“Sudah lama tidak terlihat….”
“Pasti, batang hidungnya,” cegat Aqila sambil memilih buku.
Hasyim balas dengan senyuman.
“Masih mencari novel itu?”
“Ada nggak, Bang?”
“Belum ada. Tuh ada novel yang lain yang isinya ndak kalah serunya.” Aqila masih memilih buku tanpa menghiraukan Hasyim yang berdiri disebelahnya.
“Kapan novel itu ada, Bang?”
“Nggak janji ya, Qi, tapi tak usahakan 2 minggu lagi, novel itu pasti sudah ada.”
Aqila masih membolak-balik buku. Sesekali meniup debu yang menghiasi sampul buku. Toko buku loak di jalan veteran dekat stasiun berjejer rapi. Pintu stand tertutup tumpukan buku. Untuk masuk, pembeli harus jinjitkan kaki, naikan perut, plus langsingkan diri supaya bisa masuk ke jantungnya toko.
“Qil” panggil Alif dari belakang. “Kok tau aku disini?” lontar Aqila tanpa melihat Alif. “Nggak mungkin seorang Aqila nongkrong di café atau nge-Mall”.
“Jawabnya pendek aja, ada apa?” Alif menghela nafas “Kok diem?” warning Aqila.
“Bang, buku yang tak pesen kemarin sudah ada?” Alif lantang. “Sejak kapan suka baca?” Tanya Aqila datar.
“Sejak dulu”.
“Dulu kapan?”.
“Akhir SMA”.
“Makasih bang”. Alif menerima kresek merah berisi buku.
“Buku apa sih?” Tanya Aqila sambil menatap Alif.
“Novel”.
“Sejak kapan kamu suka baca novel?”
“Sudah lama”.
“Sejak SMA akhir?” cegat Aqila. Alif mengangguk pelan.
“Bang, tagihan dia tolong dimasukan ke saya ya.”
“Tahu aja kamu, Qil”.
“Siap, Neng!” Sahut bang Hasyim
“Apa yang tidak aku tau dari kamu,” Jawab Aqila ketus. “segera jawab pertanyaanku.”
“Buyamu nunggu dikontrakan”.
“Bang Hasyim, jam berapa tutup tokonya?” Teriak Alif.
“Masih lama”.
“Bisa nggak disegerakan karena sang ratu mau pulang”.
“Bang, tak bawa dulu novel ini ya.” Aqila langsung masukan novel kedalam totebagnya, keluar toko dan meninggalkan Alif.
*
“Assalamualaikum.” Aqila mencium tangan buyanya dengan takdzim. “jam berapa tadi pesawatnya buya? Tahu gitu, Aqila jemput tadi.”
“Sehat nak?” Aqila mengangguk “ada salam dari biamu”.
“Bia sehat, ?” Tanya Aqila sambil meletakkan totebag di meja.
“Alhamdulillah, bia sehat” Aqila mengambil cangkir dan teh seduh dan menhidangkan di meja.
“Monggo Buya di minum.” Buyanya meraih cangkir.
“Nak, sudah saatnya kamu tidak tinggal di kontrakan ini lagi. Buya dan bia sudah waktunya pensiun dan melihatmu melanjutkan usaha ini.”
Aqila diam ditempat duduknya, dalam hatinya sudah menebak arah pembicaraan sang buya. Pabrik batik, butik dan perjodohan.
“Tapi, buya…”
“Buya juga sudah bisa menebak, pasti kamu akan menyampaikan tentang beasiswa dan Novel itu, buya setuju kamu lanjut kuliah dan menjadi penulis. Itu semua bisa dikerjakan bersamaan, disisa usia ini buya dan bia pengen lihat kamu tidak jauh-jauh nduk. Biar ada yang urus semua”.
“Buya”. Aqila menunjukan wajah kurang senang.
*
Darwis, lelaki yang dikenalnya 3 bulan lalu, yang pernah menawarkan beasiswa S3 di Mesir, sosok yang bisa lupakan akram, teman kuliah yang pernah isi hatinya. Aqila pun pernah berharap, kelak Darwis bisa menjadi imamnya.
“Maaf, qil. Aku tidak bisa melanjutkan semua ini. Ceritanya panjang dan tidak ada waktu untuk kuceritakan saat ini.” Ucapan Akram itulah yang membuat dunia Aqila berantakan. Aqila limbung, saat itu Aqila menutup hatinya rapat-rapat pada lelaki. Sampai hadirlah Darwis, dia telah membawa semangat baru bagi Aqila. Bisa Move on dari kepingan hati yang sempat menyerpih.
“Bia pasti sudah memilihkan jodoh”. Monolog Aqila. Dia merenung di kamar. Angin menari di rahim malam.
*
Aqila membuka laptop dan mengecek email. Matanya lincah melihat satu-satu nama di layar laptopnya, jantungnya terpompa. Beberapa kali jarinya memutar roda mouse. Raut wajahnya mendadak berubah drastic. Aqila mengulang kembali. Masih juga namanya tidak ditemukan. Ruangan terasa gelap, tiba-tiba dering handponenya mengagetkan.
“Sudah lihat pengumumanya?” Tanya Darwis.
“Namaku tidak ada”.
“Coba cek sekali lagi”.
“Sudah berkali-kali”.
“Assalamualaikum, qil” suara dari luar pintu. Aqila menutup telfon dan bergegas membukakan pintu.
“waalaikumsallam, ada apa?” Tanya Aqila ketus.
“Uihhh gokil banget, langsung disambut dinosaurus yang siap menerkam.” Jawab Alif, sambil meletakan 1 amplop coklat dan tas plastic di meja.
“Apa itu?” Tanya Aqila cepat.
“Titipan dari bang Hasyim sama dari penerbit.” Aqila langsung meraih keduanya.
“Santai, bro”.
Setelah buka amplop, wajah Aqila sumringah, senyumnya mengembang.
“Kabar apa, seneng banget?”
“Alhamdulillah, novelku diterima penerbit” ujar Aqila sambil mendekati Alif.
“Syukurlah, berarti bisa irit dong 1 bulan”.
“Maksudmu”. Alif ambil posisi duduk dan minum teh. Aqila masih dalam suasana eforia.
*
“Dulu,” Aqila diajak keliling pabrik batik, sambil mendengarkan cerita dari bianya. "Pabrik ini pernah 2 kali mau ditutup. Karena pesanan sedikit dan modal mau habis".
“Terus bagaimana pabrik masih tetep buka?”
“Karena kamu cah ayu” jawab bia sambil menatap Aqila
“Maksudnya bia?”
“Kamu nduk, adalah semangat keluarga. Maka buya dan bia terus berjuang dan tetap pertahankan karyawan, walaupun biayanya sangat berat. Prinsip buya dan bia bagaimana pabrik batik ini bisa hidupi semua, Qil.”
“Dulu kapan?”.
“Akhir SMA”.
“Makasih bang”. Alif menerima kresek merah berisi buku.
“Buku apa sih?” Tanya Aqila sambil menatap Alif.
“Novel”.
“Sejak kapan kamu suka baca novel?”
“Sudah lama”.
“Sejak SMA akhir?” cegat Aqila. Alif mengangguk pelan.
“Bang, tagihan dia tolong dimasukan ke saya ya.”
“Tahu aja kamu, Qil”.
“Siap, Neng!” Sahut bang Hasyim
“Apa yang tidak aku tau dari kamu,” Jawab Aqila ketus. “segera jawab pertanyaanku.”
“Buyamu nunggu dikontrakan”.
“Bang Hasyim, jam berapa tutup tokonya?” Teriak Alif.
“Masih lama”.
“Bisa nggak disegerakan karena sang ratu mau pulang”.
“Bang, tak bawa dulu novel ini ya.” Aqila langsung masukan novel kedalam totebagnya, keluar toko dan meninggalkan Alif.
*
“Assalamualaikum.” Aqila mencium tangan buyanya dengan takdzim. “jam berapa tadi pesawatnya buya? Tahu gitu, Aqila jemput tadi.”
“Sehat nak?” Aqila mengangguk “ada salam dari biamu”.
“Bia sehat, ?” Tanya Aqila sambil meletakkan totebag di meja.
“Alhamdulillah, bia sehat” Aqila mengambil cangkir dan teh seduh dan menhidangkan di meja.
“Monggo Buya di minum.” Buyanya meraih cangkir.
“Nak, sudah saatnya kamu tidak tinggal di kontrakan ini lagi. Buya dan bia sudah waktunya pensiun dan melihatmu melanjutkan usaha ini.”
Aqila diam ditempat duduknya, dalam hatinya sudah menebak arah pembicaraan sang buya. Pabrik batik, butik dan perjodohan.
“Tapi, buya…”
“Buya juga sudah bisa menebak, pasti kamu akan menyampaikan tentang beasiswa dan Novel itu, buya setuju kamu lanjut kuliah dan menjadi penulis. Itu semua bisa dikerjakan bersamaan, disisa usia ini buya dan bia pengen lihat kamu tidak jauh-jauh nduk. Biar ada yang urus semua”.
“Buya”. Aqila menunjukan wajah kurang senang.
*
Darwis, lelaki yang dikenalnya 3 bulan lalu, yang pernah menawarkan beasiswa S3 di Mesir, sosok yang bisa lupakan akram, teman kuliah yang pernah isi hatinya. Aqila pun pernah berharap, kelak Darwis bisa menjadi imamnya.
“Maaf, qil. Aku tidak bisa melanjutkan semua ini. Ceritanya panjang dan tidak ada waktu untuk kuceritakan saat ini.” Ucapan Akram itulah yang membuat dunia Aqila berantakan. Aqila limbung, saat itu Aqila menutup hatinya rapat-rapat pada lelaki. Sampai hadirlah Darwis, dia telah membawa semangat baru bagi Aqila. Bisa Move on dari kepingan hati yang sempat menyerpih.
“Bia pasti sudah memilihkan jodoh”. Monolog Aqila. Dia merenung di kamar. Angin menari di rahim malam.
*
Aqila membuka laptop dan mengecek email. Matanya lincah melihat satu-satu nama di layar laptopnya, jantungnya terpompa. Beberapa kali jarinya memutar roda mouse. Raut wajahnya mendadak berubah drastic. Aqila mengulang kembali. Masih juga namanya tidak ditemukan. Ruangan terasa gelap, tiba-tiba dering handponenya mengagetkan.
“Sudah lihat pengumumanya?” Tanya Darwis.
“Namaku tidak ada”.
“Coba cek sekali lagi”.
“Sudah berkali-kali”.
“Assalamualaikum, qil” suara dari luar pintu. Aqila menutup telfon dan bergegas membukakan pintu.
“waalaikumsallam, ada apa?” Tanya Aqila ketus.
“Uihhh gokil banget, langsung disambut dinosaurus yang siap menerkam.” Jawab Alif, sambil meletakan 1 amplop coklat dan tas plastic di meja.
“Apa itu?” Tanya Aqila cepat.
“Titipan dari bang Hasyim sama dari penerbit.” Aqila langsung meraih keduanya.
“Santai, bro”.
Setelah buka amplop, wajah Aqila sumringah, senyumnya mengembang.
“Kabar apa, seneng banget?”
“Alhamdulillah, novelku diterima penerbit” ujar Aqila sambil mendekati Alif.
“Syukurlah, berarti bisa irit dong 1 bulan”.
“Maksudmu”. Alif ambil posisi duduk dan minum teh. Aqila masih dalam suasana eforia.
*
“Dulu,” Aqila diajak keliling pabrik batik, sambil mendengarkan cerita dari bianya. "Pabrik ini pernah 2 kali mau ditutup. Karena pesanan sedikit dan modal mau habis".
“Terus bagaimana pabrik masih tetep buka?”
“Karena kamu cah ayu” jawab bia sambil menatap Aqila
“Maksudnya bia?”
“Kamu nduk, adalah semangat keluarga. Maka buya dan bia terus berjuang dan tetap pertahankan karyawan, walaupun biayanya sangat berat. Prinsip buya dan bia bagaimana pabrik batik ini bisa hidupi semua, Qil.”
Aqila berada di sebelah kanan, sedikit kebelakang dari bia, mengikuti rute perjalanan. Melihat mesin pemintal benang, tempat pewarna, dan berhenti di tempat ibu-ibu membatik.
“Bagaimana dengan pemasaranya sekarang, bi?”
“Kok malah Tanya ke bia, yo kamu mbesok yang harus meneruskan”. Aqila tertekun.
“Ndak usah dipikirkan nemen-nemen cah ayu nanti cepet tua lo. Ayo, ada tamu sedang menunggu”
“Siapa?” Tanya Aqila penasaran. Bia hanya melempar senyum, Aqila bertambah bingung.
“Lo, mas Darwis kok kamu ada disini?” Aqila kaget beberapa saat.
*
Aqila sibuk dengan tumpukan kertas di meja. Sesekali matanya mengecek isi WA.
“Mbak Sri, tolong packing kain dan pakaian yang ada di sebelah rak itu”, ujar Aqila.
“Njeh, non”.
Aqila menata barang yang akan dikirim. Dia mondar mandir memastikan barang yang sudah ready. Mendadak langkahnya terhenti, ketika hpnya berdering.
“Waalaikumsallam”.
“Benar, terimakasih infonya. Oke, segera saya tunggu suratnya.” Aqila tidak bisa menutupi rasa kegembiraanya dia loncat sambil teriak. Semua pegawai terlihat bingung.
“Mas, novel keduaku diterima penerbit. Bulan depan mau dicetak,” Kata Aqila kepada Darwis suaminya yang baru keluar dari ruangan.
“Alhamdulillah, selamat sayang,” Jawab Darwis seraya mengedipkan mata. Tak berselang lama hp Aqila berdering kembali.
“Waalaikumsallam Buya,”
“Segera susul ke Rumah sakit nduk, Bia kamu,” kata buya. Langsung terputus telponya. Aqila dan Darwis syok, tak percaya. Kakinya bergetar hebat mendengar kabar dari buya bahwa bianya meninggal dunia.
“Bagaimana dengan pemasaranya sekarang, bi?”
“Kok malah Tanya ke bia, yo kamu mbesok yang harus meneruskan”. Aqila tertekun.
“Ndak usah dipikirkan nemen-nemen cah ayu nanti cepet tua lo. Ayo, ada tamu sedang menunggu”
“Siapa?” Tanya Aqila penasaran. Bia hanya melempar senyum, Aqila bertambah bingung.
“Lo, mas Darwis kok kamu ada disini?” Aqila kaget beberapa saat.
*
Aqila sibuk dengan tumpukan kertas di meja. Sesekali matanya mengecek isi WA.
“Mbak Sri, tolong packing kain dan pakaian yang ada di sebelah rak itu”, ujar Aqila.
“Njeh, non”.
Aqila menata barang yang akan dikirim. Dia mondar mandir memastikan barang yang sudah ready. Mendadak langkahnya terhenti, ketika hpnya berdering.
“Waalaikumsallam”.
“Benar, terimakasih infonya. Oke, segera saya tunggu suratnya.” Aqila tidak bisa menutupi rasa kegembiraanya dia loncat sambil teriak. Semua pegawai terlihat bingung.
“Mas, novel keduaku diterima penerbit. Bulan depan mau dicetak,” Kata Aqila kepada Darwis suaminya yang baru keluar dari ruangan.
“Alhamdulillah, selamat sayang,” Jawab Darwis seraya mengedipkan mata. Tak berselang lama hp Aqila berdering kembali.
“Waalaikumsallam Buya,”
“Segera susul ke Rumah sakit nduk, Bia kamu,” kata buya. Langsung terputus telponya. Aqila dan Darwis syok, tak percaya. Kakinya bergetar hebat mendengar kabar dari buya bahwa bianya meninggal dunia.
Oleh: Anisa Hajir Dz.
Posting Komentar