Tambah kebingunganku.
Jika aku kafir, tambahlah kekafiranku.”
(al-Hallaj)
Pena Laut - Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang terlihat berbeda, berlawanan, seperti dua kutub yang selalu bertentangan. Jika melihat dengan sekelibat mata, memang iya. Sebuah pertemuan mengandung unsur kebahagiaan, tawa, dan suka cita lainnya. Sedang perpisahan cenderung dipahami dengan suasana sedih, tangis, dan penyesalan. Padahal, secara sinkronik, pertemuan dan perpisahan adalah dua bagian integral untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni. Dalam memandang kehidupan yang kompleks ini, kita perlu peranti yang cukup untuk memahami situasi dan kondisi yang dinamis di dalam realitas. Seperti yang menjadi uneg-uneg Herakleitos: tidak ada satu pun sesuatu yang tetap dan permanen di alam semesta.
Karena realitas objektif bersifat dinamis, maka pespektif yang kita gunakan juga harus beragam. Sederhana saja; prinsip-prinsip logis yang kita gunakan hingga sekarang, bisa jadi di masa yang akan datang sudah dianggap usang, klenik, dan tidak relevan lagi. Logika untuk menghasilkan proposisi yang rasional guna memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas, juga bersifat tentatif. Tidak ada kebenaran absolute. Tidak ada pernyataan yang pasti benar. Bahkan epistemologi dari para filsuf sekalipun. Setiap hasil pemikiran, harus bersedia dikritik, diverifikasi, dan di-falsifikasi—istilah Popper. Jika ia anti-kritik, buang saja di tempat sampah. Sebab, bisa dianggap, hal itu tak lebih dari “tumpukan sampah” yang justru menjadi sumbatan bagi perkembangan ilmu pengetahuan (science).
Sebagai insan yang tidak pernah puas akan pengetahuan baru, sudah semestinya kita belajar pada banyak hal. Belajar dari pengalaman seseorang, belajar dari kisah-kisah klasik, belajar dari fenomena yang tengah terjadi, dan belajar memahami diri kita sendiri. Untuk yang terakhir inilah tugas kita yang, bisa dikatakan, paling berat. Sebuah perjalanan panjang harus ditempuh, melalui poros jalan yang buram, dan rela berhadapan dengan persoalan yang membuat kita heran; baru saja saya selesai menuntaskan masalah, sudah datang masalah yang lain. Kendati demikian, faktanya tidak ada satu pun manusia yang dapat merombak hukum alam. Tidak ada. Mereka hanya bisa menentukan peradaban di masa yang akan datang. Menguasai manusia yang lain. Menghegemoni yang lain. Menundukkan yang lain. Hal ini dilakukan hanya untuk memenuhi birahi kuasa-nya semata. Tindakan tersebut tak lebih busuk dari air ludah yang keluar dari mulut penguasa lalim.
Begitulah hidup. Kata Ancika (2024): “Hidup adalah hidup itu sendiri. Apa adanya”. Ia (hidup) bisa menghantarkan manusia pada hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tubuh manusia terhempas jauh dari peredaran, dan membenturkan kepala manusia agar mereka sadar, bahwa selama ini mereka menyembah diri mereka sendiri. Tuhan hanya menjadi dalih agar mereka selamat dari penghakiman manusia lainnya. Kita sebenarnya tidak pernah benar-benar mau untuk belajar. Kita juga tidak pernah mau untuk mengakui kejumudan kita. Kita sering meludahi dunia dengan kepongahan, menginjak-injak bumi dengan kesombongan, dan seolah-olah tuli dengan tangisan alam semesta.
Kita, adalah seonggok daging sisa; sisa makanan para penguasa pula. Bedebah konsep abstrak egalitarian, demokratis, hak asasi, dan nilai-nilai perjuangan yang selama ini kita jadikan pijakan sekaligus acuan hidup, terutama hidup sebagai warga negara. Kata-kata magis itu gagah saat diucapkan, dan mlempem saat diaktualisasikan. Mengapa? Karena kita tidak diberi keleluasaan dalam menjalani kehidupan yang benar-benar merdeka. Kita sedang berada di dalam Panopticon—yang selalu diawasi, dibatasi, dan dipaksa kerdil. Faoucault pernah menyatakan, bahwa dalam mendisiplinkan tubuh terdapat teknologi kekuasaan yang bernama: Disciplinary Power. Konsep Disciplinary Power adalah upaya untuk mengawasi seluruh aspek yang ada dalam tubuh individu, seperti: tingkah laku, gaya penampilan, kecerdasan, hingga bagaimana ia lebih berguna. Mekanisme pengawasan terhadap hal tersebut, dalam Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan (2017), disebut Panopticon (penjara bundar) oleh Foucault.
Karena hal itulah, kita ditempa oleh kehidupan untuk senantiasa belajar dari hal-hal yang ada di sekitar kita—dari yang universal hingga yang partikular. Demi memetik pelajaran (ibroh) dari segala sesuatu, kita harus menggunakan akal sehat; pikiran yang jernih. Jika tidak, nantinya bukan hikmah yang kita temui, melainkan limbah. Iya, kalau mendapatkan limbah agak mendingan. Bagaimana kalau yang kita dapatkan justru fitnah? Mampus.
Saat kita membaca kisah al-Husain ibn Manshur al-Hallaj atau yang sering kita dengar dengan sebutan al-Hallaj. Kisah hidup yang dilalui al-Hallaj sungguh tragis. Kita bisa membayangkan, bagaimana al-Hallaj menyibukkan dirinya dengan Sang Khalik. Setiap detik kehidupannya hanya untuk ber-taqorrub ila Allah. Ali Syari’ati dalam tulisannya yang bertajuk An Approach to The Understanding of Islam (1979), mengabadikan sekelumit kisah hidup al-Hallaj sebagai berikut:
Hallaj, membakar dan terbakar. Ia tidak mempunyai tanggung jawab dan menyulut dan membakar. Apa yang ia bakar? Ia memegang kepala dengan tanganya karena cinta kepada Allah dan berjalan melewati jalanan di Baghdad seraya berteriak: pemberontakan telah mengambil-alihku. Bebaskanlah aku dari api yang membakar di dalamku. Tidak ada aku. Akulah Allah, artinya, Aku bukanlah aku dan segala yang ada adalah Allah. Al-Hallaj senantiasa tenggelam dalam api dzikrullah yang merupakan keyakinan tertinggi baginya.
Al-Hallaj adalah seorang sufi agung. Seseorang yang senantiasa memperteguh keimanan-nya kepada Sang Pencipta. Baginya, tasawuf ialah semacam revolusi untuk memperbaiki ruhani manusia dalam beribadah. Di sisi lain, tasawuf juga dipandang sebagai jalan “oposan” ketidakadilan dan memperbaiki moralitas masyarakat. Kendati demikian, banyak ungkapan al-Hallaj yang disalahpahami dan dijadikan alasan untuk menghukumnya. Misalnya seruan al-Hallaj: Ana al-Haq (Akulah Sang Kebenaran). Sampai saat ini, penghakiman terhadap al-Hallaj masih kontroversial. Ada yang menganggap, al-Hallaj dihakimi karena dakwahnya dirasa mengancam status quo para elit politik. Ada juga yang mengatakan, bahwa ia adalah agen Qarmathiyah yang sebagian besar ajarannya bertentangan dengan ortodoksi mayoritas Sunni kala itu.
Terlepas dari itu semua, kasus yang menimpa al-Hallaj sangat bernuansa teologis dan politis, sehingga ia dihukum mati. Di akhir hidupnya, ia harus menerima hukuman dengan diangkat ke tiang gantungan, kedua tangan dan kakinya dipaku, dicambuk ribuan kali, kemudian dipenggal kepalanya, dan dibakar. Kemudian abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan kepada khalayak. Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M. Orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut tak tahan hingga mengucurkan air mata. Itulah pembunuhan tragis yang sangat kejam di Baghdad, yang dikenal dengan “tragedi al-Hallaj” (Ma’sat al-Hallaj).
Kehidupan yang di-lakoni al-Hallaj perlu kita jadikan pelajaran dalam hidup. Tidak hanya mewarisi pemikiran tasawuf-nya saja, melainkan spirit al-Hallaj dalam menjaga dan membela kebenaran hingga akhir hayatnya dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan kita saat ini. Selain jalan spiritual yang dalam, keberadaan al-Hallaj juga menjadi antitesis dari kemapaman kekuasaan saat itu. Ia terus mendemonstrasikan kebenaran melalui caranya sendiri. Kita pun demikian; kita dapat melakukan sesuatu sesuai kemampuan yang kita miliki. Kita juga bisa seperti al-Hallaj, yakni “membakar” dan “terbakar”. Setidaknya, membakar semangat untuk meraih keberhasilan, dan terbakar semangat untuk terus konsisten melakukan hal-hal baik.[]
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
Posting Komentar