BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Lebaran dan Leburan

Pena Laut - Selama sebulan penuh, umat Islam menunaikkan ibadah puasa. Jika dilihat dari berbagai aspek, dimensi, dan makna yang terkandung dalam puasa, kita menemukan banyak sekali pendar-pendar kebijaksanaan, kebajikan, hingga kenikmatan. Misalnya, puasa memiliki spirit humanisme, atau puasa yang bernada sufistik seperti yang ditulis Cak Nur dalam Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994). Mengenai hal-hal yang nyerempet-nyerempet demikian, agaknya sudah banyak yang menulis, membahas, dan mengkontekstualisasikannya. Banyak juga terma puasa dan kemudian ditelaah secara filosofis, misalnya, alhasil menelurkan berbagai informasi tentang puasa yang berkaitan dengan nilai-nilai sosiologis, antropologis, dan tentunya, teologis.

Intinya, setelah kita menjalankan puasa selama sebulan penuh, sebagai Muslim yang taat, akhirnya kita akan bertemu dengan hari kemenangan, hari di mana semua merasa bungah, dan hari di mana semua umat Islam menantinya. Sampai-sampai, semua orang berdoa agar tetap dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal. Pada tanggal 1 Syawwal, semua orang bersuka cita. Bahagia. Bergembira. Ya, setidaknya, mayoritas Muslim merasakan demikian. Hari itu, bernama: Hari Raya Idul Fitri. Orang-orang Indonesia, juga biasa menyebutnya: Lebaran.

Lebaran merupakan momentum di mana semua orang, terutama umat Islam, saling memaafkan satu sama lain. Berlapang dada. Penuh kegembiraan. Dan, bersilaturahim. Sebenarnya ada banyak hal saat kita mendengar atau membaca kata “Lebaran”. Apalagi, saat tulisan ini dimuat, Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri 1445 H sudah sangat dekat. Tinggal menghitung jam, menit, bahkan detik. Degup jantung umat Islam ketika menanti shalat Ied menggema laiknya suara petasan yang mengiringi gema takbir pada malam hari. Amplop kecil disusun rapih, hidangan di atas meja sudah siap dinikmati, dan lantunan takbir dari surau sudah mulai melambung tinggi. Lalu, hati bergumam begini: Wahai Lebaran, saya sudah siap dan mantap!

Tulisan ini tidak akan menguliti definisi, makna, dan hal-hal yang membuntuti istilah Lebaran tersebut. Juga bukan naskah khotbah shalat Ied. Jadi, kalau pembaca mau berhenti sampai di sini, saya tidak keberatan sama sekali. Sekali lagi, sama sekali tidak keberatan. Anggap saja, statemen tadi menyesuaikan tema tulisan kali ini: Lebaran. Secara semantik, kata “Lebaran” berasal dari bahasa Jawa, yakni “Lebar” dan terdapat imbuhan “-an”. Memang begitu lidah orang Indonesia, khususnya Jawa. Banyak kata-kata yang diberi imbuhan “-an” semacam tadi. Contohnya; Tahlilan, Yasinan, Kupatan, Khataman, Slametan, dan lain sebagainya.

Pembahasan seputar Lebaran, secara umum, identik dengan maaf-maafan, silaturahim, dan mengikhlaskan. Setidaknya itu. Kalau mau dilanjutkan, monggo. Tapi, poin yang ingin saya sampaikan pada tulisan kali ini ialah, bagaimana kita dapat melebur dengan sesuatu yang sebelumnya terpisah dengan kita. Bahkan, jauh dari diri kita. Kalau tadi kata Lebaran, bisa dimaknai: jembar, lapang dada, dan keluasan hati. Kata yang kedua, saya tambahkan menjadi: Leburan. Lantas, apa maksud dari Leburan? Lagi-lagi, di momen yang sangat indah ini, saya tidak akan menuntun pembaca masuk—bahkan terjebak—ke dalam rigoritas bahasa. Sederhananya, maksud dari Leburan tersebut merupakan peleburan kita (sebagai manusia) terhadap sesuatu. Timbul lagi pertanyaan: meleburkan diri ke mana, terhadap apa? Baiklah, agar tidak sukar dipahami, saya beri contoh: melebur menjadi satu kepada diri kita sendiri, atau meleburkan diri dengan kebaikan, kesantunan, dan keikhlasan itu sendiri. Cenderung masih abstrak, ya?

Sepertinya, perlu contoh-contoh yang membumi. Misalnya, saya masih berjarak dengan kebaikan. Seringkali, saya itung-itungan kalau ingin melakukan kebaikan. Masih butuh pamrih lah, masih ingin populer lah, hingga masih harus mencari seribu satu alasan untuk kebutuhan syahwat saya. Nah, di momen yang sangat penting seperti Lebaran, saya seyogyanya meleburkan diri dengan kebaikan. Kebaikan harus sudah melebur dengan diri saya. Kalau toh masih susah, baiknya bersahabat dulu dengan kebaikan. Itu sudah lumayan. Kenapa harus melebur? Ya, kalau tidak melebur, nanti kejegur (kecemplung). Maksudnya, kalau saya (atau kita) masih belum bisa melebur dengan kebaikan, efeknya dalam melakukan kebaikan, akan cenderung kalkulatif; itung-itungan.

Cetha, ya? Masa, iya, harus dijelaskan secara detail. Sudah aqil-baligh, kan? Kalau belum, maklum lah. Tapi kalau sudah berani buat story yang ndakik-ndakik, saya menganggap sampeyan-sampeyan (pembaca) ini, sudah dewasa. 

Jadi, selain Lebaran identik dengan maaf-maafan—terutama memaafkan diri sendiri, ia juga berkaitan erat dengan Leburan. Kalau saya dipaksa untuk menghadirkan contoh yang paling konkret, ya, begini jadinya: aku melebur kaleh sampeyan, Dik!. Sudah? Itu, kan, yang sampeyan-sampeyan mau?

Memaknai Lebaran secara dangkal, menurut saya, terlalu menyederhanakan. Simplistis. Cethek. Padahal, para ulama dan ahli hikmah telah menggelontorkan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Salah satu makna yang bisa diambil, ditelaah, dan diaktualisasikan—bahkan diinternalisasikan—ialah Leburan tadi. Kita sudah lama mendengar atau membaca kalimat: Suro Diro Jayadiningrat Lebur Dening Pangastuti (segala angkara murka akan kalah dengan kebaikan). Di situ juga ada kata “lebur”. Sehingga, di momen Lebaran nanti, kita perlu meleburkan diri dalam segala hal, tentunya yang positif. Apapun itu. Silahkan tafsir sendiri. Jangan mau saya dikte!

Banyak cara untuk melebur dengan sesuatu. Ada yang bilang, dengan konsentrasi. Ada juga dengan meditasi atau istilah yang sering kita dengar semedi (Jawa: Topo Broto). Dan cara-cara lain yang berupaya untuk membantu kita dalam meleburkan diri dengan sesuatu yang ada di dalam diri kita maupun di luar diri kita. Kalau toh nanti tidak berhasil, ya, jangan keburu risau. Soalnya, kan, tugas kita (sebagai hamba) hanya berusaha. Selanjutnya, serahkan pada Empunya. Di saat Lebaran, kita senantiasa berusaha memaafkan. Berusaha mengikhlaskan. Berusaha berserah diri. Berusaha membersihkan diri dari kotoran-kotoran nista. Berusaha untuk menerima kenyataan bahwa: dek’e ora gelem karo dapuranmu!

Mari kita berusaha semaksimal mungkin untuk meleburkan diri dengan kebaikan-kebaikan. Sekali lagi, ayoh kita melakukannya. Sebab, kalau kita hanya leha-leha saja, bisa mampus di kemudian hari. Kalau letih, istirahat. Kalau jenuh, tasmasya sana. Kalau marah, diam sebentar. Kalau mampus, sungguh mengerikan!

Oh, iya, sebelum sampeyan rampung membaca tulisan ini, saya sebagai orang yang tulisannya selalu berlalu-lalang di media ini, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya mengakui, kalau salah saya banyak kepada para pembaca, khususnya. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriyah. Semoga, setelah ini dan sampai kapanpun, kita benar-benar menjadi manusia. Saya tekankan sekali lagi, benar-benar menjadi manusia.

Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kullu ‘aamin wa antum bi khair. Kalau nanti kita bertemu, ingatkan saya, soal ini: Mas, jangan lupa ndakik-ndakik, ndagel, dan yang paling penting, jangan berhenti berjuang untuk mendapatkan dek’e. Sekian.


Salam,

Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak