BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Berkurban dan Berkorban

Pena Laut -
Hari Raya Idul Adha, di masyarakat kita sering dikaitkan dengan kurban dan ibadah haji. Berjimbun brosur atau pamflet telah beredar, dengan menampilkan gambar Ka’bah dan hewan-hewan kurban: sapi, kambing, domba, dan unta, dengan berbagai ilustrasi uniknya.

Kata kurban, agaknya memang terjemahan dari kata adh-ha yang berarti persembahan kepada Tuhan. Persembahan yang berupa penyembelihan hewan, dimaksudkan sebagai sebuah bentuk ketulusan, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.

Bermula dari peristiwa Nabi Ibrahim diberi perintah oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya; Nabi Ismail. Untuk menyatakan ketulusan dan kecintaannya, Nabi Ibrahim merelakan putranya (miliknya yang paling disayangi) sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Begitupun Nabi Ismail, tak ragu-ragu menyatakan kesediannya untuk disembelih.

Baik Nabi Ibrahim dan Ismail, telah membuktikan ketulusan, ketaatan, dan kecintaannya kepada Tuhan. Nabi Ibrahim merelakan putranya untuk dikurbankan. Demikian juga Nabi Ismail, beliau telah pasrah dan rela untuk mengorbankan nyawanya. Kemudian Allah menggantinya dengan domba. Kalau menurut Gus Mus, peristiwa itu menunjukkan isyarat bahwa Tuhan telah mengabulkan pengorbanan dan ketaatan kedua hambanya.

Dari peristiwa itu menunjukkan bahwa kerelaan dan kesediaan untuk berkorban adalah bukti yang nyata dari pernyataan cinta dan kesetiaan. Boleh dikata, cinta dan kesetiaan itu syarat akan kerelaan dan kesediaan untuk berkorban. Bisa juga; kerelaan dan kesediaan untuk berkorban adalah kewajiban dalam cinta dan kesetiaan.

Boleh saja kita menyatakan demi bangsa, demi negara, demi ideologi, demi dekne, dan demi apapun dan siapapun yang kita cintai; akan tetapi dari kesediaan kita untuk berkorban dan sebesar apakah pengorbanan kita kepada yang kita cintai itulah yang menjadi tolak ukur kebenaran pernyataan kita. Bagaimana orang bisa percaya bahwa kita mencintainya, jika mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan harta, kita tak mau? Bagaimana pernyataan Anda: “Aku tresno sampean, Dik” bisa dipercaya, bila apa yang Anda lakukan padanya mesti anda perhitungkan untung-ruginya? Bagaimana pernyataan kita yang mencintai organisasi, bangsa atau negara, bisa dipercaya; bila apa yang kita lakukan untuknya selalu diperhitungkan untung-ruginya bagi kepentingan kita sendiri? Bagaimana pernyataan Anda yang mencintai rakyat bisa dipercaya, bila Anda selalu mengedepankan kepentingan pribadi Anda?

Jadi, berkorbanlah untuk semua yang Anda cintai. Tapi jangan berkorban degan motif agar Anda dipercaya oleh yang Anda cintai, tapi maknailah pengorbanan itu sebagai sebuah kewajiban dalam hal mencintai. Bedakan!

Kembali ke persoalan kurban. Menurut Gus Mus inti dari berkurban memanglah berkorban. Bila dilihat secara historis, Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya, juga Nabi Ismail bersedia mengorbankan nyawanya, sebagai sebuah bentuk ketulusan, ketaatan, dan kecintaannya kepada Tuhan. Maka kita sekarang untuk membuktikan ketulusan, ketaatan, dan kecintaannya kepada Tuhan, cukup dengan sekedar mengorbankan harta sebagian kita untuk membeli dan menyembelih hewan; entah itu sapi, kambing, atau domba.

Dengan berkurban—tentu dengan baik dan benar, bukan saja dimensi spiritualistik yang kita dapat, dimensi sosial pun juga kita dapat. Tuhan menyuruh daging hewan yang kita kurbankan untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar, secuil pun Tuhan tak meminta bagian. Bukan daging dan darah hewan itu yang sampai kepada-Nya, melainkan ketakwaan yang menyertai pengorbanan itulah yang sampai (QS. Al-Hajj [22]: 37).

Wallahu A'lam. Selamat Idul Adha. Selamat berkurban dan berkorban.


Oleh: Hilmi Hafi
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak