Pena Laut - Terdapat fenomena menarik yang menjadi sorotan dalam ajang pemilu 2024 di Indonesia, yaitu persoalan tentang nepotisme atau politik keluarga. Wajah politik bangsa berhasil disulap menjadi panggung keluarga bagi para aktor politik petahana. Kemampuan memanfaatkan celah demokrasi prosedural melalui pesta politik yang bernama pemilihan eksekutif dan legislatif merupakan bukti bahwa pemilu serentak berlangsung sangat ramah dengan para pejabat yang memiliki investasi politik, networking, dan capital modal. Dengan menggunakan 3 instrument tersebut, para incumbent akan berusaha mematangkan strata politiknya untuk mengupayakan pendistribusian keluarga dalam pos-pos struktural kekuasaan. Fenomena semacam ini bisa disebut sebagai “Rezim Keluarga” dalam ajang pemilihan umum yang dilakukan secara serentak di tahun 2024.
Politik keluarga hadir seiring dengan liberalisasi politik dan praktek politik desentralisasi. Menurut sebagian orang, politik keluarga merupakan fenomena biasa karena publik sendiri yang akan menilai kompetensi dan kelayakannya sebagai wakil rakyat. Tetapi, melalui landscape perspektif yang komprehensif, politik keluarga akan tumbuh secara liar dan brutal dalam electoral demokrasi. Mengapa demikian?, karena mereka yang diajukan pada bursa pemilihan adalah generasi penumpang yang berlindung dibalik kewibawaan dan popularitas keluarganya sebagai petahana, sementara dia sendiri secara politik masih belum punya apa-apa untuk ditawarkan kepada bangsa dan negara. Implikasinya adalah, kita sering mendengar anekdot pemimpin-pemimpin nasional, daerah, maupun lokal yang berada dalam bayang-bayang suami ataupun ayahnya kerap di panggil dengan sebutan “Pemimpin Boneka”.
Dalam skala nasional, kasus nepotisme sudah banyak dipraktikkan oleh kalangan elite politik. Salah satunya, yang marak diperbincangkan publik pada tingkatan pemerintahan eksekutif ialah tentang persekongkolan keluarga presiden Jokowi untuk memuluskan jalan pencalonan anaknya (Gibran) sebagai wakil presiden Prabowo Subianto melalui keputusan kontradiksi yang diputuskan oleh Anwar Usman selaku hakim konstitusi yang tidak lain adalah adik ipar presiden Jokowi. Anwar Usman telah terbukti melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan Sense of Etich sebagaimana tertuang dalam sapta karsa hutama, prinsip integritas, independensi, ketidakberpihakan, prinsip kesopanan dan kepantasan, serta prinsip kesetaraan dan kecakapan. Kongkalikong semacam ini jelas akan mengancam eksistensi dari demokrasi serta akan mereduksi habis sisi politik sebagai istilah seni dalam kompromi.
Praktik nepotisme selanjutnya juga dilakukan oleh Atalia Praratya istri dari seorang mantan gubernur Jawa Barat yakni Ridwan Kamil. Atalia yang baru satu minggu bergabung kedalam partai berlambangkan pohon beringin kini maju menjadi caleg DPR RI Dapil Jawa Barat 1 pada pemilu 2024 atas rekomendasi dari Ridwan Kamil itu sendiri. Meski diketahui, Atalia meraup suara tertinggi se Jabar daripada kontestan legislator lainnya. Hal tersebut bukan tentang persoalan menang atau kalah, melainkan fenomena tersebut menciptakan suatu kondisi segregasi politik yang begitu besar. Sebab proses kaderisasi para kader-kader partai golkar selama bertahun-tahun dipatahkan oleh istri Ridwan Kamil yang baru satu minggu bergabung dengan partai golkar dan langsung mendapat golden ticket untuk berburu kursi senayan.
Tidak hanya dalam cluster nasional, praktik nepotisme juga menarik untuk diamati pada tataran politik lokal. Salah satunya di daerah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah kota yang dijuluki Sunrise of Java sangat kental mempraktikkan nepotisme dalam proses demokratisasi. Pasangan suami-istri, anak-bapak turut berkontestasi memperebutkan kursi legislatif dalam arena pemilu 2024 baik dalam Dapil yang sama ataupun Dapil yang berbeda.
Di Dapil Banyuwangi 2, terdapat pasangan bapak dan anak yang bersaing memperebutkan kursi legislatif, ia adalah Michael Edy Hariyanto caleg petahana sekaligus ketua DPD partai Demokrat Banyuwangi dan anaknya A Dany Kurniawan caleg pendatang baru saling berebut kursi di Dapil yang sama. Tetap di partai berlambang mercy, di bagian lain terdapat pasutri yang berkontestasi dalam perebutan kursi legislatif, mereka adalah Yuseini dan Sunarko berada dalam penempatan Dapil yang berbeda. Yuseini maju di Dapil Banyuwangi 4 sedangkan Sunarko maju di Dapil Banyuwangi 5.
Di partai Nasdem juga terdapat hal serupa. Partai tersebut mengirimkan caleg suami-istri di Dapil yang berbeda yaitu Gunawan Satria Pratama yang sebelumnya seorang caleg petahana dari fraksi Demokrat maju di Dapil Banyuwangi 6. Sementara, istrinya Titis Meilika Wiyono maju di Dapil Banyuwangi 7.
Tidak berhenti disitu, fenomena serupa juga melibatkan pasangan suami-istri dari partai Golkar. Pasutri tersebut adalah Ruliyono seorang caleg petahana sekaligus ketua DPD partai Golkar Banyuwangi yang maju di Dapil Banyuwangi 6. Sementara istrinya Sri Yuliani seorang caleg pendatang baru maju di Dapil 7. Namun yang menjadi menarik bahwa kedua pasangan tersebut berpotensi kuat melenggang ke kursi DPRD Banyuwangi. Melihat hasil suara sementara yang didapat, keduanya memiliki perolehan suara terbesar daripada caleg lain dari sesama partainya.
Ketiga partai diatas hanyalah sebagai sampling dalam kasus praktik nepotisme. Sebab, sebetulnya jika diusut tuntas bisa dipastikan hampir seluruh partai politik yang turut andil menjadi bagian dari peserta pemilu memasang caleg yang memiliki keterikatan keluarga antar satu dengan pejabat politik lainnya. Dari beberapa ulasan data di atas, dapat dilihat bahwa maraknya praktik nepotisme masih melekat pada ketiak demokrasi di Indonesia. Difahami atau tidak, praktik nepotisme akan merusak simpul-simpul demokrasi, melebarkan peluang eksploitasi negara, serta memutus hubungan meritokrasi. Pemilu sebagai salah satu simbol demokrasi yang seharusnya menjadi jawaban atas segala problematika kebangsaan dan menjadi ecentrum terbaik mengalami resistensi yang begitu besar justru menjadi helatan ceremonial belaka.
Final statement dari penulis adalah bahwa semakin menguatnya kerangka nepotisme diperagakan maka akan semakin minim kesempatan masyarakat umum untuk terlibat dalam kontestasi politik. Sebab, politik telah dimonopoli oleh mereka untuk terus menguatkan hegemoni status quo yang memiliki popularitas, kuasa, dan capital besar.
(Ketua HMI Cabang Banyuwangi Bidang Partisipasi dan Pembangunan Daerah)
Posting Komentar