BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Sepertinya Kampus Sudah Menjadi "Poli-tikus"

Pena Laut -
Kopi saya sruput dan rokok saya bakar. Bukan rokoknya yang terbakar, malah jenggot saya yang terbakar. Bajingseng! Setelah saya kebakaran jenggot tiba-tiba saya teringat. Ternyata saya pernah membaca karya buku Gus Ulil Abshar Abdala dengan judul: Jika Tuhan MahaKuasa, Kenapa Manusia Menderita? (2020). Aneh, hanya gara-gara kebakaran jenggot, tiba-tiba teringat masa lalu. Sangat tidak rasional. Alah, kok membahas kebakaran jenggot. Sudahlah, hal itu tidak penting untuk dibahas.

Saya mencoba ulas balik buku itu. Teringat ada salah satu kalimat yang menarik, yaitu "hayawanun nathiq", yang artinya makhluk yang berfikir. Dari kalimat tersebut, menurut hemat saya, setiap individu manusia sudah selayaknya berfikir terhadap polemik yang terjadi disekitarnya. Apapun itu. Menurut Damsar (2011: 70), karena manusia merupakan agen sosial atau sosok yang berperan membentuk pengetahuan, sikap, nilai, norma, perilaku esensial, dan harapan-harapan agar mampu berpartisipasi efektif dalam masyarakat.

Melihat dinamika hari ini, kita telah menikmati kelimpahan informasi yang sangat luar biasa. Hal ini tentu berkait dengan banyak, beragam, dan canggihnya industri media informasi dan komunikasi. Tak lepas juga dari ragamnya wacana yang disediakan oleh khalayak umum dalam mendefinisikan berbagai pengertian. Baik itu pengertian ekonomi, budaya sosial, dan juga politik—yang sekarang semakin berhamburan dan menyerbu hampir setiap detik; gosip, humor, intrik para penguasa yang menuntut perhatian.

Dengan hal itu, tentu kita dibuat 'ngelu' oleh banyaknya berita maupun wacana yang telah diproduksi. Lain dari pada itu, kita juga kerap bertanya-tanya (skeptis), karena sering kali antara berita-berita itu saling berbeda dan bahkan saling berlawanan. Tapi, itu adalah suatu hal yang wajar. Karena segala sesuatu di dunia, pastinya saling berlawanan. Ada pro-kontra, baik-buruk, salah-benar, mendominasi-didominasi, dll. Kalau kata Aristoteles, itu adalah hukum sebab-akibat (Kausalitas).

Bukan hanya derasnya informasi. Polemik hari ini, khususnya di Banyuwangi, kita sedang dihadapkan dengan momen-momen pilkada—berpolitik. Momen dimana hantam sana-hantam sini telah dimulai. segala hal dijadikan strategi kemenangan untuk mendapatkan kekuasaan. Tidak mikir itu sahabat maupun kerabat. Yang paling penting adalah menang. Ngeri, kan!

Kenapa saya tiba-tiba tergugah dengan adanya momen yang sangat mengerikan ini?—sebenarnya sih ini sudah masalah expired. Namun, ihwal ini sudah mengganggu kenyamanan saya. Kenapa? Karena yang saya takutkan, nantinya, mereka-mereka(politisi), mengemas strategi politik nya dengan elegan, dengan memakai embel-embel 'Agama' dan menghadirkan 'Tuhan' sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan. Agama kok dijadikan instrument politik. Mirisss! Bukankah ketika agama dan politik jika dipersatukan hanya menghantarkan sekterianisme, hidup dalam sekte-sekte atau agama-agama, yang hanya merugikan kehidupan pluralistik (Tuhan Tidak Perlu Di Bela, 1999).

Apalagi setelah saya mendengar kejadian di kampus Ibrahimy Genteng. Tepatnya pada hari Rabu, 15 Mei 2024. Adanya perguruan tinggi (Kampus Ibrahimy Genteng) yang telah dijadikan tempat kegiatan konsolidasi oleh salah satu partai. Inisial partai seperti nama surat motor. Bukan STNK lo ya. Seketika itu, saya langsung menghadap kepada pihak rektorat, dengan ditemani oleh Presiden Mahasiswa (Rahmah Maftuhah R) serta kepengurusan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (DEMA-I), dalam rangka menanyakan perihal adanya kegiatan konsolidasi tersebut. Tepat di ruangan paripurna kampus (Rektorat), saya dan kepungurusan DEMA-I bertemu dengan salah satu Wakil Rektor.

Singkat cerita, beliau mengatakan, bahwa kami (pihak rektorat) hanya mengetahui schedule kegiatan dari Dr. Nihayatul Wafiroh (seorang politikus). Lepas dari kegiatan konsolidasi atau apapun itu, kami tidak mengetahuinya. Ditambah dengan pernyataan dari Warek tersebut yang membuat telinga saya tergelitik. Beliau mengatakan, bahwa kegiatan ini sudah terlanjur terlaksana. Toh juga selayaknya mahasiswa harus melek akan politik, berfikir global terhadap politik, dan jadikan kegiatan tersebut sebagai pendidikan politik.

Awas! Suatu pernyataan(bahasa), pastinya akan mengandung berbagai macam unsur. Baik itu hegemoni, doktrin, politik, ideologi, dll. (Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, 2001). Okey, kita masuk ke definisi beliau.

Jika itu didefinisikan sebagai pendidikan politik, maka dari segi manakah kegiatan tersebut menghasilkan pola pendidikan politik? Bukankah pendidikan politik dihasilkan jika ada dialektika, antara pihak politikus dengan mahasiswa? Bagaimana mungkin jika elemen mahasiswa tidak dilibatkan dalam forum tersebut akan menghasilkan pendidikan politik(untuk mahasiswa)? (Bisa dijawab di kolom komentar)

Jujur, saya sangat menyayangkan hal tersebut. Kenapa pihak rektorat tidak mengetahui perihal kegiatan apa yang akan dilaksanakan oleh mereka dan kenapa pihak rektorat telah seenaknya memberikan ruang atau fasilitas kepada mereka. Sebenarnya kampus ini milik rektorat atau milik siapa? Kok seenaknya sendiri. Sepertinya, kampus mau dijadikan "Poli-tikus".

Sebelum lanjut pembahasan perihal konsolidasi. Coba kita sedikit kupas dulu perihal apa itu Perguruan Tinggi. Menurut Prof. Dr. A. Watloly. S.Pak, M.Hum, Perguruan Tinggi yaitu suatu tempat persemaian bibit-bibit pemikir, intelektual, dengan berbagai macam arus pemikiran yang selalu berubah dan berkembang. Adapun fungsi perguruan tinggi adalah untuk membentuk kompetensi mahasiswa sebagai calon pemikir, ilmuwan, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis. Sederhananya, perguruan tinggi adalah suatu wahana dialektika mahasiswa.

Definisi diatas sudah jelas. Ada kalimat 'membentuk kompetensi mahasiswa'. Artinya, suatu kegiatan yang berada di wilayah Perguruan Tinggi, seyogyanya melibatkan elemen mahasiswa. Hal tersebut guna untuk menunjang kompetensi mahasiswa khususnya dalam ranah pendidikan politik. Apalagi kegiatan partai yang dikemas menjadi konsolidasi. Tentunya, itu harus melibatkan mahasiswa.

Mengenai dengan adanya kegiatan konsolidasi. Menurut hemat saya, bahwa kegiatan tersebut, alangkah baiknya melibatkan elemen mahasiswa. Kenapa seperti itu? Karena tujuan konsolidasi itu adalah untuk membentuk, memperkuat, dan bahkan memperbaharui kinerja. Tentunya, hal itu perlu ditunjang dengan cara berfikir yang inovatif.

Perihal berfikir inovatif, itu sudah menjadi ciri khas mahasiswa. Oleh karena itu, kenapa saya menganggap ini perlu adanya keterlibatan antara mahasiswa dengan mereka(politikus). Karena keterlibatan mahasiswa tersebut, guna untuk menguji berbagai macam gagasan yang telah mereka canangkan. Apakah gagasan itu mampu membawa rakyat yang 'sejahtera' atau malah bikin rakyat semakin 'terlena. Begitu, kan, kira-kira.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kegiatan tersebut sudah terlaksana. Tinggal bagaimana kita menyikapi perihal adanya kegiatan tersebut. Dan yang paling penting yaitu, bagaimana sikap atau kebijakan dari pihak rektorat ketika ada kegiatan konsolidasi partai di kemudian hari, khususnya di wilayah kampus Ibrahimy Genteng.

Harapan saya, pihak rektorat tidak menyepakati hal itu. Jika mau, maka, adakan saja kegiatan semacam seminar, talkshow, dll. Boleh kolaborasi dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut. Begitu kan ya beres.

Teruntuk kita (Mahasiswa), dengan melihat adanya polemik tersebut, maka kita sebagai mahasiswa yang telah menyandang gelar agen of control, agen of change dan agen-agenan itulah, sudah selayaknya mencerna, mensiasati, dan menganalisis berbagai macam wacana yang telah merongrong cara berfikir kita. Jangan sampai kita (mahasiswa) dininabobokkan oleh wacana-wacana penguasa yang outputnya membelenggu, menindas, dan bahkan menyimpang.

Teruntuk sahabat PMII. Jangan pernah mendiamkan pembodohan ketimpangan, maupun penindasan. Karena Asghar Ali mengatakan, siapa yang mendiamkan semua itu, maka dia adalah kafir (Teologi Pembebasan, 1993)

Sekian dari saya.

Perlawanan dan pergerakan paling dasar adalah menerangi kebodohan dan pembodohan. Lawan dengan membaca! Apapun perlu dibaca, fenomena maupun wacana.


Oleh: Hendika Nanta
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak