Guru, sudah beribu kali kau tanami aku tentang kesadaran akan kebaikan dan kebenaran. Kau ajari aku bagaimana hidup yang bermanfaat bagi sesamanya. Kau ajari aku hidup dengan penuh makna. Kau ajari aku bagaimana agar aku hidup bahagia. Kau ajari aku hidup dengan memegang prinsip kebijaksanaan yang mulia. Tanpamu, aku takkan bisa bersinar di tengah kegelapan.
Guru, sudah berjuta-juta, bermilyar-milyar banyaknya, kau menyediakan waktu untuk menemani hari-hariku. Aku tak bisa menghitung pengorbanan yang kau berikan kepadaku. Kau rela mengorbankan apapum demi murid-muridmu. Waktu untuk bersama keluargamu, sering kami rebut. Waktu istirahatmu, waktu bersenang-senangmu, sering—bahkan selalu—kami rebut untuk keperluan murid-muridmu ini. Kau begitu sabar mendidik dan menemani kami.
Guru, aku lihat dari keletihan wajahmu, membuatku percaya betul kalau tugas yang kau emban bukan tugas yang remeh-temeh. Bodohnya aku yang dulu berpikir bahwa tugasmu tak begitu berat, hanya sekedar mengulang dan mengatakan. Terlebih, orang tua kami yang memandangmu sebagai seorang penyulap anak bodoh menjadi pintar, anak malas menjadi rajin, anak nakal menjadi penurut. Apalagi pemerintah, yang dikritik saja sudah kebakaran jenggot, dan yang paling parah: tak mau memberikanmu gaji yang sesuai dengan pekerjaanmu. Mereka lebih memilih memberi kenaikan gaji anggota parlemen, sedang profesimu, malah dipilah mana yang negeri, dan mana yang tidak negeri.
Aku percaya betul kata-kata yang sering kau ucapkan dulu: “Anak-anak, seorang tokoh penyair dan sastrawan Perancir, yang bernama Victor Hugo, pernah berkata: hanya ada dua orang yang menyumbang besar bagi peradaban sebuah bangsa, yakni seorang guru dan seorang perawat.” Sungguh, sampai sekarang pun aku masih percaya betul dengan perkataan itu, guru.
Andai saja, aku seorang penguasa atau pejabat, sudah tentu mudah sekali membalas jasa-jasamu. Kau, akan aku berikan kesejahteraan yang tertinggi. Akan aku berikan rumah yang mewah dan megah, yang sesuai dengan keinginanmu, agar kelak kau tak malu ketika murid-murid mu datang. Akan aku berikan kartu—semacam ATM—khusus pendidik supaya harganya lebih murah dari orang-orang, agar kau gunakan untuk membeli keperluan-keperluan mengajarmu. Aku akan membuat perpustakaan super besar, agar kau mudah mengakses buku-buku. Aku malu tak tertolong, bila aku menjadi penguasa yang tidak mampu mengangkat derajat dan martabatmu. Sebab, aku menjadi penguasa, tak lain karena jasa-jasamu.
Seandainya, aku seorang anggota parlemen, tentu aku akan membuat undang-undang yang menyejahterakan nasibmu. Peraturan yang memberikan dasar-dasar perlindungan bagi pekerjaanmu, pengakuan atas martabatmu, dan memberimu kebebasan sepenuhnya. Peraturan-peraturan yang mengendalikan kreativitas dan imajinasimu, akan aku libas tuntas. Aku akan membuat aturan-aturan yang memberikan perlindungan yang maksimal padamu. Aku tidak akan melupakan jasa-jasamu yang menghantarkan aku menuju profesiku sekarang. Tugasku tak lain adalah memenuhi kesejahteraanmu.
Andai, aku seorang pengusaha, guru. Pasti aku akan menyisakan danaku untuk keperluan sekolahmu. Keperluan untuk membangun sekolah yang mewah, sekolah yang nyaman untuk murid-muridmu. Lagi-lagi aku pasti malu, melihat bangunan-bangunan sekolah yang reot, hampir roboh, sedang rumahku sendiri berjimbun jumlahnya. Maka, aku akan membangun sekolah dengan diwarnai taman yang indah, perpustakaan yang banyak buku-buku berkualitas—yang pasti bukan buku bajakan, dan semua fasilitas-fasilitas yang membuatmu dan murid-muridmu nyaman di sekolah. Aku akan mengumpulkan semua teman-temanku untuk berdiskusi seputar cara memajukan pendidikan, cara untuk meringankan biaya muridmu, cara untuk kesejahteraanmu, dan cara membuka lapangan kerja untuk murid-muridmu. Semua itu aku lakukan, lagi-lagi, sebagai rasa percayaku bahwa kesuksesanku pasti tidak terlepas karena jasa-jasamu.
Tapi, guru, aku ini hanya rakyat biasa. Seorang rakyat yang nasibnya hampir sama denganmu. Seorang yang kesulitan dalam mencari penghidupan. Jangankan untuk makan tiga kali sehari supaya hidup sehat seperti yang diucap-ucapkan dokter, dapat makan satu kali sehari saja, aku sudah bersyukurnya bukan main. Nasibku tak lebih baik denganmu. Guru, kemana dan pada siapa kita mengadu atas semua kesulitan dan kesusahan ini? Mau ke pejabat? Parlemen, atau birokrat? Untuk menemuinya saja susahnya minta ampun. Lalu, kemana harapan besar masa depan bangsa ini disandarkan, guru?
Aku percaya kalau kepadamu lah, harapan-harapan itu disandarkan. Aku ingin kau ajari murid-muridmu belajar tentang kenyataan hidup yang sebenarnya. Aku ingin murid-muridmu kau ajari keberanian, kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan. Jangan kau ajari murid-muridmu menjadi budak penakut. Takut untuk menderita, takut untuk salah, takut melawan penindasan, dan takut untuk berbuat kebenaran. Jangan kau ajari muridmu menjadi pembohong, yang tiap kali diam ketika kau omeli, padahal sebenarnya hatinya bergejolak ingin memberontak. Jangan kau ajari muridmu menjadi seorang yang kerdil dalam pemikiran. Yang mampunya hanya menyomot, menjiplak, menyontek, apa yang dilakukan di luar sana. Jangan mereka seperti aku, yang bangga mempunyai sifat buruk, bangga berkarya walaupun itu menjiplak, enggan bertanggung jawab, dan bermalas-malasan untuk belajar. Jangan kau jadikan mereka menjadi pengecut, pengemis, dan penindas semua masyarakat yang tak berdaya.
Guru, aku percaya, harapan besar itu tersandarkan padamu. Sebab, aku percaya bagaimana kebesaran bangsa ini bisa lahir melalui keterampilanmu yang cakap melatih berpikir. Guru, aku memang percaya bahwa dirimu masih diselimuti masalah-masalah. Kesejahteraanmu yang diburu, pemerintah yang begitu malas, memang menjadi kendalamu. Akan tetapi coba bayangkan, bahwa di tanganmu lah kelak akan tumbuh penguasa, pemimpin-pemimpin, pengusaha yang peduli betul dengan kebutuhan rakyat dan kebutuhanmu. Guru, aku akan senantiasa menunggu karyamu: orang yang peduli sungguh kepada rakyat, orang yang peduli kepada kemanusiaan.
Dari
Muridmu yang ingusan
Oleh: Hilmi Hafi
Catatan: surat ini terinspirasi dari buku “Guru: Mendidik Itu Melawan!” karya Eko Prasetyo, terbitan Resist Book: 2006.
Posting Komentar