Pemikiran kaum feminis ini hadir karena suatu hal yang memang memuakkan bagi mereka. Hampir semua agama di dunia secara eksplisit menempatkan mereka di nomor dua. Islam melarang seorang perempuan untuk menjadi Imam dalam salat. Hingga muncul seorang feminis bernama Amina Wadud dari Amerika yang melawan itu. Dia dengan tegas dan berani maju sebagai khotib sekaligus imam dalam salat Jumat. Dengan perlawanannya tersebut dia dijuluki “Lady Imam”. Tentu hal ini dalam islam tidak dibenarkan. Namun, Amina tetap hadir sebagai pejuang emansipasi wanita. Dia yakin bahwa agama islam bukanlah agama patriarki. Selain itu dalam buku Nilai Wanita karya KH. Moenawir kholil dijelaskan bahwa sudah menjadi kepercayaan bagi kaum pengikut agama Hindu/Brahma pada umumnya bahwa kaum Wanita yang sedang kedatangan kotor (haid) itu adalah najis. Karena mereka menganggap bahwa darah kotor perempuan tersebut adalah racun berbisa. Oleh sebab itu, perempuan yang sedang haid harus dijauhkan dari masyarakat, terutama dari suami dan anak-anaknya. Menurut riwayat juga pada tahun 1171 sebelum hijrah Kong Hu Tju berkata: "Sesungguhnya orang lelaki itu menjadi khalifah (pengganti) Tuhan, dan menguasai akan segala sesuatu. Adapun orang perempuan diikat oleh orang lelaki, ia tidak boleh menjalankan pekerjaan apa saja dari kehendaknya sendiri, tetapi semua perbuatannya itu tergantung kepada perintah dan larangan lelaki. Dan ia dilarang memerintah atau melarang sesuatu pekerjaan apapun."
Dari fakta doktrin di atas sudah jelas perempuan yang baik dalam agama adalah dia yang patuh terhadap lelakinya dan mengakui bahwa dirinya berada di nomor dua. Semakin majunya perkembangan keilmuan, kini para feminis masih terus memprjuangkan harkat dan martabat perempuan. Mereka melawan segala keterbatasan yang timbul dari nama “Perempuan”. Mereka memberi tafsir terhadap asumsi kerdil yang secara masif dilontarkan terhadap kaum Hawa. Dan perjuangan mereka tentu berbuah hasil. Emansipasi wanita benar-benar mengubah stigma negatif terhadap wanita yang jarang berada di rumah untuk melakukan kegiatan yang juga dilakukan oleh seorang pria. Sekarang, dengan banyaknya forum-forum antipatriarki banyak perempuan yang sudah mengisi segala lini kehidupan.
Namun, dengan semakin banyaknya perempuan yang mulai berdikari, kita tak perlu menggangap kerdil perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Tak perlu mengucilkan perempuan yang dengan sadar mereka memilih lebih banyak di rumah untuk memberikan rasa aman terhadap anak dengan pelukan mereka tanpa hitungan jam; menghabiskan waktu di dapur untuk memasak; memastikan rumah bersih; dan menyambut suami saat sore atau malam hari setelah pulang kerja. Dunia meyakini bahwa sejauh mana wanita terbang, mereka tidak boleh melupakan Dapur, kasur, sumur. Seperti halnya lelaki yang ditagih kejantanannya dengan kalimat, “Kau kerja apa?” “Mau makan apa anak-istrimu?” Maka perempuan juga harus siap jika diminta, “Besok masak ini, ya.” “jaga anak-anak, ya.” Bukankah hal wajar jika lelaki membanggakan diri atas ketangguhannya dalam bekerja? Dan bukankah benar harus kita akui bahwa perempuan memang memiliki kasih sayang yang lebih mendalam? Jika sudah disepakati bersama, maka semua harus dianggap adil. Istri bisa menjadi seorang istri begitu pula suami juga harus menjalankan tugas suami sesuai kesepakatan.
Kini, pertanyaan siapakah perempuan itu? Bisa dijawab dengan berbagai hal. Perempuan bebas memilih jalan yang ia rasa benar. Dan seperti halnya pendeskripsian berbagai kata secara terminologi, semua tokoh berhak memberi arti. Dan harus diyakini pula, bahwa setiap deskripsi adalah benar tanpa harus saling menyalahkan dan mendiskreditkan.
Oleh: Zain
Posting Komentar