Bulan ini juga sering dikenal dengan bulan dibelenggu nya setan-setan, pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan dibukanya pintu surga. Selain itu, dalam bulan Ramadhan juga terdapat amaliyah puasa yang harus dilaksanakan oleh kalangan umat Muslim. Sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183).
Dari ayat tersebut, maka seluruh umat Muslim wajib hukumnya untuk berpuasa. Baik yang berkulit putih atau yang berkulit sawo matang, laki-laki atau perempuan, duda atau janda, yang punya harta melimpah atau yang tak punya harta sama sekali, semua wajib untuk berpuasa.
Kalau dalam hukum Islam: Fiqh—terkhusus madzhab Syafi’i, ada beberapa syarat yang menjadi manusia wajib untuk berpuasa, antara lain: manusia yang beragama Islam, baligh (sudah puber), berakal, dan menjumpai bulan Ramadhan. Boleh tak berpuasa jika bepergian jauh—yang sekira dapat meng-qashar shalat—dan ketika sakit parah, maka ia diberi kemudahan (ruhsah) untuk tidak berpuasa. Namun, di lain hari, ia wajib untuk meng-qada’-nya—mengganti puasa yang ditinggalkannya itu.
Secara historis, puasa merupakan ibadah yang sangat tua. Sudah dilakukan sejak zaman para Nabi, Wali, Auliya’, dan tokoh-tokoh terdahulu. Nabi Adam berpuasa selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Nabi Nuh beserta umatnya berpuasa disaat turun dari perahunya, setelah badai besar menimpanya. Puasanya dimaksudkan sebagai tanda rasa syukur kepada Allah Swt., karena telah diberi keselamatan dari badai dan banjir yang begitu mengerikan.
Amaliyah puasa bukan hanya dilakukan oleh umat Islam saja, di dalam umat Kristiani, Yahudi, Hindu, dsb. juga melaksanakan amaliyah puasa, yang dimaksudkan untuk menahan diri dari segala nafsu dan keserakahan atau melampaui batas.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya: Zad al-Ma’ad fi Huda Khair al-Ibad, bahwa yang dimaksud puasa tak lain adalah menahan syahwat dan menundukkan nafsu dari sesuatu yang disenanginya. Tampak dari perkataan ini, Ibnu Qayyim hendak menegaskan bahwa puasa sebenarnya tak hanya soal menahan makan dan minum saja, tetapi lebih dari itu adalah menahan segala hawa nafsu yang menggiring manusia menuju jurang kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan yang terlampau batas.
Demi memperlancar kinerja syahwat: membangkitkan dan mencapai keinginan-keinginan, maka syahwat dibantu dengan kawanannya, yang oleh KH. Machfoedz Shiddiq disebut dengan sifat "ghadlab" atau murka amarah. Ghadlab ini kerjanya menumpas segala sesuatu yang menghalangi perjalanan si syahwat. Ibarat suatu barisan laskar, ghadlab berada di barisan paling depan, memberantas jalan agar syahwat tak ada yang menghalanginya.
Sebaliknya, adalah kebutuhan dan kepentingan jiwa manusia, yakni: keadilan, kebajikan, kejujuran, dan alhasil kesucian yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang benar-benar menduduki garis-garis yang telah ditentukan Tuhan, dan benar-benar menjadi khalifah, penduduk, pembangun, penjalan hukum, dan keadilan (KH. Machfoedz Shiddiq: 2024, 6).
Tampak jelas pertentangan antara tubuh dan jiwa manusia. Tubuh dilayani oleh syahwat dan dibantu dengan ghadlab lengkap dengan kawan dan alat-alatnya, sedangkan jiwa dilayani oleh keadilan, kejujuran, kebenaran, dan sebagainya, yang semuanya dikepalai oleh kesucian. Begitulah kira-kira kebutuhan dan kepentingan tubuh (jasmaniah) dan jiwa (rohaniah) manusia.
Dari ayat tersebut, maka seluruh umat Muslim wajib hukumnya untuk berpuasa. Baik yang berkulit putih atau yang berkulit sawo matang, laki-laki atau perempuan, duda atau janda, yang punya harta melimpah atau yang tak punya harta sama sekali, semua wajib untuk berpuasa.
Kalau dalam hukum Islam: Fiqh—terkhusus madzhab Syafi’i, ada beberapa syarat yang menjadi manusia wajib untuk berpuasa, antara lain: manusia yang beragama Islam, baligh (sudah puber), berakal, dan menjumpai bulan Ramadhan. Boleh tak berpuasa jika bepergian jauh—yang sekira dapat meng-qashar shalat—dan ketika sakit parah, maka ia diberi kemudahan (ruhsah) untuk tidak berpuasa. Namun, di lain hari, ia wajib untuk meng-qada’-nya—mengganti puasa yang ditinggalkannya itu.
Puasa, bila diterjemahkan secara bahasa ialah menahan diri dari segala sesuatu. Dalam perspektif syara’ atau secara hukum Islam, puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan hal yang membatalkan puasa, min thuluil fajri ila ghurubis syamsi (mulai dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari).
Amaliyah puasa bukan hanya dilakukan oleh umat Islam saja, di dalam umat Kristiani, Yahudi, Hindu, dsb. juga melaksanakan amaliyah puasa, yang dimaksudkan untuk menahan diri dari segala nafsu dan keserakahan atau melampaui batas.
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya: Zad al-Ma’ad fi Huda Khair al-Ibad, bahwa yang dimaksud puasa tak lain adalah menahan syahwat dan menundukkan nafsu dari sesuatu yang disenanginya. Tampak dari perkataan ini, Ibnu Qayyim hendak menegaskan bahwa puasa sebenarnya tak hanya soal menahan makan dan minum saja, tetapi lebih dari itu adalah menahan segala hawa nafsu yang menggiring manusia menuju jurang kesenangan-kesenangan, keinginan-keinginan yang terlampau batas.
Tubuh dan Jiwa
KH. Machfoedz Shiddiq dalam bukunya “Risalah Puasa” yang baru-baru ini diterbitkan oleh Komunitas Pegon, dalam mukadimahnya beliau mengatakan bahwa: manusia adalah terdiri dari dua bangunan; jasad (tubuh) dan ruh (jiwa). Allah Swt. menggabungkan antara keduanya, padahal antara maziyahnya (tabiatnya) tubuh dan jiwa itu amat bertentangan.
Menurut beliau, kemaslahatan tubuh (jasmaniah) adalah hal-hal yang bersifat duniawi, seperti makan, minum, berkembang biak, ngiclik, dan sebagainya. Tubuh akan selamat ataupun sempurna, jika tubuh sudah memenuhi beberapa kebutuhannya itu. Untuk membantu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, maka manusia dilengkapi dengan berbagai pembangkit, atau yang umum disebut dengan “syahwat” yang kerjanya merangsang atau membangkitkan keinginan-keinginan. Jika tiada syahwat, maka manusia tak mungkin akan berselera makan, minum, berkembang biak, dan sebagainya. Maka, syahwat ini tak sepenuhnya buruk, sebab syahwat sangat menunjang keberlangsungan hidup manusia. Tanpa syahwat, jelas manusia akan binasa.
Menurut beliau, kemaslahatan tubuh (jasmaniah) adalah hal-hal yang bersifat duniawi, seperti makan, minum, berkembang biak, ngiclik, dan sebagainya. Tubuh akan selamat ataupun sempurna, jika tubuh sudah memenuhi beberapa kebutuhannya itu. Untuk membantu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu, maka manusia dilengkapi dengan berbagai pembangkit, atau yang umum disebut dengan “syahwat” yang kerjanya merangsang atau membangkitkan keinginan-keinginan. Jika tiada syahwat, maka manusia tak mungkin akan berselera makan, minum, berkembang biak, dan sebagainya. Maka, syahwat ini tak sepenuhnya buruk, sebab syahwat sangat menunjang keberlangsungan hidup manusia. Tanpa syahwat, jelas manusia akan binasa.
Demi memperlancar kinerja syahwat: membangkitkan dan mencapai keinginan-keinginan, maka syahwat dibantu dengan kawanannya, yang oleh KH. Machfoedz Shiddiq disebut dengan sifat "ghadlab" atau murka amarah. Ghadlab ini kerjanya menumpas segala sesuatu yang menghalangi perjalanan si syahwat. Ibarat suatu barisan laskar, ghadlab berada di barisan paling depan, memberantas jalan agar syahwat tak ada yang menghalanginya.
Sebagaimana barisan paling depan pada umumnya, yang butuh kawanan dan alat-alat untuk membantunya, seperti bom, meriam, tank, dan sebagainya. Begitupun juga ghadlab, ia juga butuh akan kawanan dan alat-alatnya. Beberapa kawannya, yakni: hasud, dendam, merusak, dusta, dsb. Dibantu dengan alat-alat: cara kerja akal, mata, mulut, tangan, kaki, dan sebagainya, dan seterusnya.
Begitulah kira-kira gambaran kondisi, kebutuhan, dan kepentingan jasmaniah manusia. Dikepalai dengan syahwat, diwakili oleh ghadlab, dan beranggotakan hasud, dendam, dan sebagainya.
Sebaliknya, adalah kebutuhan dan kepentingan jiwa manusia, yakni: keadilan, kebajikan, kejujuran, dan alhasil kesucian yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang benar-benar menduduki garis-garis yang telah ditentukan Tuhan, dan benar-benar menjadi khalifah, penduduk, pembangun, penjalan hukum, dan keadilan (KH. Machfoedz Shiddiq: 2024, 6).
Tampak jelas pertentangan antara tubuh dan jiwa manusia. Tubuh dilayani oleh syahwat dan dibantu dengan ghadlab lengkap dengan kawan dan alat-alatnya, sedangkan jiwa dilayani oleh keadilan, kejujuran, kebenaran, dan sebagainya, yang semuanya dikepalai oleh kesucian. Begitulah kira-kira kebutuhan dan kepentingan tubuh (jasmaniah) dan jiwa (rohaniah) manusia.
Perlawanan & Kesabaran
Dari penjelasan dinamika tubuh dan jiwa manusia di atas, maka hikmah yang dapat diambil adalah manusia harus benar-benar mengontrol dirinya, agar hidupnya tidak tunduk, dikendalikan, dan dikuasai oleh penguasa bajingan yang bernama "syahwat" ini. Saya katakan bajingan, sebab bila seorang tunduk pada syahwat ini, efek buruk yang ditimbulkannya bukan hanya sekedar pada diri pribadi yang menjalankannya saja, namun efeknya juga bisa merambah ke yang lain, atau bahkan sampai merugikan manusia yang lainnya. Maka, kedzoliman syahwat ini penting untuk dilawan, kalau perlu ditumpas mati-matian.
Memang, sebagaimana perjuangan perlawanan pada umumnya, dibutuhkan kesabaran yang khusus untuk terus konsisten memperjuangkannya.
Kesabaran, anda tahu? Kalau menurut Fahruddin Faiz, terdiri dari dua komponen. Ada sabar "dari" dan sabar "untuk". Yang pertama adalah "sabar dari" kondisi yang berada di luar kontrol anda. Misal, diri anda sabar ketika terkena musibah, sabar menghadapi teman yang nggerabus, dsb. Semua itu jelas, berada diluar kontrol diri anda. Sedangkan yang kedua adalah "sabar untuk" terus berjuang, berproses, menerobos, melawan, dsb. Semuanya itu dilakukan untuk hal-hal yang bisa dikontrol. Satu-satunya hal yang bisa dikontrol adalah diri sendiri.
Sebab perlawanan syarat akan kesabaran. Maka, bersabarlah. Sabar dalam hal "untuk" bukan sabar "dari". Kalau sabar "untuk" berarti anda terus berjuang melawan kedzoliman syahwat yang berada di dalam diri kita sendiri. Kalau sabar "dari" berarti anda tunduk pada kedzoliman syahwat yang terus menindas diri anda sendiri.
Sebagaimana negara yang dipimpin oleh orang yang dzolim, maka tatkala kita melawannya dibutuhkan aktivitas-aktivitas yang masif, seperti: aksi, kritik lewat media massa, demonstrasi, dan sebagainya, dan seterusnya. Begitupun juga tatkala kita melawan kedzoliman makhluk yang bernama syahwat ini, juga dibutuhkan aktivitas-aktivitas yang masif, salah satunya adalah berpuasa.
Yang saya maksud puasa disini adalah puasa yang sejatinya. Yakni menahan diri dari "segala" keinginan-keinginan yang melampaui batas, tidak adil, dan hawa nafsu yang menggiring manusia menuju jurang keburukan. Contoh paling kecil saja, seperti; menahan diri untuk tidak ghibah (rasan-rasan), berbohong, adu domba, korup, dan sebagainya.
Dan tak kalah pentingnya adalah menahan diri untuk tidak makan dan minum, ngiclik, dan berbagai hal yang membatalkan puasa. Sebab, menahan lapar itu juga termasuk perwujudan dari perlawanan. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa: "setan berjalan dalam manusia melalui jalan darah, maka sempitkanlah jalan darah itu dengan lapar."
Akhir qaul, "berpuasa adalah melawan".
Wallahu A’lam
Oleh: Hilmi Hafi
Posting Komentar