Anton, dalam kawanannya ia beralih nama menjadi: “Babi”. Memang, kecenderungan kawan-kawanannya seringkali membuat nama yang sudah bagus—yang susah-susah orang tuanya memberikan nama—menjadi nama yang lebih aneh, menggantinya dengan seenak jidat. Seolah-olah mereka ikut njenang abangi. Aneh, memang, kok bisa nama sebagus Anton diubah menjadi Babi? Barangkali dari perautan wajahnya yang hampir mirip dengan babi; matanya yang kecil dan sipit; bibir bawahnya yang lebih monyong daripada bibir atasnya—yang seakan membuat dirinya terkesan tambah tolol ketika melongo; dan hidungnya yang besar, yang terkesan seperti hidung babi. Tapi, aku, sebagai orang yang menghargai betapa susahnya mencari nama, tetap memanggilnya sesuai dengan nama aslinya: Anton.
Jahil-menjahil sesama kawanan, memang sudah biasa. Kala itu, ketika Anton sedang terlelap tidur. Di tengah Anton sedang enak-enaknya ngorok, kawan-kawan menjahilinya dengan menyumbat lubang hidungnya—yang amat besar itu—menggunakan kelereng. Sampai Anton tersedak bangun, syukur kelereng itu tidak masuk di hidungnya. Jahil yang terlalu ekstrem, memang. Tapi hal yang demikian itu sudah biasa dilakukan oleh Anton beserta kawan-kawannya. Apalagi dengan karakteristik Anton yang selalu mengundang gelak tawa, pasti hasrat kawan-kawannya untuk menjahili Anton semakin meronta.
Terlepas dari semua itu, Anton adalah seorang yang miskin akut, nyaris sempurna kemiskinannya. Tiap harinya, dia bekerja serabutan. Jadi kuli bangunan, tukang parkir, pengamen, pemulung, dan berbagai pekerjaan lainnya. Singkatnya, dari pagi sampai sore dia berjuang membanting tulang, tapi ya Alhamdulillah masih tetap miskin juga. "Barangkali, aku sudah dikutuk tujuh turunan untuk jadi orang miskin", katanya membela diri.
Dia pernah bekerja sebagai badut. Baju yang dipakainya memang seperti gumbal amoh, buluk, kusut, tak rapi sama sekali. Penampilan yang menyedihkan dari seorang badut. Idealnya badut, memang harus lucu. Tapi, kalau yang menjadi badut itu Anton, beda lagi ceritanya. Tiap menghibur sedemikian rupa dengan gaya humorisnya, anak-anak bukannya tertawa, tapi malah menangis ketakutan. Bahkan beberapa di antaranya malah menimpuk wajah Anton.
Semenjak kejadian itu, Anton di keluarkan dari perusahan badut. “Barangkali, kemiskinan bukanlah hiburan yang menyenangkan untuk seorang anak-anak.” Jelas Anton kepadaku, saat ngopi kala itu, dengan ekspresi wajah yang kelihatan sedih, memang. “Ah, sudahlah, jangan bersedih, Ton. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa kau lakukan.” Kataku, berusaha memotivasi Anton.
Pernah sesekali dia merasa ingin menghapus kemiskinannya, dan berencana untuk pergi kepada Mbah Dukun. “Barangkali Mbah Dukun itu bisa mengubah nasib miskin ku. Mengingat Mbah Dukun itu juga sering didatangi para pejabat-pejabat tinggi.” Pikirnya.
Sebagai dukun yang taraf kelasnya sudah kelas premium itu, Anton harus mengumpulkan biaya yang begitu besar. Untuk manusia sekelas Anton, tentu membutuhkan beberapa bulan, bahkan tahun, untuk mengumpulkan biaya itu.
Tiap hari dia membanting tulang. Bekerja sebagai apa saja, asal dapat uang. Hingga sudah berbulan-bulan, Anton pun berhasil mengumpulkan biaya itu. Tak pikir lama, bergegaslah Anton untuk menemui Mbah Dukun.
“Mbah, bagaimana caranya agar aku bisa menghapus kemiskinanku ini?” Tanya Anton, dengan ekspresi wajah yang mengenaskan. "Kamu memang punya bakat jadi miskin, Nak. Mestinya kamu bersyukur, karena tidak semua manusia punya bakat jadi miskin seperti kamu. Bakat dan potensi ini harus dikembangkan, agar kau menemui hakikat hidup yang sebenarnya." Jawab Mbah Dukun. Semenjak saat itulah Anton berusaha dan terus berupaya untuk istiqamah (konsisten) menjadi miskin.
Semenjak kejadian itu, Anton di keluarkan dari perusahan badut. “Barangkali, kemiskinan bukanlah hiburan yang menyenangkan untuk seorang anak-anak.” Jelas Anton kepadaku, saat ngopi kala itu, dengan ekspresi wajah yang kelihatan sedih, memang. “Ah, sudahlah, jangan bersedih, Ton. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa kau lakukan.” Kataku, berusaha memotivasi Anton.
Pernah sesekali dia merasa ingin menghapus kemiskinannya, dan berencana untuk pergi kepada Mbah Dukun. “Barangkali Mbah Dukun itu bisa mengubah nasib miskin ku. Mengingat Mbah Dukun itu juga sering didatangi para pejabat-pejabat tinggi.” Pikirnya.
Sebagai dukun yang taraf kelasnya sudah kelas premium itu, Anton harus mengumpulkan biaya yang begitu besar. Untuk manusia sekelas Anton, tentu membutuhkan beberapa bulan, bahkan tahun, untuk mengumpulkan biaya itu.
Tiap hari dia membanting tulang. Bekerja sebagai apa saja, asal dapat uang. Hingga sudah berbulan-bulan, Anton pun berhasil mengumpulkan biaya itu. Tak pikir lama, bergegaslah Anton untuk menemui Mbah Dukun.
“Mbah, bagaimana caranya agar aku bisa menghapus kemiskinanku ini?” Tanya Anton, dengan ekspresi wajah yang mengenaskan. "Kamu memang punya bakat jadi miskin, Nak. Mestinya kamu bersyukur, karena tidak semua manusia punya bakat jadi miskin seperti kamu. Bakat dan potensi ini harus dikembangkan, agar kau menemui hakikat hidup yang sebenarnya." Jawab Mbah Dukun. Semenjak saat itulah Anton berusaha dan terus berupaya untuk istiqamah (konsisten) menjadi miskin.
Sebagaimana biasanya, dia tetap bekerja serabutan, sambil menikmati kemiskinannya. Sampai kala itu dia berkata kepadaku, “Aku bekerja serabutan begini, Kawan, bukan untuk sebagai upaya agar aku menjadi orang kaya, melainkan sebagai perwujudan bahwa aku, walaupun miskin akut begini, masih layak untuk hidup di dunia ini; bahwa aku juga manusia, sama seperti orang-orang kaya itu; bahwa aku bertanggung jawab atas tugas yang Tuhan berikan, menjadi khalifah dan menjadi hamba-Nya.”
*
Sebagai manusia yang miskin akut, Anton memilih untuk menjadi orang yang humoris. “Dengan humor, aku bisa menikmati dunia ini, kemiskinanku ini, Kawan” terang Anton, kepadaku. “Ah, mantap. Barangkali kau bisa menjadi pelawak, Ton.” Ujarku dengan ekspresi sok solutif. “Lagi pula gampang kok jadi pelawak, Ton. Jika pikiranmu buntu untuk memikirkan lelucon, tinggal kau memasang wajah konyol dan rela dimaki-maki pelawak lain, beres sudah urusan.”
“Ah, itu humor yang bodoh, Kawan. Humor yang cerdas adalah lelucon yang membuat pendengarnya berpikir sejenak, lantas tergelitik untuk tertawa. Tentu, tanpa menjatuhkan martabat kemanusiaan orang lain.” Ujar Anton, sambil menghisap rokok di tangan kirinya. Percakapan berhenti sejenak, lantas bercakap lagi, diam sejenak memikirkan topik pembicaraan, kemudian bercakap lagi, diam sejenak lagi, begitu seterusnya.
"Aku punya kawan yang tingkat kemiskinannya kelas atas, akut sekali, bahkan melampaui kemiskinanku.” Anton mulai bercerita. “Tetapi, aku sangat bangga kepadanya. Dia bekerja keras, untuk menghidupi tujuh anaknya. Awalnya dia bekerja serabutan seperti aku ini. Tukang parkir, pengamen, jadi badut, dan lain sebagainya. Lama kelamaan, dia hanya menekuni satu bidang pekerjaan saja. Barangkali dia merasa pekerjaan itu lebih nyaman dibanding yang lain, dan tentu mendapatkan untung yang lebih banyak.” Diam sejenak, kelihatan dari wajahnya, Anton sedang berpikir. Aku bertanya. “Memangnya, apa pekerjaan itu?”
“Pengemis. Dia merintis karir menjadi seorang pengemis untuk membesarkan tujuh anaknya itu. Hingga beberapa tahun selanjutnya, ketujuh anaknya itu, masuk di Perguruan Tinggi. Bukan gemen-gemen kampusnya, Kawan. Satu di UI, satu di UGM, satu di UNAIR, satu di ITB, satu di UNPAD, satu di UII, dan satunya lagi di UIN SUKA. Hebat, kan?"
"Wah, edyan! Hebat betul kawan kau itu." Seruku sambil memasang wajah sok kaget. "Semua kuliah, ya?"
"Ya jelas.”
“Jelas, apa?”
“Ya jelas, TIDAK! Semua jadi PENGEMIS di kampus itu."
Akupun tertawa terpingkal-pingkal. Boleh juga humornya, pikirku. Lantas lengang sejenak, kepalaku menunduk kebawah, teringat para petinggi organisasi-organisasi kampus yang tak jarang mendekat ke kekuasaan.
Oleh: Hilmi Hafi
Catatan: Cerita ini terinspirasi dari cerita-cerita Mas Agus Noor
Posting Komentar