BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Buya dan Bung: Membaca Narasi Keberanian Dalam Karya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer

Setinggi apa pun capaian pengetahuan seseorang, jika ia muncul dari diri yang terbelit egotisme diri dan nafsu, (maka) ia hanya menjadi “pembenar” atas pamrih diri dan kelompoknya. Dan oleh karenanya pasti berdampak merusak.


(Irfan Afifi dalam Saya, Jawa, dan Islam, 2022)


Pena Laut - Kehidupan adalah petualangan mengarungi luasnya samudra yang tak pernah berujung. Dari kejauhan mengira melihat sebuah tepi, namun pada akhirnya tak akan pernah benar-benar sampai. Kapal akan terombang-ambing, jika tak ada yang mengendalikannya. Kapal akan terasa hampa, jika tidak ada awak-nya. Ia juga tidak akan pernah sungguh berlayar, jika pengendali dan awak kapal tidak memiliki kehendak untuk menggerakkannya. Bahkan, jika hanya leyeh-leyeh saja tanpa pergerakan apa pun, samudra dapat menelan kapal—beserta “kehidupan” di dalamnya—dengan hanya sekali “bersin”. Alegori semacam tadi, atau dengan versi lain, sudah banyak ditemukan di berbagai bacaan tertentu atau melalui penuturan orang. Melihat alegori yang diciptakan oleh manusia tentang kehidupan ini, rasanya tidak terlalu berlebihan jika dikatakan: semua manusia adalah sastrawan. Seperti Pablo Picasso (1881-1973), seorang seniman revolusioner dan mashyur dalam aliran Kubisme pada abad 20, menandaskan bahwa: Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once he grows up.

Meski “setiap anak adalah seniman”, bagi Picasso poin yang paling penting bukan itu, melainkan bagaimana hingga besar nanti mereka tetap menjadi seniman. Dalam hidup, problem yang dihadapi manusia juga demikian. Jika ditarik dalam konteks tersebut, spirit quotes Picasso tersebut dapat ditulis: setiap anak yang lahir adalah manusia. Masalahnya ialah bagaimana mereka hingga dewasa—bahkan sampai mati—tetap menjadi manusia? Sadar atau tidak, gelombang modernitas dari awal kemunculannya mengobrak-abrik nilai-nilai dalam kehidupan, di satu sisi. Seperangkat nilai, norma, prinsip profesionalitas, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia saat ini (sedang) vis a vis dengan peradaban yang memberikan racun pada kebijaksanaan lokal atau paradigma kehidupan manusia yang sui generis (unik).

Maka tak heran, banyak para cendekiawan berupaya untuk meng-counter ideologisasi dan kolonisasi yang dilakukan oleh The Invisible Hand (metafora Adam Smith) terhadap kebudayaan dan pandangan hidup (Worldview) manusia di berbagai belahan dunia, terutama di Indonesia. Pergulatan wacana epistemologis berusaha untuk “berani” berhadap-hadapan—dan bahkan menantang—dengan budaya dominan. Keberanian para cendekiawan tersebut dalam “melawan” upaya ideologisasi adalah legacy (warisan) yang harus tetap di-manifestasikan dalam kehidupan, terutama bagi generasi muda saat ini.

Konsep, makna, dan prinsip keberanian telah banyak dibahas oleh para cedekiawan, baik dalam tulisan maupun dalam ujaran—dengan landasan epistemologis yang beragam. Dalam tulisan ringkas ini, hanya akan sedikit mengulik makna keberanian dari dua cendekiawan yang pernah dimiliki Indonesia dan sampai saat ini karya-karyanya masih berpengaruh. Kedua cendekiawan tersebut ialah H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dan Pramoedya Ananta Toer (Bung Pram). Mengapa tulisan ini memuat kedua tokoh tersebut? Alasannya sederhana, sebab Buya Hamka dan Bung Pram sering kali dipahami (hanya) sebagai dua tokoh representatif dari dua ideologi-politik yang berbeda. Memang, Buya Hamka dan Bung Pram pernah “bertengkar” dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Hal tersebut terjadi cukup lama.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) karya Buya Hamka dituduh plagiat oleh para sastrawan, terutama oleh Bung Pram yang kala itu menjadi pengasuh rubrik Lentera pada harian Bintang Timur. Bung Pram dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), secara sitematis melancarkan kritik terhadap karya Buya Hamka tersebut. Seorang novelis-ulama (Buya Hamka) digempur habis-habisan oleh Lekra (Majalah Gatra, 2008: 50). Dari peristiwa inilah, kedua cendekiawan tersebut seolah-olah tidak pernah akur blas. Meskipun demikian, bukan berarti selamanya pemikiran dari keduanya tidak dapat dipertemukan atau bahkan di-dialog-kan. Justru menarik untuk digelontorkan pemikiran Buya Hamka dan Bung Pram yang sering kali dianggap tidak akan pernah menemukan titik temu. Padahal, jika membaca sebagian karya-karyanya, terdapat banyak sekali persamaan, terutama dalam hal spirit perjuangan melawan penjajahan—tentunya dengan konsep epistemik yang berbeda.

Hamka dan Pram: Mendemonstrasikan Keberanian

Seperti yang telah disebutkan di awal, bahwa fokus tulisan ini ialah membahas makna keberanian menurut Buya Hamka dan Bung Pram. Menurut Aristoteles (384-322 SM), filsuf Yunani, keberanian dideskripsikan sebagai: The conquering of fear is the beginning of wisdom (Menaklukkan rasa takut merupakan awal dari kebijaksanaan). Sikap berani menjadi salah satu unsur penting ketika manusia ingin menuju singgasana kebijaksanaan. Rasa takut akan meruntuhkan pandangan dan cita yang optimis. Secara filosofis, menurut sebagian filsuf, rasa takut merupakan konsep abstrak yang tidak real, atau bahkan hanya presuposisi belaka—yang justru menghambat manusia pada titik yang lebih sublim.

Dalam beberapa karya atau tulisan kedua cendekiawan (Buya Hamka dan Bung Pram) tersebut, secara intrinsik juga memuat spirit keberanian untuk melawan dominasi ideologis maupun politis segala sesuatu yang “menjajah” karakter kemanusiaan. Dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh keduanya, akhirnya melahirkan sebuah karya yang memiliki daya resistensi tersendiri hingga saat ini. Untuk meringkas dan mempermudah pembahasan, makna keberanian menurut Buya Hamka dan Bung Pram akan ditulis sebagai berikut:

a) Makna keberanian Buya Hamka


Sebagai seorang ulama dan muharrik organisasi, Buya Hamka merupakan pribadi yang sangat teguh dalam pendirian. Apalagi, saat beliau berusaha melawan penajajah dengan caranya sendiri. Tentunya apa yang dilakukan oleh Buya Hamka tidak terlepas dari pemahaman beliau mengenai doktrin Islam. Perjuangan Buya Hamka tidak hanya ingin mewujudkan kemerdekaan Tanah Air-nya, melainkan juga untuk merealisasikan visi Islam, yakni ‘izzul Islam wal Muslimin. Nilai-nilai Islam merupakan modal utama beliau dalam bergerak dan mendemonstrasikan kebenaran yang selama hidupnya dipegang teguh.

Salah satu karya beliau yang memuat pentingnya sebuah keberanian ialah buku yang bertajuk: Dari Lembah Cita-Cita (1946). Buku ini adalah kumpulan materi yang disampaikan Buya Hamka ketika beliau diminta oleh dua muridnya untuk memberikan “kursus” yang berkaitan dengan kemerdekaan, perjuangan, negara-agama, dan kepemudaan. Dari beberapa pertemuan kursus itulah, buku ini akhirnya disusun dan diterbitkan oleh murid Buya Hamka. Karena wacana dan nilai yang termaktub dalam buku tersebut bersifat revolusioner—setidaknya dalam perspektif Islam, akhirnya buku ini memberikan pengaruh yang sangat besar, khususnya di kalangan Muslim. Mengingat suasana revolusi pada kali pertama buku ini diterbitkan, maka tak heran jika buku yang relatif kecil itu mendapatkan antusiasme yang cukup besar.

Dalam buku Dari Lembah Cita-Cita (pada bagian 12. Tidakkah Tuan Takut?), terdapat pembahasan khusus mengenai keberanian. Menurut Buya Hamka keberanian adalah modal utama untuk menjalani kehidupan di dunia. Sebab, di dalam kehidupan ada kesulitan dan perjuangan. Buya Hamka menulis:

Kita tak boleh ragu, bahwa kehidupan di dunia ini adalah kumpulan kesulitan dan perjuangan. Orang yang berani tegak ke barisan yang paling muka, tentu berani menempuh kesulitan dan bahaya. Berani memukul dan berani kena pukul. Tahan ditimpa susah; dan susah kalau tidak bertemu dengan susah (Hamka, 1982: 59).

Setiap manusia harus memiliki keberanian. Karena kehidupan adalah lokus perjuangan dan kesulitan yang terus dihadapi oleh manusia. Tanpa keberanian, manusia tidak dapat melewati rimba raya kehidupan yang sesak dan penuh dengan rintangan yang tak terduga. Selain itu, dalam hidup, juga terdapat hukum kausalitas. Berani memukul dan berani dipukul. Berani memulai, juga harus berani mengakhiri. Begitulah seyogyanya menjadi manusia, sehingga ketika ia memiliki sikap yang berani, etape demi etape akan mudah dilalui.

Menjalani kehidupan ini, manusia di-gulawentah agar menjadi pribadi yang lebih baik. Atau, senantiasa berusaha untuk menjadi manusia yang manusia(wi). Jika ia tidak memiliki keberanian untuk terbentur pada sesuatu, lari dari permasalahan yang tengah dihadapi, maka ia tidak akan mampu melewati problem-problem yang ada. Demikian halnya dalam sebuah perjuangan.

Kalau dia seorang pemuka, atau ahli pikir, atau ahli cita-cita, padahal dia tidak berani menanggung risiko perjalanan hidupnya, lebih baik dia surut ke belakang; berhenti jadi Jenderal, serahkan kepada yang lebih pandai, kembali jadi serdadu saja atau lebih baik pulang ke rumah, biarkan orang lain pula pergi ke medan perjuangan (Hamka, 1982: 59).

Derajat kemuliaan seseorang juga tergantung seberapa besar perjuangannya terhadap kehidupannya sendiri. Perjuangan adalah sendi dari kemuliaannya. Demikian ujar Buya Hamka. Tamsil menarik dari Buya Hamka ditulis dengan sangat apik:

Pemuka yang termashyur, ahli-ahli pikir yang ternama, namanya yang tinggi dan termashyur itu, masuk ke dalam kisut dan kisayan dahulu, baru ke luar sebagai emas yang mahal dan tulen.

Belum terdengar dan belum bertemu seseorang yang kekal namanya di safhat sejarah, melainkan setelag menempuh perjuangan kesulitan dan kepayahan jua
(Hamka, 1982: 60).

b) Makna keberanian Bung Pram

Seorang sastrawan terkemuka—dalam kancah nasional maupun internasional—yang bernama Pramoedya Ananta Toer tidak pernah tenggelam dari generasi ke generasi. Nama yang agung, karena kegigihan dan keberaniannya dalam menulis. Bisa dikatakan, semua karya Bung Pram merupakan ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia kala itu. Merasa sesak dengan tindakan yang diberlakukan oleh “bangsa penjajah”. Dalam Sang Pemula, Raden Mas Tirto Adhi Serjo mengistilahkan bangsa penjajah dengan “bangsa yang memerintah” dan bangsa yang terjajah dengan sebutan “bangsa yang terperintah” (Toer, 2003).

Seluruh karya Bung Pram merupakan manifestasi perlawanannya terhadap kesesakan dan kemuakan terhadap keadaan sosio-politik yang terjadi di Indonesia. Dengan metafora yang elegan, Bung Pram—dengan karyanya—mampu membangkitkan semangat revolusi dan kesadaran masyarakat Indonesia. Setiap kata, kalimat, paragraf, dan halaman demi halaman seolah-olah memiliki kekuatan yang mendorong masyarakat agar senantiasa waras, tidak takut, dan akhirnya melawan. Salah satu karya yang sangat fenomenal ialah Tetralogi Buru-nya. Karya ini sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Konon, alur cerita dalam buku tersebut sebelumnya diceritakan oleh Bung Pram kepada tahanan politik (Tapol) di Pulau Buru. Beberapa tahun kemudian ditulis, dan akhirnya menjadi magnum opus-nya. Ketika mendengar namanya, buku Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) akan pertama kali disebut.

Sebuah analisis yang dilakukan oleh Rahawarin dalam Manusia Indonesia Menurut Pramoedya Ananta Toer (2024), menyebutkan bahwa roman Bumi Manusia memuat karakteristik manusia Indonesia. Salah satu karakter manusia Indonesia, menurut Bung Pram, ialah manusia yang berani. Karakter manusia berani ditampilkan dalam diri tokoh Minke, Nyai Ontosoroh, dan tokoh-tokoh pribumi lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap perlawanan dan pemberontakan yang mereka lakukan terhadap segala bentuk ketidakadilan, penjajahan, diskriminasi. Dari keberanian tersebut membuat para pribumi (maupun manusia Indonesia, secara umum) untuk meraih kemerdekaan dan kemuliaan (Rahawarin, 2024: 211).

Mempunyai keberanian adalah modal budaya yang harus terus dipegang teguh oleh manusia. Fenomena mutakhir, tidak dapat dihitung dengan jari orang-orang yang memiliki intelektualitas yang tinggi. Akan tetapi hanya sedikit yang berani mengaktualisasikan kebenaran yang ada di dalam “kepalanya”. Banyak orang yang menginginkan keadilan, namun sedikit yang berusaha meraihnya. Hal itu disebabkan oleh sikap-sikap pengecut yang mendominasi dalam diri masyarakat. Takut tidak makan, takut tidak kaya, takut dipenjara, takut dipersekusi, dan ketakutan-ketakutan yang lain.

Novel Larasati adalah karya Bung Pram yang terbit pertama kali pada tahun 1950. Secara umum, novel ini merekam historisitas pergerakan politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Tokoh sentral dalam novel ini ialah perempuan yang bernama Larasati—seorang bintang film yang diminta menjadi salah satu pemain di dalam film-film propaganda Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Selain itu, struktur novel ini bernuansa perjuangan revolusi dengan homologi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga, secara intrinsik, novel ini mengandung unsur-unsur propaganda untuk membakar semangat para pembaca (Ridwan dkk, 2016: 74).

Bung Pram dalam novel tersebut secara eksplisit menyuarakan pandangan dunianya, bahwa sebuah negara tidak akan merdeka apabila masyarakatnya takut untuk melawan, takut untuk berjuang, seperti pada kutipan berikut:

Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita (Toer, 2009: 122).

Sebuah bangsa bisa terjajah, bisa tereksploitasi, dan dibunuh karakternya, karena lemah dan takutnya masyarakat untuk melawan. Ketakutan tersebut juga dipengaruhi—secara terstuktur—oleh relasi kekuasaan. Pengaruh tersebut terjadi karena adanya wacana yang ditampakkan secara konsisten untuk menghasilkan efek tertentu. Bagi Foucault, wacana secara umum sangat berhubungan dengan bagaimana sebuah proposisi lebih mengemuka, lebih tampak, dan lebih dominan daripada yang lain (Manuaba, 2003: 279).

Bagi Bung Pram, keberanian adalah esensi dalam hidup. Tanpa keberanian, seseorang akan enggan untuk melangkah. Sehingga tidak akan maju. Sebagai penulis dan pengarang pun, Bung Pram senantiasa mendemonstrasikan sikap berani. Sebab, menulis juga membutuhkan keberanian; keberanian mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan. Juga, bagaimana menjadi manusia yang berani untuk melawan dan mengkritik sesuatu yang menyimpang. Keberanian untuk terus menyuarakan ketidakadilan, keberanian membebaskan diri dari belenggu, dan keberanian untuk merdeka (Farela, 2018: 18).

Narasi Keberanian: Paradigma yang Berbeda, Tujuan yang Sama

Dari ulasan singkat makna sebuah keberanian yang dinarasikan oleh Buya Hamka dan Bung Pram dalam karya-karyanya, menunjukkan bahwa sikap berani sangatlah penting untuk dimiliki oleh setiap manusia. Mereka berdua bertitik-tolak pada realitas yang—menurut pembacaan masing-masing—mengalami pembelokan, bahkan sangat jauh menyimpang. Konteks yang ditemui kala itu ialah di mana pribumi berusaha melepaskan rantai yang melilit mereka secara kuat, sehingga dapat menghirup udara kebebasan yang menjadi tujuan bersama.

Kendati Buya Hamka dan Bung Pram sama-sama mendemonstrasikan “pentingnya sikap berani” dalam setiap karya yang ditulisnya, namun jika ditelisik secara radikal, keduanya mempunyai landasan konsep, nilai, dan/atau paradigma yang berbeda. Secara sederhana, Buya Hamka menggunakan paradigma Islam sebagai landasan perjuangan. Sebagai ulama yang alim-allamah, terutama pendalamannya terhadap esoterisme Islam, membuat pandangan-pandangannya menjadi utuh dan kokoh. Sedangkan Bung Pram menggunakan paradigma Humanisme untuk melawan kekuasaan yang lalim. Hal ini sangat terlihat ketika membaca karya-karyanya, seperti dalam Tetralogi Pulau Buru dan Larasati yang telah diuraikan di atas.

Pembacaan atas karya-karya Buya Hamka dan Bung Pram sangat penting diterapkan pada generasi muda saat ini. Melihat mentalitas generasi muda lambat laun mengalami dekadensi. Kalau perlu membuat diskusi khusus untuk membedah karya keduanya dan cendekiawan Indonesia yang lain. Nilai-nilai intrinsik yang ditorehkan dalam setiap karya monumental sangat penting untuk diaktualisasikan dalam nuansa modernitas seperti saat ini.

Untuk mencapai tujuan yang mulia, tidak hanya dapat ditempuh dengan satu jalan semata. Banyak jalan untuk mencapai tujuan bersama. Secara kolektif, tujuan mulia (kemerdekaan, misalnya) dapat ditempuh dari beragam jalan. Meski paradigma dan media yang digunakan memiliki perbedaan yang sangat jelas, bukan berarti hal tersebut bersifat konfliktual. Justru sebaliknya, keduanya bergerak secara integratif. Pandangan klaim sepihak—dan menganggap bahwa paradigma dan langkah yang ditempuh adalah apling benar—merupakan sifat egoistis. Setinggi apa pun capaian pengetahuan seseorang, jika ia muncul dari diri yang terbelit egotisme diri dan nafsu, (maka) ia hanya menjadi “pembenar” atas pamrih diri dan kelompoknya. Dan oleh karenanya pasti berdampak merusak (Afifi, 2022: 77).


Penulis: Dendy Wahyu Anugrah


Referensi:

Afifi, Irfan, Saya, Jawa, dan Islam, Yogyakarta: Pojok Cerpen, 2022.

Farela, Aristo, Kata-Kata Pramoedya Ananta Toer Untuk Indonesia, Surabaya: Ecosystem, 2018.

Hamka, Dari Lembah Cita-Cita, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Majalah Gatra, Digempur Habis Oleh Lekra, edisi 9 April 2008.

Manuaba, I. B. Putera, Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan Interpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia, Jurnal Humaniora, Vol. 15, No. 2, 2003.

Rahawirin, Ambrosius Andy, Manusia Indonesia Menurut Pramoedya Ananta Toer, Jurnal Seri Mitra: 
Refleksi Ilmiah-Pastoral, Vol. 3, No. 1, 2024.

Ridwan, Iwan; Widiastuti, Aries; dan Yukianeta, Pandangan Pramoedya Terhadap Resistensi Perempuan Dalam Novel Era revolusi dan Reformasi, Jurnal Adabiyyat, Vol. 15, No. 1, 2016.

Toer, Pramoedya Ananta, Larasati, Jakarta: Lentera Dipantara, 2009.

Toer, Pramoedya Ananta, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak