BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

SIG 1: Sokola Rimba

Pena Laut -
Sokola Rimba (Sekolah Rimba). Itulah nama sekolah yang dibentuk oleh seorang wanita yang mewakafkan hidupnya untuk dunia pendidikan di indonesia. Ia bernama lengkap Butet Saur Marlinang Manurung. Teman-temannya memanggil dia Butet. Perempuan berdarah batak yang lahir di Jakarta, tanggal 21 Februari 1972 ini, adalah sosok yang luar biasa dalam mendedikasikan dirinya sebagai guru bagi suku pedalaman di Jambi. Ia adalah pahlawan pendidikan. Wajar saja jika dia mendapat banyak penghargaan, baik dari kancah nasional dan internasional. Majalah Time menganugerahinya “Heroes of Asia Award 2004”. Di tahun 2001, Butet dianugerahi “The Man and Biosphere Award” dari LIPI UNESCO. Majalah Globe Asia juga dengan yakin memasukkan dirinya ke dalam 99 jajaran wanita berperngaruh di Indonesia.

Butet mengawali perjuangannya dalam dunia pendidikan saat dia merasakan ketidakberdayaan Orang Rimba (pedalaman) yang tak bisa baca-tulis yang kemudian mereka dimanfaatkan oleh “Orang Terang”. Orang terang di sini ialah sebutan yang diberikan Orang Rimba terhadap seseoraang di luar komunitas mereka. Orang Terang sering menipu mereka. Tanah mereka kerap dirampas lewat selembar surat perjanjian. Mereka sering diminta untuk memberikan cap jempol yang kemudian diiming-imingi akan diberi uang. Dan karena kurangnya pendidikan, mereka tidak sadar bahwa cap jempol yang mereka berikan adalah awal tergusurnya mereka dari tanahnya sendiri. Tentu, hal ini menjadi fakta menohok. Butet pun tergerak hatinya untuk mengajar orang-orang pedalaman di Taman Nasional Bukit 12 (TNBD) dan Bukit 30, Jambi, sejak 1999.

Awal perjuangannya dalam mbabat alas kebodohan tidaklah mudah. Berkali-kali ia ditolak. Masyarakat Rimba memiliki asumsi bahwa pendidikan adalah budaya luar. Dan kebanyakan orang luar adalah penjahat. Namun, Butet bukanlah wanita lemah. Dia tetap kokoh dengan keteguhannya. Dia siap menyusuri segenap rintangan demi tercapainya pendidikan di masyarakat Rimba. Dia meyakinkan masyarakat Rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar, Dengan perjuangannya yang tanpa pamrih, pendidikan yang dimulai dari dangau sederhana, Sokola Rimba yang ia perjuangkan sudah menyebar di berbagai daerah di Indonesia,

Butet menjadi bukti pada dunia bahwa perempuan yang dianggap lemah tak berdaya juga bisa bermanfaat bagi orang lainnya. Butet meyakini bahwa siapapun yang diciptakan tuhan, berhak untuk melakukan semua hal kebaikan tanpa harus ditanya apa kelaminnya. Ovarium yang dimiliki semua wanita adalah pabrik yang bakal menghasilkan anak, bukan produsen keterkungkungan. Berbicara perempuan bukan hanya berupa halaman-halaman yang berisi berbagai keterbatasan. Perempuan dengan segala kesibukannya tidaklah mengubah entitas dirinya menjadi makhluk lain. Perempuan tetaplah perempuan.

Butet hanya sebagai kecil dari jutaan perempuan hebat yang bahkan secara eksplisit mereka meniduri ancaman patriarki dengan elegan. Ada Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojoxhiu) sosok misionaris pembawa perdamaian bagi dunia yang namanya tak kalah populer dari Mahatma Gandhi dan Julius Cesar. Ada Presiden Megawati Sukarnoputri dan Presiden Chirstina Fernandez yang menjadi orang nomor satu di negaranya (Indonesia dan Argentina). Najwa Shihab dan Inke Maris yang menjadi jurnalis dengan segudang prestasinya. Bahkan dunia pun mencatat bahwa ada sosok perempuan yang berhasil menjadi diktator dan penguasa negeri tirai bambu dari balik layar. Dia bernama Cixi yang hidup di dinasti Qing.

Perempuan berhak bebas dari segala hal yang mendiskriminasinya. Budaya timpang gender adalah pemikiran primitif yang tidak boleh berkanjutan. Dalam buku Bebas dari Patriakhisme Islam menyebutkan bahwa memang secara bahasa gender diartikan sebagai alat kelamin, dan alat kelamin di sini adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta keagaamaan yang didasarkan pada fisik perempuan dan laki-laki. Budaya patriaki lahir bukan hanya dari pihak yang sering mengikrarkan diri sebagai seorang dominan yaitu laki-laki. Namun, budaya patriarki di sini juga banyak dikagumi oleh kaum perempuan. Jika demikian, maka persoalannya tidak terletak pada jenis kelamin, melainkan kesadaran akan kesetaraan tersebut. Baik laki-laki atau perempuan (khususnya) harus memperjuangkan keadilan terhadap perempuan. Harus menjadi catatan bagi perempuan tentunya bahwa mereka tak boleh hanya berhenti di “menyuarakan”. Namun, tanpa berkabar diam-diam mereka harus menduduki semua jabatan tak ubahnya Butet yang memperjuangkan pendidikan dengan Sokola Rimbanya.


Oleh: Zain
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak