“Selamat ulang tahun, kek,” ucap gadis itu sembari meraih punggung tangan lemah dan penuh keriput milik kakeknya. Tidak ada reaksi dari lelaki tua itu, ia memandang cerahnya pagi di balik jendela yang menempel di dinding sejak rumah ini dibangun. “Selamat ulang tahun, kek!” si gadis sedikit kesal, lalu sedikit meninggikan suaranya. Maklum, waktu melemahkan kemampuan pendengaran si kakek.
“Hehe, kakek mendengarmu, Kirana. Tapi untuk apa ucapan itu sekarang? Rasanya kakek pertama kali mendengarnya setelah puluhan tahun lalu.” Si kakek terkekeh menggoda cucunya.
“Memang siapa yang terakhir kali mengucapkan untukmu?” Kirana menanggapi.
Di antara ketiga cucunya, memang Kirana yang paling dekat dengannya. Orang tua Kirana sengaja membiarkannya bersekolah di dekat rumah Singgah agar Kirana dapat membantu mereka menjaga sang ayah yang hanya mampu seminggu sekali mereka kunjungi.
Singgah bergeming. Ia melamun selama hampir semenit. Kirana telah terbiasa dengan kelakuan kakeknya. Ia putuskan mengalihkan perhatiannya pada gitar tua yang menempel di dinding sebelah kasur sang kakek. Seingatnya, gitar itu tidak pernah berpindah tempat selama ia tinggal di sini. Sekalipun. Ibunya pernah bercerita perihal itu, bahwa singgah sampai pernah meninggalkan bayi dan istrinya berbulan-bulan hanya untuk bermusik.
Gadis itu mengernyitkan dahi. Kirana sepertinya menyadari sesuatu yang belum pernah ia sadari sebelumnya. Ia memang tahu ada sebuah gitar menggantung tepat di dinding itu, tapi tidak dengan sebuah kertas yang menempel di dinding tepat di belakang badan gitar. Seolah sengaja ditutupi oleh seseorang.
Tangan gadis itu mulai meraih badan gitar untuk sedikit menyingkapnya. Sebuah foto yang berukuran tidak terlalu besar yang memperlihatkan lelaki yang berpose memainkan gitar di tepi panggung. Di belakangnya, berdiri tiga orang lain yang tampak seperti personel lainnya. Dekorasi panggung bukan sebuah latar belakang yang nyentrik, tapi sebuah gambar yang tidak ia mengerti betul gambar apa itu, yang berukuran hampir sebesar kain panggung terkulai ke bawah. Ini kakek? Menarik!, pikirnya.
Kirana mendekati ranjang tempat Singgah berbaring. “Foto di balik gitar itu kakek?”, penasaran dengan apa yang barusan dilihatnya, Kirana mencoba menanyakan itu pada sang kakek.
“Ah, kamu menyadarinya”, jawab Singgah. “Padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya dari siapapun”, lanjutnya.
“Memangnya kenapa? Ayo, kek. Ceritakan padaku. Aku penasaran, tahu!”, Kirana mencoba merayu. Semoga berhasil, harapnya.
“Tapi jangan ceritakan pada ibumu. Kalau aku menyimpan foto itu di sana. Janji?” jawab Singgah sambil mengulurkan jari kelingkingnya di depan sang cucu.
“Janji!”, jawab cucunya sembari membalas tanda perjanjian.
Singgah hanya mengangguk pelan.
Musik Kami Dilarang
Aku sengaja memutar radio tape kencang-kencang. Mungkin musik rock akan membuat telinga bapakku yang biasa mendengar gamelan menjadi panas. Benar saja, baru sejenak radio ku putar, terdengar suara langkah bapakku yang menuju kamar.“Singgah!, ganti lagu di radiomu itu dengan lagu yang sedikit beradab!” ayahku menyibak tirai pintu kamar sambil marah-marah.
“Apa yang salah, pak?.”
“Musikmu itu budaya barat! Sudah bapak peringatkan kamu untuk segera keluar dari grup bandmu yang enggak jelas itu!” bapak masih naik pitam. “Apalagi liriknya itu, lho. Kamu berani menjelek-jelekkan pemerintah? Tahu apa kamu?”, lanjut bapak.
“Aku tidak akan menjelekkan mereka jika mereka tidak sewenang-wenang, pak!”, jawabku. “Apa bapak tidak sadar jika kita sedang dimiskinkan? Bapak jadi buruh seharian, pulang-pulang bawa uang yang tidak seberapa!”, aku mencoba menjelaskan pendapatku.
“Tahu apa kamu soal kerjaan bapak? Kamu tidak bersyukur sama sekali, Singgah!”, balasnya.
“Bukan aku kurang bersyukur, pak. Tapi keadaan kita memang telah mereka tentukan! Ini bukan takdir. Ini ulah pemerintah yang berlaku tidak adil!”, aku masih mencoba menyadarkan bapakku. “Mereka dengan tega membikin peraturan yang sama sekali tidak berpihak pada buruh tani macam bapak. Lalu apa alasan aku harus menghormati mereka? Mereka sama sekali bukan manusia terhormat!”, ku tinggalkan bapak di balik pintu kamar.
“Seharusnya kamu belajar yang betul. Lalu lulus, dan jadi pimpinan pabrik sana!”. Teriak bapakku yang sama sekali bukan ide bagus.
Idealisme Belum Boleh Kami Pendam
Kami telah sepakat melakukan perjalanan konser untuk ‘mendakwahkan’ ideologi memalui musik yang kami ciptakan. Sebagai seorang gitaris, aku ditugaskan untuk mencari tempat tinggal sementara untuk menginap selama kami singgah di satu kota yang kami tempati. Dan anggota band lainnya akan melakukan tugas lain yang tidak kalah pentingnya dengan tugasku. Kami membagi tugas. Inilah hidup seorang sosialis!Pada akhirnya, aku harus tetap menempuh jalan ini dan meninggalkan istriku yang sedang bunting. Aku menitipkannya pada salah satu istri kawan ‘seperjuangan’-ku agar ia tetap tinggal bersamanya saja. Bahaya kalau aku biarkan ia sendirian.
Bukan aku tidak peduli dengan tanggung jawabku sebagai seorang pria. Aku telah berjanji selalu mengiriminya uang setiap bulan melalui Bank Milik Negara, meskipun aku tidak tahu akan dapat uang setiap selesai konser atau tidak.
Konser yang kami lakukan semacam konser amal, penonton akan membayar seikhlasnya, dan uang yang kami dapat akan disalurkan untuk korban gempa dan seluruh panti asuhan yang kami temui. Sebagian lagi adalah bayaran kami. Syukurlah, meski tidak seberapa, tapi cukup dibagi untuk setiap personel.
Kami mendengar rumor dari seorang bernama Komin, seorang kader Partai Sosialis. Ia mengabarkan bahwa lagu-lagu kami banyak yang mengecam, bahkan ia mengabarkan bahwa di Cirebon, polisi sedang melacak jejak kami.
Pukulan telak sekaligus kabar gembira bahwa ‘mereka’ telah mendengar suara yang kami lantunkan dengan penuh ambisi perubahan. Kami tidak berhentinya tertawa saat membayangkan kegelisahan ‘mereka’ atas lagu-lagu yang kami sebarluaskan.
Meskipun tafsiran lain dari rumor itu adalah, kami sedang jadi buronan.
Kami tidak boleh berhenti. Masih ada beberapa kota yang harus kami datangi untuk ‘berdakwah’. Pun, pada akhirnya, kami memutuskan untuk tetap berjalan di jalur ini. Kami tidak takut!.
Malam ini sedang ku tulis surat untuk istriku di kampung. Aku tidak yakin kami akan selalu selamat seperti tiga bulan terakhir. Namun, ku yakinkan dia bahwa aku akan segera pulang setelah kami selesai konser di kota Bandung.
Kusimpan surat itu di bawah bantal. Aku berniat tidur.
Entah kenapa perasaanku mulai gundah. Aku kesulitan tidur, apalagi kami harus bangun pagi-pagi sekali agar tidak bertemu polisi saat perjalanan besok pagi.
Kuraih surat itu. Ku genggam erat. Kurasa diriku sedang berharap semua doa istriku di suratnya pekan lalu dikabulkan Tuhan. Kuputuskan untuk menenangkan diriku dengan solat. Besok, kami harus tetap berangkat. Ini misi kami!
Malam Kami Ditangkap
Malam itu begitu meriah. Sorai penonton menggairahkan hati dari tubuh kami yang cukup lelah selepas memainkan beberapa lagu.Bukan hanya itu, Ketua Umum Partai Sosialis (Parsos) datang langsung—tanpa diundang—ke konser kami, dan terlihat sangat menikmati lagu-lagu yang kami bawakan. Inilah yang membikin kami jauh lebih bahagia lagi. Rasa-rasanya, kalau saja aku tidak punya istri, tidak akan aku mengharap jatah uang kalau setelah konser kali ini terkumpul banyak sekali uang, bahkan kalau memungkinkan, ingin ku lempar saja gitarku satu-satunya ini kepada para penonton.
Selepas konser, Ketua Umum Parsos memberikan orasi untuk para pendukungnya yang sekaligus adalah penonton konser kami malam ini.
Band Setara ini, saudaraku. Adalah grup musik yang patut kita apresiasi!, kata pembuka itu diikuti oleh teriakan meriah dari penonton. Kami tersenyum bangga.
Lagu-lagu dari Setara adalah sebuah bentuk dakwah ideologi sosialisme yang begitu efektif, sekaligus mengena dalam jiwa, lanjutnya.
Semangat perjuangan yang menyatu dalam setiap liriknya, akan membawa kita hanyut dalam harmoni ide sosialis yang kompleks. Saudara-saudaraku, para Kamerad yang terhormat, Marx pernah mengatakan, bahwa ‘produksi kapitalis mengembangkan teknologi, dan menggabungkan berbagai proses menjadi satu kesatuan sosial, hanya dengan menyedot sumber asli seluruh kekayaan – tanah dan pekerja’. Ini sesuai dengan lirik yang ada di lagu “Kematian Surgawi Yang Fana”, yang berbunyi ‘akan kami buktikan kepadamu, bahwa mereka suka sekali menipu. Lalu mana yang akan kamu percaya? Kami atau mereka?. Kami tidak bisa membayangkan hal itu, Ketua umum Parsos bahkan menghafal lirik lagu kami. Air mataku menetes tipis.
Duar!. Bunyi pistol tiba-tiba terdengar di telinga kami. Kulihat dari balik penonton, ratusan Angkatan Bersenjata mengepung kami dengan sangat cepat. Para penonton lantas segera berhamburan melarikan diri.
Pada saat yang sama ku lihat puluhan aparat itu menodongkan senapan ke panggung. Aku melompat ke tepi depan panggung. Aku berusaha melindungi Ketua Umum Parsos dari tembakan aparat itu. Benar saja, tepat di bahuku besi panas dan tajam itu telah menghujam. Aku roboh bersamaan dengannya. Penglihatanku seketika memburam. Aku tidak dapat melihat apapun. Bahu belakangku semakin panas saja. Sayup ku dengar semua orang dipanggung panik.
Samar kurasakan seseorang menggendongku turun dari panggung. Sementara suara berondong peluru masih terdengar di telingaku walau samar. Dan agaknya mereka memang berniat membuang ribuan peluru untuk menghabisi kami. Sedangkan aku tidak mengetahui kondisi kawan-kawanku dan Ketua umum Parsos yang tadi aku lindungi dengan tubuhku.
Tenang saja, kamu akan selamat, Kamerad!, entah siapa, tapi yang mengatakan itu adalah orang yang menggendong tubuhku. Aku tidak bisa memikirkan apapun kali ini. Darahku mengalir deras dari lubang hasil tembusan peluru, kesadaranku mulai menghilang. Inikah akhirnya?
Aku telah Berjanji Untuk Pulang
“Akhirnya kamu sadar!”, ucap seorang lelaki. Entah siapa itu, akupun penasaran, tapi saat ini penglihatanku belum terang.Perlahan aku mulai mampu melihat dengan jelas. Ia adalah Ketua Umum Partai Sosialis. Aku tidak percaya bahwa aku masih hidup.
“Mana yang lain, tuan?”, aku mengatakannya dengan tertatih. Aku mulai bisa menggerakkan rahangku.
“Jangan langsung bertanya begitu, lebih baik kau duduk dulu”. Ucapnya ramah.
Semua badanku rasanya kaku. Untuk duduk saja aku kesulitan. Di badanku melilit perban berwarna putih. Aku yakin mereka mengobati lukaku. Namun, aku hanya melihat Tuan itu. Tidak ada orang lain di sini. Ke mana mereka semua? Mana kawan-kawanku?
“Aku mengerti apa yang kamu pikirkan, Kamerad!. Mereka semua. Kawan-kawanmu, dan beberapa pengurus partai mengorbankan diri mereka agar kita berdua bisa selamat dari kejaran para aparat”. Terangnya.
Aku menangis lirih. Air mataku tak terbendung. Kami telah berkomitmen menyerahkan diri kami untuk ideologi. Hidup atau mati. Selamat atau sekarat. Tertangkap atau tidak. Kenapa mereka meninggalkanku? Mengapa mereka mengingkari janji bersama? Mengapa mereka biarkan aku menanggung perasaan bersalah ini? Aku masih tidak percaya.
Seolah mengerti isi hatiku, Ketua Umum itu menjelaskan semuanya. Kawan-kawanku membaca surat janji yang kukirim untuk istriku pada malam itu, ketika aku tertidur pulas di atas sajadah. Mereka mengorbankan diri mereka agar aku melunasi hutang janji itu. Sialan!
Ia menceritakan juga bagaimana kami bisa sampai kemari. Tuan menggendongku hingga keluar kota Bandung. Ini adalah rasa terima kasihnya atas perbuatanku melindunginya di malam konser empat hari lalu.
Setelah beberapa hari dirawat oleh Tuan. Aku memutuskan pulang.
Sebelum aku keluar dari rumahnya, ia menyerahkan gitar kesayanganku beserta sebuah foto, yang memperlihatkan diriku yang sedang beraksi memainkan gitar di tepi panggung. Tuan mengatakan bahwa ia mendapatkannya dari Komin, seseorang pengkhianat Partai yang melaporkan tempat konser kami malam itu.
*
“Bahkan sampai tua renta macam ini. Aku masih berusaha mempertahankan keyakinan itu”. Kalimat penutup Singgah mengakhiri ceritanya. Kirana mendengarkan cerita kakeknya dengan seksama. Lantas, Singgah—di tengah linangan air mata—tersenyum simpul dan mengatakan; cerita hidup yang tidak pernah kuduga.
Oleh: Hafid Aqil
Posting Komentar