BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Pesantren & Pendopo: Tarik Ulur Kontestasi Politik Banyuwangi


Pena Laut - Menelusuri sejarah masyarakat sebelum kita memiliki kesan tersendiri. Bagaimana sikap kita dalam membaca, memahami, dan melakukan kontekstualisasi atas khazanah tersebut memang memerlukan ketelatenan. Sebab makna di balik peristiwa di masa lampau sungguh melimpah-ruah dan kaya akan makna filosofis. Sederhananya, orang dulu tidak ujug-ujug membangun sebuah bangunan, memberi nomenklatur pada benda-benda, dan menjalankan ritual tertentu tanpa maksud apa pun. Seakan-akan semua hal yang mengitari kehidupan masyarakat kala itu sarat akan—meminjam istilah filsafat—unsur ontologis, epistemologis, dan (tentunya) aksiologis.

Hal itu tidak mengherankan, sebab masyarakat dulu memang memiliki pandangan hidup (worldview) yang sangat sublim dan subtil. Tiap-tiap sesuatu memiliki makna masing-masing, dan acap kali berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Demikian adalah hasil dari kesepakatan (konsensus) masyarakat. Tanpa paksaan sama sekali. Taraf spiritualitas masyarakat kala itu dapat dikatakan cukup tinggi. Masyarakat Jawa, misalnya, memiliki banyak sekali khazanah filosofis yang dapat kita telusuri dari benda-benda sederhana dan mudah didapatkan. Contohnya, Cangkir adalah akronim dari nyancang pikir (fokus pada persoalan yang dihadapi).

Dan masih banyak benda-benda yang dapat kita temukan makna di baliknya. Selain itu, tempat-tempat juga memiliki makna dan tujuan tertentu, bahkan dalam memberikan nama tempat pun sarat akan nilai-nilai luhur. Sejauh ini, tempat-tempat yang masih dikonservasi antara lain pendopo dan pesantren. Kedua tempat tersebut merupakan karakter, setidaknya, ke-Indonesia-an kita. Sampai saat ini pendopo dan pesantren menjadi ikon masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kendati demikian, pendopo dan pesantren mempunyai identitas yang berbeda. Pesantren identik dengan agama (Islam), sedangkan pendopo identik dengan kerajaan.

Pesantren adalah institusi pendidikan tradisional Islam sebagai lokus untuk mempelajari, memahami, mendalami, hingga mengamalkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikukuhkan oleh pandangan Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (1991), bahwa pesantren di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, pun pesantren-pesantren besar yang ada saat ini, eksistensinya dapat dilacak sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Lebih jauh, Abd A’la menambahkan dalam Pembaharuan Pesantren (2006), keberadaan pesantren tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Sehingga, dalam konteks ini, pesantren pada dasarnya mempunyai sistem pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.

Sebagai sebuah sistem, terdapat empat unsur penting yang saling terkait dalam pesantren. Dalam Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (2011) menyebutkan unsur-unsur tersebut. Pertama, kiai adalah unsur yang paling utama sebagai pengasuh, pemilik, dan pengabdi. Seorang kiai memiliki tanggung jawab terhadap pesantren yang berada di bawah asuhannya. Unsur kedua ialah santri. Sebuah pesantren tidak akan berarti apa pun jika tidak memiliki santri atau murid sebagai peserta didiknya. Seperti halnya seorang presiden tidak memiliki rakyat. Ketiga adalah pondok atau pesantren. Tempat santri selama mengikuti kegiatan belajar-mengajar di bawah asuhan kiai biasa berbentuk asrama, termasuk di dalamnya terdapat masjid.

Sedangkan unsur yang keempat ialah kitab kuning. Kitab-kitab ini memuat berbagai varian ilmu yang menjadi pembelajaran wajib para santri dan masyarakat setempat. Dengan demikian, pesantren tidak jauh-jauh dari peran seorang kiai dan santri, bangunan asrama, masjid, hingga kitab kuning yang dikaji. Seperti yang telah dikatakan di muka, bahwa pesantren adalah khas Indonesia. Bahkan, Nurcholish Madjid yang juga acap kali dipanggil Cak Nur dalam Bilik-Bilik Pesantren (1997) secara ekspisit menyatakan:

Seandainya negeri kita ini tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair, atau pun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya.

Berbeda dengan pesantren, secara arsitektur, pendopo memiliki pola dan susunan ruang yang relatif baku. Kita dapat mengamati pada tiap rumah tinggal yang mengambil corak tradisional. Hampir sama secara keseluruhan, meski beberapa hal juga terdapat perbedaan—sesuai dengan keinginan pembuat. Dalam konsep arsitektur Jawa, misalnya, setiap ruang mempunyai fungsi masing-masing yang ditentukan oleh pemikiran alam mikro dan makro kosmos. Sebagaimana yang diuraikan oleh Y.B. Mangunwijaya dalam karyanya Wastu Citra (1988):

Segala yang bersifat intim atau keramat disebut Dalem (dalam) atau penaten (tempat sang tani) dan yang luar, yang bergaul dengan masyarakat diberi nama Pelataran atau njaba (halaman luar)......Di dalam pelataran terjadilah dialog (pergaulan) antara penghuni rumah dari dalem dengan masyarakat yang di luar.....Di tempat ini dibangun Pendopo yang artinya bangunan tambahan, tempat tuan rumah bertemu dengan tamu-tamunya.... Dengan demikian menataan Dalem yang sakral dan pendopo yang profan menunjukkan betapa serasi dialektik antara hubungan vertikal ke Tuhan dengan yang horisontal ke sesama manusia.

Membaca uraian Romo Mangun (sapaan akrab) tersebut, memberikan pemahaman bagi kita ternyata sebuah tempat memiliki nilai sosiologis. Pendopo, galibnya dipakai untuk kegiatan pertemuan, menerima tamu, dan lain sebagainya, secara tradisional memiliki konsep tersendiri. Secara fundamental, konsep pendopo terkandung fungsi dan makna yang khusus. Dan, susunan rumah tradisional mempunyai kecenderungan yang sama—susunan—entah masyarakat biasa maupun istana raja-raja Jawa.

Sehingga, dalam konteks sosiologis, pendopo bersifat profan. Maksudnya, segala bentuk kegiatan di dalam pendopo berkaitan dengan orang lain dan kegiatan tersebut bermaksud untuk memenuhi kebutuhan pengembangan diri seseorang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena keberadaannya yang bersifat sosiologis, maka dapat kita temukan model pendopo seperti ini di area kantor Desa, Bupati, Gubernur dan sejenisnya. Sedangkan jika ditilik secara filosofis, pendopo berkenaan dengan dialog antara empunya rumah dengan orang lain. Demikian merupakan suatu cerminan dari gaya hidup orang Jawa yang menunjukkan suasan “guyub rukun”. Atau, keadaan semacam itu biasa disebut: guyub rukun gawe sentosa.

Franz Magnis-Suseno, menyatakan dalam Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1984), masyarakat Jawa mempunyai ketertarikan mengenai kekerabatan yang sangat tinggi, sehingga termanifestasi dalam “kerukunan” yang akan membuat hidup sentausa. Oleh karena itu, peran pendopo tidak dapat dianggap remeh: suatu tempat yang terbuka namun terlindung dari sengatan sinar matahari dan tempat yang cukup luas sangat berperan kehadirannya untuk memenuhi konsep kerukunan.

Setelah kita sedikit “menengok kembali” definisi, makna, dan konsep pesantren dan pendopo di atas, hal tersebut bisa saja kita tarik agak jauh ke spektrum politik mutakhir, khususnya fenomena politis yang ada di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024, tepatnya pada November mendatang, segenap aktor politik dari berbagai “warna” sudah ancang-ancang (siap-siap) sejak awal. Atau, setelah Pemilu kemarin usai. Kontestasi politik daerah tersebut memunculkan berbagai nama yang kemudian akan berkompetisi untuk dapat berada di titik final, yakni tampuk kekuasaan.

Sebut saja nama-nama kader terbaik Banyuwangi yang akan “memeriahkan” perhelatan politik daerah, antara lain KH. Ali Makki Zaini (Gus Makki), KH. Ahmad Munib Syafaat (Gus Munib), Yusuf Widyatmoko (Wakil Bupati Banyuwangi 2010-2015 dan 2016-2021), Ali Ruchi (Sekretaris Dispusip) hingga Ipuk Fiestiandani Azwar Anas (Bupati Banyuwangi saat ini). Lantas, apa keterkaitan antara “pendopo” dan “pesantren” dengan Bacabup Banyuwangi tersebut?

Jika kita cermati, seperti yang telah diulas lebih dulu, pendopo dan pesantren adalah dua tempat yang berbeda secara arsitektur dan filosofis. Pun dalam konteks politik demikian. Kita dapat mengklasifikasi Gus Makki dan Gus Munib berada dalam wilayah “pesantren” dan Ipuk Fiestiandani, Ali Ruchi, Yusuf Widyatmoko, dan nama-nama lain masuk ke dalam wilayah “pendopo”. Mudah untuk menentukannya: melihat background masing-masing Bacabup. Secara umum, pendopo dan pesantren di tengah masyarakat memiliki peranan yang signifikan. Keberadaan keduanya—secara ideal—memiliki makna dan orientasi yang transformatif (transformasi sosial).

Seolah-olah, pada konstelasi politik mendatang kita dapat melihat bagaimana tarik-ulur antara kubu pendopo dan pesantren ini berjalan. Kedua kubu sampai detik ini sedang wira-wiri ke pelosok yang sulit dijangkau dan “naik-turun gunung” untuk bisa melihat gambaran Pilkada mendatang secara dhanni. Bukankah politik terdiri dari taktik dan klithik? Demikian pandangan awam. Perihal bagaimana situasi dan kondisi di bawah papan catur per-politikan, agaknya sangat tabu untuk diketahui publik.

Bagaimana tarik-ulur ini bekerja? Setidak-tidaknya kita melihat tindakan yang nampak atau kasat mata yang sejauh ini dapat dilihat dengan mata telanjang bulat. Coba kita cermati gerak-gerik para tokoh yang memiliki kehendak untuk mencalonkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati, mereka akan disibukkan dengan berbagai agenda politik seperti datang ke forum-forum pemuda, ke pelosok desa untuk bertemu masyarakat, hingga menghubungi seseorang yang sudah bertahun-tahun tak pernah bersua sekali pun dan lain sebagainya, sejenisnya.

Kubu pesantren dengan gaya politik “kaum sarungan”-nya, kubu pendopo dengan model politik “akar rumput”-nya—gaya atau model politik itu murni dari penilaian penulis. Dengan cara yang relatif berbeda, pertaruhan mereka hanya dua: menang dan kalah. Tapi, sebenarnya tidak sesederhana itu. Di dalam politik, apa yang kita kira kalah, bisa saja sejatinya menang dan sebaliknya, apa yang kita sangka menang, mobat-mabet juga faktanya. Tidak menentu, sifatnya. Namun, sebagai masyarakat awam seyogianya kita dapat membaca fenomena yang ada di pelataran. Bagaimana kedua kubu tersebut seperti tarik-menarik.

Apa yang ditarik? Bisa simpati masyarakat, kapabilitas, dan popularitas. Mengenai kelebihan dan kekurangan nama yang menyembul ke permukaan saat ini bersifat niscaya. Dengan membiarkan praktik berbahaya tingkat dewa yang diterapkan oleh para politisi untuk memenangkan calon yang didukung, adalah tidak menyelesaikan persoalan apa pun. Sebagai masyarakat Banyuwangi yang berkebudayaan, ikut serta dalam mengawasi tindakan-tindakan politis sampai Pilkada mendatang perlu digalakkan.

Akhir kata, bagaimana kita menyikapi fenomena tarik-ulur tersebut, sebab bagaimanapun keduanya sama-sama memiliki spirit transformatif? Atau, apakah kita tetap “pura-pura” buta mengenai masa depan Banyuwangi? Marilah kita tanyakan pertanyaan-pertanyaan ini pada rumput yang bergoyang!

Oleh: Dendy Wahyu Anugrah


Rujukan

A’la, Abd. 2006. Pembaharuan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina.

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektural Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak