BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

SIG 3: Lita (Sebuah Cerpen)

Pena Laut -
 Sekitar pukul setengah tujuh pagi Lita sudah bersiap untuk menyusur kehidupan. Sudah menjadi makanan hari-harinya setelah salat subuh dia pantang untuk terlelap kembali. Baginya pantang “Rezekiku dipatok ayam’. Pagi memang seperti itu. Orang banyak berkata, “yang cerah paginya, cerah pula sehari semalamnya”. Siapa yang paginya sudah semangat dan berlalu dengan senyuman, alamat berbagai gemintang siap menghampirinya sehari semalam. Begitu pula jika paginya dihadapi dengan kemalasan, selesai sudah sehari semalam dengan kepalangan.
 
“Saya berangkat, ya, Bu.” Tegas wanita itu berpamitan pada ibunya. Jika digambarkan sebagai binatang, Lita adalah kupu-kupu yang indah tuk dipandang. Elok tubuhnya, aduhai sayapnya. Bukan hanya tubuh indah yang serupa, Lita juga seperti kupu-kupu yang terbang tanpa ingin dibatasi sayapnya tuk menyusuri dunia. Dia ingin hidup tanpa adanya penjarahan hak dari kebebasannya sebagai wanita. “Jaga diri, Nduk. Jangan lupa salatnya dijaga.” Pesan itu sudah terpatri di dalam diri Lita. Kalau pun tak diingatkan, dua pesan ibunya sudah selalu menjadi alarm yang tak berbunyi. “Assalamuakaikum.” Lita semakin jauh dari pandangan ibunya. Khawatir adalah kata yang selalu menghantui sang ibu. Anaknya tak terasa sudah berusia 21 tahun. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas Lita memilih menjadi wanita mandiri. Ditinggal mati bapaknya saat kecil, membuat dia beranggapan pendidikan adalah petaka. Pendidikan adalah awal perpisahannya dengan sang bapak. Pada suatu malam bapaknya lembur di pabrik beras demi membayar uang ujian Lita. Apa bisa dikata, pulang terlalu larut, bapaknya harus merenggang nyawa saat motor yang ia kendarai oleng dan ditabrak bus dengan kecepatan tinggi. Dia sama sekali tak ingin meneruskan pendidikan yang mencekik keuangan kaum miskin itu. Bagaimana mungkin dia mencari ilmu yang tak tentu membawaanya kepada kata “Kaya” harus menghabiskan jutaan rupiah yang sia-sia.

......

“Bagaimana keadaan Ibumu?” ucap Ririn. “Dia baik. Alhamdulillah sangat baik.” Timpal Lita. “Syukurlah kalau begitu.” “Makasih ya, Rin. Kamu selalu memberikan perhatian lebih padaku.” “Aku bukan kacang yang lupa pada kulitnya. Kamu yang membawaku kerja di tempat ini.” Mereka saling memegang tangan tanda kasih sayang. Keduanya memang kerap melakukan berbagai hal bersama. Bahkan, bukan hanya di kerjaan, tapi juga di saat di luar kegiatan pabrik. Keduanya saling melempar nasihat dan bertukar cerita. “Sudah mau magrib, Lita. Ayo kita pulang” Ririn berdiri dari tempat duduknya di warung bakso dekat pabrik. Dia pun merapikan baju Lita yang dia rasa sedikit kurang baik. Ririn memang bagaikan ustazah yang selalu menceramahinya saat Lita keluar dari batasan wanita sewajarnya. Dia tak segan untuk memberikan wejangan pada temannya sejak sekolah dasar itu. “Aku mau jalan-jalan dulu. Ntah, aku masih malas untuk pulang ke rumah.Setiap aku pulang sedikit malam, sudah banyak suara-suara miring yang kudengar. Sudahlah, sekalian aja pulang semakin larut. Toh, my life is my rule. Hidupku biar aku saja yang atur. Mereka tak usah.” “Lita. tetanggamu seperti itu” “karena sayang padamu.” Belum selesai ririn berbicara, Lita sudah meneruskan kata-kata yang sudah tertebak akan keluar dari mulut Ririn. “Ayo, Rin Pulang.” “ Hmm...”. Yah, begitulah Kupu-kupu. Dia ingin terbang kemanapun ia harus bersinggah. Lita mengamini keyakinannya bahwa perempuan berhak melakukan apa yang bisa dilakukan laki-laki. Ibunya dan Ririn sering menasihatinya perihal bagaimana seharusnya dia berperilaku. Kedua wanitanya itu tak ada letihnya untuk itu. Namun Lita tetaplah Lita.
 
......

Lita selalu memulai harinya dengan berkobar-kobar. Di rumah, ia tak ingin lagi melihat ibunya bekerja serabutan menjadi pesuruh tetangga. Terkadang ibunya juga menjahit pakaian tetangganya yang bermasalah.Di usianya saat ini mata ibunya sudah tidak dapat bersahabat untuk mengerjakan sesuatu yang butuh ketelitian itu. Lita ingin membalas budi kepada ibunya meski semua itu mustahil. Semenjak bapaknya tiada, enam tahun sisa pendidikannya sang ibulah yang menjadi tulang punggung. Dia tak tega jika harus terus menerus menyusahkan sang ibu. Berangkat pagi pulang sore hingga malam sudah siap selalu dia kerjakan. Semua demi ibunya.
 
“Lita. kamu lembur, ya hari ini. Langsung ada ongkosnya dari bos.” Ucap pak karto mandornnya di pabrik. “Siap, Pak” dengan senyuman dia menjawab perintah. Malam itu dia kebetulan mendapat job lembur bersama delapan orang temannya. Lita adalah pelita di pabrik itu. Selain ranum senyumnya dapat menghipnotis mata yang memandang, dia juga gesit dalam melaksakan tugas. “Semua bisa kulakukan. Asal jangan ganggu salatku.” Teguh dia berprinsip. Pesan ibunya haram dia lupakan. Meski berpakaian tanpa berhijab dan menutup aurat, Lita paling tidak bisa jikalau harus memutus tali silaturahmi dengan tuhannya. Sejak kecil bapak ibunya sudah dengan baik mengenalkannya dengan tuhan.
 
Tepat pukul 10 malam semua pekerjaan telah usai. Delapan orang yang tersisa semuanya kini sudah meninggalkan pabrik roti itu. Tak terkecuali Lita yang sudah letih melewati harinya. Besok libur semua akan terasa aman jika malam ini pulang lumayan malam. “Alhamdulillah...” begitu lega Lita mengendarai motornya. Dia pulang dengan senyuman. Lita menyusuri jalanan dengan riang. Sampai jam satu dinihari Lita belum tiba di rumahnya. Ibunya tak tidur. Khawatir betul dengan anak tunggalnya. Berkali-kali telpon ibunya tak Lita angkat. Pukul tujuh pagi Lita akhirya tiba di rumah. Ibunya lega. Mata sang ibu sudah tak kuasa lagi mengeluarkan airmata. Jam lima pagi Lita ditemukan tergeletak di kebun seseorang. Motornya dibawa kabur. Tubuh Lita telanjang setengah badan; Bibirnya terluka; Pipinya lebam; rambut tebalnya sudah acak-acakan tak karuan; dan nahas, di lehernya jelas tersisa bekas cekikan.

Untuk Lita, Alfatihah.


Oleh: Zain

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak