BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Hidup Cuma Sekali, Jangan Dibuat Repot Berkali-kali

Pena Laut
- Bulan suci Ramadhan. Mendengar kalimat itu, rasanya ada ambivalensi. Pertama, bahagia dengan kedatangannya. Kedua, terdapat perasaan yang resah untuk menjalankan perintah-perintah-Nya. Setidaknya dua hal itu yang dirasakan oleh setiap umat Islam. Sebagai hamba, juga sebagai manusia, mereka dihimbau untuk senantiasa melakukan hal-hal baik di bulan ini. Akan tetapi, bukan berarti kita melakukan kebaikan “hanya” di bulan Ramadhan. Justru, dengan adanya bulan yang penuh berkah ini, dengan melanggengkan kebaikan-kebaikan di bulan ini, output-nya nanti kita bisa terbiasa melakukan hal-hal baik di luar bulan Ramadhan, dan bahkan selama kita hidup di dunia.

Banyak orang yang sulit menerima bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang menyebarkan banyak sekali keberkahan. Utamanya, orang-orang yang memiliki pemikiran: “semua bulan sama aja, saya di bulan apapun tetap begini, kok”. Demikian itu contoh manusia, kalau dalam istilah Islam, yang kufur. Ia mengingkari, membelakangi, dan tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan (Allah Swt.). Padahal, sudah melimpah-ruah kenikmatan yang telah kita dapatkan, tapi tetap saja kita seringkali lupa untuk bersyukur. Momen di bulan Ramadhan ini, salah satu poin yang paling urgen ialah, bersyukur.

Untuk bersyukur, ternyata kita tidak harus mendapatkan give away atau doorprize dari seseorang yang berjumlah besar. Juga, kita tidak harus menunggu sebagian harapan-harapan kita terwujud pada saat ini. Tidak perlu terburu-buru untuk mewujudkan semua keinginan kita. Toh kita sudah paham tentang ini: Tuhan (niscaya) mempunyai kehendak baik atas kehidupan kita. Pertanyaannya, kapan? Kalau saran saya, jangan ditunggu. Lakukan saja apa yang menjadi aktivitas kita, nanti akan datang secara tiba-tiba. Tapi, intinya, kembali lagi: bersyukur.

Seorang kawan pernah berkata agak demonstratif mengenai syukur ini. “Gimana mau bersyukur, lha wong yang disyukuri aja ndak ada”. Kemudian saya menimpali: “lha, rokok, kopi, dan senyuman mbak-mbak yang sedang kita nikmati ini, terus apa kalau bukan sesuatu yang harus kita syukuri?”. Ia diam. Saya juga. Sebab, dari kita, tadi hanya bawa uang sepuluh ribu. Hanya cukup untuk beli kopi. Rokok yang kita hisap, itu dari teman lama yang ketepatan bertemu di kedai kopi. Dari dialog singkat itu, ada dua perspektif; syukur dan kufur.

Benar juga kata Pram yang mengatakan, hidup itu seimbang. Barangsiapa yang memandang pada keceriaannya saja, dia gila. Barangsiapa yang memandang pada penderitaannya saja, dia sakit. Memang, kalau orang sudah pernah mencicipi pahit-manis kehidupan, segala yang keluar dari mulutnya, bisa memberi pelajaran—semoga beliau bahagia “di sana”.

Secara aksiologis, bersyukur itu memberikan manfaat bagi kita pribadi dan individu. Besok waktu lebaran, misalnya, kita akan merasakannya. Pokoknya, kita benar-benar bersyukur. Bersyukur, karena kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan; bersyukur, karena kita mau memaafkan masa lalu. Biasanya, kita sulit memaafkan masa lalu. Sukar sekali dilakukan. Mengapa? Karena kita sendirilah yang “memilih” untuk tetap berada dalam kubangan masa lalu. Bagaimana cara agar kita keluar dari masa lalu? Jujur, ini tidak mudah. Tapi, saya akan coba sedikit memberi gambaran mengenai problem yang dihadapi oleh manusia-manusia yang sudah berusia di atas dua puluhan. Tentu, gambaran itu berkaitan dengan syukur yang saya bahas di awal.

Saya akan mengawalinya dengan ungkapan ini: “Kok, sulit sekali, ya, saya melupakan masa lalu. Sudah bertahun-tahun saya tidak bisa melemparkan masa lalu di tong sampah”. Ucapan itu saya ambil dari perkataan seorang kawan yang merantau di Jogja. Singkatnya, kami berdua ngobrol-ngobrol setelah sahur. Sambil menghisap sebatang rokok dan teh anget buatan orang Jawa Barat, kami saling menerima dan mengungkapkan sambatan—sepertinya hal ini lumrah bagi orang yang berusaha hidup di kota orang.

Konteks yang dia bicarakan mengenai masa lalu itu, secara hermeneutis, maksudnya: mantan kekasih. Ya, dia sudah berupaya sekuat tenaga untuk melupakan mantan kekasihnya, tapi seringkali nihil. Saya mendengar ceritanya, agak sedikit tercengang. Sebab, memang rumit juga dipahami kisah cintanya. Alhasil, saya mengutarakan pendapat tentang lupa-melupakan itu. Bagi saya, kita tidak akan benar-benar mampu melupakan masa lalu. Bahkan, bisa dibilang: kita adalah anak dari masa lalu kita. Ya. Karena masa lalu, kita ada hingga saat ini. Setidaknya, anggapan ini menjadi landasan kita untuk melangkah di etape berikutnya.

Kemudian, coba kita merubah diksi “melupakan” menjadi “mengikhlaskan”. Kedua istilah itu, selain secara semantik berbeda, maknanya juga tak sama. Kalau saya boleh memberikan masukan—meski sebenarnya saya tidak berhak melakukannya—kepada orang-orang yang bernasib sama seperti kawan saya itu, saya akan menganjurkan dia untuk berusaha ikhlas. Ikhlas pada apa? Ya, pada masa lalu lah. Nah, akhirnya muncul pertanyaan: bagaimana kita bisa ikhlas atau mengikhlaskan masa lalu?

Seperti yang saya bilang tadi, untuk menjawab pertanyaan itu, faktanya tidak sesederhana yang tertulis di buku-buku motivasi atau seindah quotes-quotes filsuf Yunani kuno, khususnya Stoisisme. Boleh saja, kita mencari bantuan orang lain. Tapi, jangan berpikir, bahwa solusi itu adanya dari orang lain. Jangan. Sekali lagi, jangan berpikir demikian. Sebab, sebenarnya, solusi itu ada pada diri kita sendiri. Filsafat Socrates, sederhananya, berbicara soal itu. Posisi orang lain itu tidak lain hanya sebagai pembantu saja; membantu agar kita menemukan solusi dalam diri kita. Atau, kalau bahasanya si Socrates: kebenaran.

Kendati demikian, ikhlas itu bisa dilatih. Bisa kita temukan juga pada hal-hal yang seringkali kita anggap remeh. Salah satu contohnya: kita selama ini ikhlas, kok, meghembuskan napas (menjadi karbon dioksida) setelah menghirupnya (dari oksigen). Kalau dipikir, sudah susah-susah menghirup, kok, dengan mudah dilepaskan begitu saja. Maaf, saya memang sengaja tidak memberikan amsal yang cenderung jorok seperti Buang Air Besar (BAB). Selain terkesan jorok, rasanya waleh (bosan) kalau contohnya itu-itu saja.

Dalam konteks “cinta-cintaan”, sebenarnya hal itu bisa dilakukan. Dipikir aja dulu. Misalnya, apakah mantan kekasih saya itu berpotensi kembali kepada saya? Jika tidak, buat apa repot-repot mengharapkannya. Nah, berarti pada fase ini, kita mau tidak mau, harus mengikhlaskannya. Untuk mengikhlaskan, tidak selalu dengan jalan “melupakan”. Bisa juga dengan “memaafkan” atau, “merelakan”. Pokok dia masih hidup, sehat, dan bahagia, itu sudah cukup. Tugas kita kemudian terus mendoakan mantan kekasih, selepas itu, kita harus fokus pada tujuan hidup kita. Dan, kalau bisa, perasaan gundah itu jangan disimpan sendiri. Ceritakan juga kepada sahabat. Kalau merasa tidak punya sahabat yang dapat dipercaya, ceritakan pada Tuhan. Kalau masih belum beres, ada pena dan kertas yang selalu setia menerima tulisan-tulisan galau dari kita.

Salah satu jalan untuk mengikhlaskan lainnya ialah, dengan bersyukur. Ini poin yang sangat penting. Apalagi, sekarang, kan, momen untuk meng-upgrade diri. Selalu mensyukuri apa yang kita punya, adalah salah satu cara agar kita terbebas dari belenggu masa lalu. Salah satu contohnya, begini: kita patut bersyukur atas “perpisahan” antara kita dengan mantan kekasih—tentu perpisahan ini bukan lantas bermusuhan. Mengapa? Sederhanannya, ada dua hal yang patu kita syukuri; Pertama, faktanya kita bisa, kok, menjalani hidup tanpa harus melulu bergantung pada seorang kekasih. Sebagai manusia, kita memang butuh orang lain. Tapi, makna “orang lain”, kan, tidak harus soal kekasih to? Hal ini perlu kita syukuri. Kedua, semesta (waduh! bahasanya sudah ndakik sekali, ya) telah menunjukkan sesuatu kepada kita: dengan perpisahan itu, kita bisa melihat dari kejauhan apakah mantan kekasih kita itu memang benar-benar pantas bersama dengan kita selamanya? Demikian juga patut kita syukuri.

Sudah, ya. Itu dulu. Kalau toh tulisan ini berbeda dengan apa yang selama ini pembaca pikirkan, itu wajar. Karena, dengan berbeda, kita bisa mensyukuri segala sesuatu; karena dengan tidak sama, kita bisa bersatu. Dan hal itu juga harus kita syukuri. Pokoknya, tema tulisan kali ini tentang syukur. Mengapa? Pikir saja sendiri. Hidup cuma sekali, jangan dibuat repot berkali-kali. Terakhir, sebenarnya setelah kita bereksperimen atau melakukan sesuatu, kata Thomas Edison, kita telah berhasil membuktikan sesuatu. Baik itu sesuai harapan kita atau tidak. Apa hasilnya? Ya, kita bisa membuktikan bahwa apa yang kita lakukan itu benar atau salah. Kalau benar, berati langkah kita sudah tepat. Kalau ternyata salah, kita sebenarnya sudah berhasil: membuktikan bahwa langkah kita kurang tepat. Jadi, tidak ada yang sia-sia terhadap apa yang kita lakukan. Dalam hal ini, saya berseberangan dengan Albert Camus dengan Absurditas-nya!

Semoga puasa kita lancar. Untuk semua pembaca, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Bahagia selalu. Sekian. Terima Kasih.



Salam saya,

Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak