Pena Laut - Demokrasi adalah suatu sistem politik yang sangat banyak dianut oleh negara-negara dunia. Adalah Indonesia, negara kita ini, yang juga menganut dan menjalankan sistem demokrasi.
Dalam demokrasi terdapat beberapa hal yang menjadi pra-syarat berjalannya sistem politik demokrasi. Antara lain: Adanya penyelenggaraan pemilu yang bebas dan berkala; pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM); dan berkembangnya civil society dalam masyarakat. Berdasar dari hal tersebut, maka penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan dalam negara Indonesia.
Pemilu, dengan segala "tetek bengek"nya , sekarang ini lagi hangat-hangatnya diperbincangkan di berbagai kalangan. Mulai dari yang tua hingga yang paling muda, hampir semua tak luput memperbincangkannya. Pertemuan-pertemuan di gedung-gedung kelas, warung kopian, warteg, dsb. rasanya akan pahit jika tidak dibumbui dengan perbincangan seputar pemilu. Entah itu pujian atau kritikan pada salah satu calon.
Bagaimanapun kondisi yang demikian, saya kira patut kita syukuri, karena sudah mencerminkan praktik demokrasi. Bayangkan tatkala semua masyarakat berbincang soal politik atau pemilu dan segala tetek bengek nya, sontak bibir senjata aparat langsung berada tepat di kepalanya; atau ketika diskusi-diskusi, obrolan, ndakik-ndakik seputar politik ‘wa ahwatuha’ terbatas hanya dipersilahkan untuk memuji saja, tapi tidak dengan meng-kritik; kok mengkritik, siap-siap di-grebek para aparatur negara. Ah, tak enak sekali rasanya. Seakan demokrasi hanya sebagai—meminjam istilah Gus Mus—“stempel politik” saja, tetapi tidak dalam prakteknya.
Memang, kondisi yang demikian sudah pernah terjadi ketika masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Tapi itu dulu, ketika bangsa ini masih belum relatif demokrasi. Kalau sekarang, zaman nya beda lagi. Kalau seandainya sekarang para pemerintah bertingkah laku yang sama seperti zaman Orba dulu, maka rakyat—terkhusus jajaran para akademisi dan para intelektual—saya rasa “wajib” untuk memberi kritikan. Setidaknya kritik itu digunakan untuk membangunkan dari tidurnya. Kalau menurut Gus Mus: “Kritik adalah pupuk bagi kemajuan sistem apapun, termasuk sistem politik. Jika kritik dihambat, maka hilanglah kesempatan bagi sistem itu untuk memperbaiki dirinya sendiri.” Maka, jangan sampai kondisi pemilu saat ini terjurumus kembali sebagai stempel saja.
Ditengah masa akan berlangsungnya pemilu ini, tentu akan ada aktivitas-aktivitas politik. Misalnya: debat kandidat calon, desak-desakan calon, mendatangi Organisasi Masyarakat (Ormas) dsb. Semua itu, dimaksudkan sebagai media atau alat untuk mempromosikan diri agar mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat. Atau biasa disebut dengan aktivitas “kampanye”. Kampanye ini dibolehkan selagi tidak menyimpang.
Namun, dalam prakteknya, ternyata masih banyak juga aktivitas-aktivitas politik yang menyimpang. Tindakan penyelewengan baik dari pemain dan pendukungnya, kini kian merajalela, atau bahkan sudah menjadi aktivitas yang dianggap biasa saja (banal). Penyelewengan yang terjadi selama pemilu ini, yakni: putusan MK yang diubah dengan seenak jidat, layaknya segampang membalikkan tangan; rela menjual agama demi kepentingannya, dengan entengnya ia mengatakan “ndak milih iki, duso gede”, sudah seperti Tuhan saja; ketidaknetralan ASN, yang dengan gampangnya memihak terhadap salah satu calon; dsb.
Dengan serampangan mereka (para pemain dan pendukungnya) merubah tujuan besar diadakannya pemilu, yakni—terangkum dalam: "Merawat Indonesia", menjadi tujuan kecil saja. Tujuan besarnya berubah menjadi: memenangkan ajang pemilu. Sehingga, demi tercapainya tujuan itu, maka halal-lah segala cara. Landasan berpikirnya sudah geser menjadi bagaimana agar saya (si-calon) atau yang saya dukung (si-pendukung calon) bisa menang. Bukan lagi berdasar pada konstitusi-konstitusi dan nilai-nilai etika dan moral. Beginilah tindakan yang kerdil.
Saat para pemain atau pendukung, yang dengan gairah semangatnya menyuarakan ”kalau bukan 01 yang menang, negara akan di azab oleh tuhan; kalau bukan 02 yang menang, hancurlah negara ini; kalau bukan 03 yang menang, melaratlah negara kita.” Sikap yang seperti inilah yang kerdil sekali. Seakan-akan me”nuhan”kan manusia. Me”mutlak”kan yang sebenarnya masih ke”mungkin”an. Padahal kalau kata para ahli terdahulu: “Politik adalah seni segala kemungkinan”, tetapi mereka justru memperlakukannya sebagai seni sebuah kepastian.
Untuk menepis tindak semacam itu, saya rasa tepat jika kita sejenak refleksi dan bersikap skeptis (ragu) terhadap calon yang didukung. Supaya sikap yang melampaui batas, tak menjalar dalam diri. Sebab, sikap yang melampaui batas itu merupakan tindakan yang tidak waras, tak menyehatkan. Sebaliknya, sikap moderat lah yang paling pas. Sikap moderat adalah sikap yang benar dan baik, juga menyehatkan. Jangan sampai kita terjerumus dalam sikap melampaui batas kepantasan dan kewajaran.
Maka, saat mendukung salah satu calon, sisankanlah ruang—walau serambut—untuk sebuah keraguan: apakah calon yang saya dukung memang benar-benar seperti yang saya sangkakan? Atau justru sebaliknya? Apakah ia hanya sebatas memberi ilusi yang dibungkus dengan harapan yang menggairahkan? Dsb.
Sikap yang demikianlah, yang perlu diterapkan. Supaya, kemoderatan tetap terjaga, menghindar dari sikap melampaui batas, dan yang paling penting supaya kondisi negara kita ini tak terjadi permasalahan-permasalahan atau peristiwa-peristiwa yang tak enak diindera.
Sebagaimana ungkapan Gus Mus: “Godaan untuk tidak waras hari-hari ini memang sangatlah besar. Godaan ini ada pada kedua belah pihak sekaligus; pada pemain politik, dan juga pada penyorak politik. Masing-masing pihak mesti mengendalikan diri. Negeri ini akan bermasalah jika masing-masing pihak bertindak melebihi batas-batas kepantasan.” Sikap skeptis atau keragu-raguan sangat diperlukan sekali, untuk membantu mengendalikan diri, atau setidaknya menghindari diri dari perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, berlebih-lebihan.
Wallahu A’lam
Oleh: Hilmi Hafi
Posting Komentar