayah mengetahui bahwa Ayah hanya orang tua biasa yang dulunya hanya lulusan SD, Ayah dibuat panik karena anak buahnya sudah berani menentang apa yang Ayah perintah. Dan yang lebih mengerikan, di luar dugaan, tepat pada tanggal 12 Agustus 1982, Ayah dibunuh oleh bawahannya, karena anak buahnya ingin menguasai bisnis yang Ayah punya. Satu tahun pihak polisi menyelidiki kasus kematian Ayah namun tidak kunjung selesai.

Hingga, pada tanggal 12 Agustus 1984, saat aku lulus sekolah, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Universitas Khusus Detektif. Tujuannya adalah hanya untuk mencari informasi yang akurat. Siapakah pembunuh Ayahku?

Keberangkatanku ke luar negeri menggunakan sisa uang peninggalan ayah dari bisnisnya. Sesampainya di Amerika aku disambut hangat oleh pemerintah negara yang bertugas di Amerika terkait kuliah antar negara. Kemudian diarahkan ke penginapan khusus kuliah Detektif. Namun, karena kultur budaya dan ras yang berbeda, aku pun harus bersabar menghadapi teman-teman yang berasal dari berbagai belahan dunia.

Satu bulan pertama, aktivitas kami adalah beradaptasi lingkungan. Namun, setelah masuk bulan kedua kami mulai mendapatkan jadwal masuk kuliah, dan mendapatkan jadwal di wisma/penginapan yang saya tempati. Setelah aku baca dan amati ternyata jadwal perkuliahan Detektif hanya sampai hari Jumat, dan jadwal yang ada di wisma/penginapan dimulai dari Jumat malam sampai Minggu.

Saat pagi hari, aku masih ingat, tepatnya ketika setelah Ujian Akhir Semester (UAS), aku di ajak teman-teman satu kelas untuk camping di kaki gunung. Namun, tak disangka, di hari ketiga berkemah, teman-teman mendatangiku. "Mengapa kau jauh-jauh kuliah hingga keluar negeri? Apakah kau sudah bernyali tinggi?" Aku pun sontak terkejut dengan perkataan mereka. Apa maksud dari semuanya? 

Selang beberapa saat, aku ditendang dari belakang tenda hingga terjungkal berkali-kali ke tanah, dilanjutkan pukulan dari sisi kiri. Dipukuli sampai tidak berdaya pada saat itu. 

"Masih bisa berdiri juga, kau bocah dongoh!" Ujar mereka. 

"Ya, aku masih bisa berdiri, walaupun terasa sangat pusing dan sakit. Namun, aku perlu tahu, Kawan. Kenapa kalian melakukan ini semua kepadaku? Apa yang saya lakukan, hingga kalian sangat kejam dan memperlakukanku seperti hewan?"

"Kamu tidak memiliki kesalahan apapun." Jawab mereka. 

"Namun, kenapa kalian menghajar ku seolah aku adalah buronan?"

“Memang benar kau tidak bersalah. Namun, kami iri kepadamu, karena kau sangat pintar dan cerdas dalam mengerjakan tugas yang diberikan Dosen. Sebab itu lah kami akan membuatmu tidak kerasan di sini, agar kau pulang ke negara asalmu!” Jawab mereka.

Saat itulah mereka selalu memperlakukanku sebagai budak mereka. Dengan perasaan tak bersalah, mereka selalu menghajar ku pada saat pulang kuliah. Ini terjadi selama empat tahun aku berkuliah di Amerika. Tidak hanya ini yang aku alami. Mereka seringkali meminta uang kepadaku, padahal kondisi perekonomian keluarga di rumah sangat sulit. Apalagi tulang punggung keluarga sudah tidak ada. Oleh sebab itu, aku tidak pernah jajan sama sekali, karena ketika kiriman uang sampai, langsung aku bayarkan untuk semesteran depan. Begitu selama empat tahun. Beruntungnya wisma/penginapan menyediakan makanan saat pagi dan malam.

Di tahun kedua ibu menelpon bahwa tidak bisa mengirim uang lagi untuk biaya hidupku di sini. Aku memahami kondisi ini, apalagi dengan kondisi ibu juga sudah tua. Jadi di semester kelima, aku kuliah dan bekerja menjadi tukang becak. Mem-becak akan aku lakukan sebelum masuk kuliah saat pagi hari, sampai jam 12:00 siang. Beruntung aku mengambil kuliah sore dan melanjutkan mem-becak setelah pulang kuliah pada jam 18:00 sampai jam 00:00 malam. Pekerjaan ini terus aku lakukan setiap hari demi hari, supaya bisa mencukupi kehidupan di perantauan dan membayar semester kuliah.

Tiga tahun berlalu, kini tinggal menunggu masa-masa wisuda, yang diumumkan akan diselenggarakan satu bulan kemudian. Aku bersemangat bekerja agar ketika wisuda, Ibu bisa aku berangkatkan ke Amerika untuk menyaksikan aku menerima Ijazah dan melempar toga. 

Satu minggu kemudian uang terkumpul. Siap membelikan tiket pesawat untuk Ibu agar bisa terbang ke Amerika. Aku memberitahu ibu. Ibu menyanggupinya setelah aku memberi kabar kepadanya bahwa tiga minggu lagi aku akan di wisuda. 

Lima hari setelah menghubungi Ibu, aku mendapatkan telpon dari Paman. Waktu itu tepat di saat aku sedang menarik becak di pinggir kota alun-alun. Namun, Paman terus-menerus menelpon. Setelah selesai mengantarkan pelanggan ke tujuan, aku menelpon Paman.

“Assalamualaikum…"

“Waalaikumsalam, Nak Ainun."

“Iya, Paman. Bagaimana?"

“Ibumu, Nak!"

“Ibu kenapa, Paman? Jangan membuat saya panik!"

“Ibumu tiga hari yang lalu sempat menelpon Paman, Nak. Dan ibumu sempat berkata bahwa ia sakit parah sudah tiga bulan terakhir ini."

“Yang benar, Paman?! Ibu tidak pernah berkata apapun tentang kesehatannya. Namun dua bulan yang lalu, ketika ibu menelpon pernah terselip kata tiba-tiba mengeluh kesakitan, dan ketika aku bertanya, ibu langsung mengalihkan pembicaraan."

“Iya, Nak. Dan sekarang ibumu…"

“Ibu kenapa, Paman? Jangan berhenti di tengah-tengah kalau bicara. Ainun khawatir terjadi apa-apa dengan ibu."

“Maafkan Paman ya, Nak. Ibumu meninggal dunia tiga jam yang lalu. Sekarang ibu sudah dimakamkan dengan tenang."

“Itu tidak mungkin, Paman! Kemarin aku menelpon ibu dan memberi tahu bahwa tiga minggu lagi Ainun wisuda, jadi ibu akan aku berangkatkan ke Amerika untuk menyaksikan wisudaku. Dan ibu juga menyanggupi permintaanku…"

“Ikhlaskan kepergian ibumu ya, Nak Ainun. Maafkan Paman, karena tidak bisa menolong ibumu di saat sudah di ujung sakaratul mautnya.

“Kenapa Paman tidak meneleponku sebelum pemakaman ibu?"

“Sudah aku telpon, Nak. Namun tidak kau angkat."

Telepon pun berakhir sampai disini…

Kenapa aku tidak mengangkat telpon dari paman? Malah mementingkan bekerja dan bekerja! Sangatlah bodoh diriku! Aku sangat menyesali apa yang kulakukan tadi. 

Setelah mendengar kabar ibu sudah meninggal, aku tidak bekerja. Sangat murung di setiap aktivitasnya. Tiga minggu sebelum wisuda aku menghabiskan waktu di bukit dekat wisma/penginapan untuk merenungi kepergian ibu yang sangat tidak diduga-duga kepergiannya. Tidak beraktivitas apapun, makan saja hampir tidak pernah, bahkan sampai mengidap penyakit lambung, itupun tidak aku rasakan dan hanya aku hiraukan.

Sampai pada titik di mana para Mahasiswa Jurusan Detektif berkumpul untuk penyematan para wisudawan/ti. Para orang tua di saat itu telah datang untuk menyaksikan anak-anaknya menerima Ijazah. Pada titik itu jika kamu berada di posisiku bagaimana perasaanmu, wahai anak muda? 

Namun, sudahlah, bubur sudah menjadi nasi, apalah daya kita sebagai manusia untuk protes akan hal yang sudah pasti terjadi pada kita, karena itu semua sudah diatur oleh Tuhan yang maha Esa.

Di sinilah jiwa detektifku benar-benar muncul, dan ingin bersungguh-sungguh untuk membantu semua kalangan baik miskin maupun kaya. Dan detik dimana namaku dipanggil oleh MC (Pembawa Acara) untuk maju menerima Ijazah dan penyematan toga, nama Ibuku juga dipanggil. Langkah kakiku terasa sangat berat dan terasa semua yang aku lakukan tak ada gunanya ketika seorang wanita idola, wanita pejuang, seorang ibu yang menjadi cinta pertama seorang anak laki-laki, tidak bisa menghadiri dan menemani untuk menaiki podium. Namun, aku tetap berusaha tegar dan memberanikan diri untuk naik podium dan sedikit berpidato.

“Perkenalkan nama saya adalah Ainun. Mahasiswa Fakultas Hukum, Jurusan Detektif. Tepat pada hari ini, detik ini, menit ini, dunia tahu bahwa kita semua sudah mengakhiri masa pendidikan kita. Kalian pasti bertanya-tanya, mana Ibu atau Ayah saya? Mengapa di saat momen yang sangat hebat ini mereka tidak hadir untuk menyaksikan dan menemani saya untuk menaiki podium hebat ini? Baiklah saya akan menceritakan sedikit tentang orang tuaku."

"Pada saat saya berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Ayahku telah dibunuh oleh rekan bisnisnya. Sampai saat ini kasus Ayah tidak diurus secara hukum negara. Namun berdasarkan berita yang tersebar, sang pembunuh Ayah saya telah menyuap seluruh hakim di negara asal saya. Kasus ini sangat sulit untuk dipecahkan. Siapa sebenarnya dalang dari pembunuhan ayah? Oleh sebab itu, saya mengambil langkah untuk menjadi Detektif yang hebat, supaya saya bisa menyelamatkan semua orang dari kasus-kasus yang terjadi dan memberi keputusan secara bijak. Namun niat dari lubuk hati yang paling dalam adalah untuk mencari tahu siapa sebenarnya dalang dari pembunuhan ayah pada lima tahun yang lalu. Ayah adalah pejuang tanpa tanda jasa. Ayah adalah panglima malaikat yang dikirim oleh Tuhan untuk menjaga keluarga saya."

"Ibu saya, meninggal tiga minggu yang lalu karena penyakitnya yang sudah lama dirasakan. Ibu adalah wanita motivator saya. Ibu, bagi saya adalah malaikat tak bersayap yang dikirim Tuhan ke bumi. Tiket untuk keberangkatan ibu ke-Amerika sudah aku persiapkan. Tiga minggu yang lalu, sebelum ibu meninggal, saya sempat bertelepon untuk menanya kabar. Disaat itu saya memberi kabar bahwa tiga minggu lagi anakmu akan wisuda. Namun, apalah daya. Lima hari setelah berkomunikasi, ibu telah dipanggil oleh sang maha Esa untuk menuju tempat yang lebih mulia. Itulah kenapa saya berdiri sendiri sekarang, berbeda dengan kalian."

"Tapi, pesan saya adalah jika Anda ingin mencapai sesuatu yang menjadi cita-cita Anda, dan langkah awal sudah anda lakukan. Maka, teruslah melangkah dan berproses. Dalam sebuah proses ada sebuah perjuangan. Dalam proses perjuangan ada pengorbanan. Dan, dalam sebuah pengorbanan pasti ada yang ditinggalkan. Maka dari itu, kawan-kawan, di titik ini bukanlah ujung dari sebuah proses kita. Namun, pada titik ini kita akan memulai berproses, berjuang, dan berkorban yang sesungguhnya. Kita, sebagai sarjana, akan diakui sukses apabila ilmu yang telah kita dapat bisa bermanfaat bagi negara, bangsa, dan agama."

"Pesan singkat yang terakhir adalah tidak ada perjuangan yang sia-sia, tidak ada kesuksesan tanpa adanya pengorbanan. Prinsip saya adalah lebih baik kehilangan masa muda, dari pada kehilangan masa tua."

"Pegang prinsip ini, kawan-kawan. Dan, ingat! “IMPOSSIBLE IS NOTHING” Tidak ada yang tidak mungkin."

*

"Begitulah kisah perjalanan hidupku, wahai anak muda." Pungkas Detektif.


Oleh: Muhammad Ali R. A.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak