“Bagaimana kabar harapan mahasiswa tentang mewujudkan kampus yang bernuansa intelektual? Sudah mampuskah terinjak oleh kepentingan politik praktis yang bertempat di kandang mahasiswa itu sendiri?”
Pena Laut - Kita semua tahu bahwa aktivitas politik tidak akan pernah berhenti setiap tahun atau—setidaknya—lima tahunan. Bahkan di tiap detik dalam kehidupan manusia. Sebab seperti yang telah dikatakan filsuf masyhur kelahiran Athena—Aristoteles, bahwa manusia merupakan zoon politicon, atau makhluk sosial. Setidaknya dalam istilah yang dikatakan Aristoteles, kita tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang niscaya harus menciptakan aturan-aturan dalam kehidupan bersosial (berpolitik).
Lalu bagaimana politik diimplementasikan dalam kehidupan manusia? Kita ambil satu contoh; bayangkan kamu sedang menjadi dosen. Lalu dalam kontrak kuliahmu dengan mahasiswa, kamu membikin peraturan tentang berapa kali mahasiswa diperbolehkan tidak mengikuti perkuliahan, dan kemudian mahasiswa menjalankan aturan itu sepanjang masa kontrak kuliah. Sesederhana itu politik, dan sedekat itu politik dalam kehidupan kita.
Namun seiring waktu, istilah-istilah dan praktik politik kini berkembang dan menjadi beragam, njelimet, dan satu lagi; bikin repot! Salah satunya—yang paling bikin gregetan—adalah ‘politik praktis’. Contoh, momentum Pemilu kemarin kita disuguhkan dengan berbagai dinamika sosial politik yang diakibatkan oleh tiga pasangan calon pengganti Jokowi-Ma’ruf Amin, yang sepertinya masih menjadi bahan yang belum basi untuk jadi bahasan, bahkan jadi bahan guyonan dan gojlokan di tengah-tengah ‘obrolan warung kopi’.
Namun pembahasan politik kita kali ini berhenti di sini saja dulu. Saya kurang pantas ngomongin politik, karena saya bukan politisi, pengamat, atau ahli dalam bidang politik. Saya hanya dapat referensi dari diskusi dan buku!.
Ngomong-ngomong menjelang Pilkada, beberapa hari yang lalu, kampus kami, IAI Ibrahimy Genteng kedatangan tamu, yakni seorang ‘Gus’ yang kabarnya akan maju dalam kontestasi pemilihan Bupati Kabupaten Banyuwangi. terbukti dalam ‘atribut’ yang dibawanya masuk kampus; backdrop acara dan brosur yang dibawa masuk ke kampus kami.
Acara tersebut bukan merupakan kampanye beliau, tapi konsolidasi. Sesuai yang tercetak di kain banner; 'Konsolidasi Tim Gus Munib - Calon Bupati Banyuwangi 2024'. Pertanyaan dari saya; kenapa harus di kampus kami? atau kalau pertanyaan ini diperluas, kenapa harus di dalam kampus? Adakah hubungan antara konsolidasi ini dengan sistem akademik? Adakah korelasi antara konsolidasi njenengan dengan pendidikan kami?
Bahwa peraturan tentang politisi yang masuk kampus—atau lembaga pendidikan—ini sudah ada di UU Nomor 17 Tahun 2017, tepatnya di pasal 280 ayat (1) huruf (h). Mengenai hal ini, tertera bahwa pelaksana dan peserta Pemilu—dalam konteks ini adalah Pilkada—tidak diperbolehkan berkampanye di lembaga pendidikan kecuali telah memperoleh izin dari pihak terkait dan dengan catatan tanpa membawa atribut apapun.
Namun dalam konteks kasus ini berbeda, yang bikin pusing tujuh keliling adalah karena acaranya bukan kampanye, tapi konsolidasi. Dan konsolidasi belum kami temukan aturan yang melarangnya dilaksanakan di dalam kampus. Akhirnya kami jadi kelabakan dibuatnya. Mampus!.
Apalagi karena acara tersebut terbungkus dalam kegiatan konsolidasi tim pemenangan, akhirnya mahasiswa tidak diperkenankan mengikutinya oleh para petinggi kampus. Padahal kami juga ingin melihat segagah apa gagasan si bakal calon sehingga 'berani' masuk kampus kami, tapi dengan bungkusan yang akan kami tawarkan, yakni dalam forum dialektika. Barangkali kami juga dapat inspirasi dari beliau.
Tapi kalau kita menilik peraturan yang ada, maka setidaknya pimpinan IAI Ibrahimy perlu berpikir dua kali. Sebab, dalam statuta yang sudah dirumuskan oleh yayasan tercantum dengan jelas di BAB II tentang Pengaturan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kalau boleh saya highlight, ada di Bagian Pertama, Pasal (2), nomor (2), yang berbunyi;
“Jenis Pendidikan di IAI Ibrahimy adalah Pendidikan Akademik dalam sejumlah rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu dan apabila memenuhi syarat dapat menyelenggarakan program pendidikan Vokasi dan pendidikan Profesi”.
Saya jadi bingung mau mencocokkan kegiatan konsolidasi politik dengan variabel yang mana dalam peraturan yang mereka bikin sendiri. Barangkali konsolidasi politik menurut mereka merupakan standar yang masuk dalam salah satu variabel jenis pendidikan pada kriteria di atas. Ah, saya ini, kok, belagu mau menganalisis. Toh, saya ini hanya mahasiswa semester enam yang masih kocar-kacir kalau waktunya nyicil UKT.
Statuta yang seharusnya menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan, kok, justru seolah diabaikan. Bahwa menurut saya, konsolidasi itu sama sekali tidak masuk dalam kegiatan akademik, oleh karenanya tidak perlu dilakukan di dalam kampus! Tapi, kalau jabatan Bupati dianggap merupakan sebuah pekerjaan, maka jelas, kegiatan-kegiatan seperti konsolidasi politik termasuk dalam 'Pendidikan Profesi'—barangkali.
Oleh: Hafid Aqil (Mahasiswa Softinala Institute)
Posting Komentar