BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

NU & Peradaban: Menelaah Statement KH. Ahmad Mustofa Bisri


Pena Laut
- Sistem demokrasi memberikan konsekuensi yang panjang terhadap pola hidup masyarakat, setidaknya paradigma masyarakat kian bergeser. Pemikiran yang masih terjebak pada mitos akan luluh-lantak dengan sendirinya ketika kehidupan politik, misalnya, dituntut supaya demokratis. Sebagai masyarakat demokrasi, mereka harus “demokratis” sejak dalam pikiran maupun perbuatan. Demikian sederhananya.

Kita tahu, Indonesia adalah negara demokrasi. Bagaimana Indonesia terus merawat diversitas budaya masyarakat untuk menjaga legacy (warisan) yang selama ini menjadi spirit perjuangan bersama. Salah satu indikator yang paling eksplisit ialah adanya kemunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan maupun keagamaan. Seperti Nahdlatul Ulama (NU), misalnya. Kelahiran NU merupakan penanda sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Segenap ulama yang memiliki kesadaran akan pentingnya persatuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan memberikan kontribusi—sesuai dengan mazhab dan manhaj ulama—kepada kehidupan bangsa.

Sebagai organisasi, NU ternyata mampu menghadirkan angin segar bagi ketegangan-ketegangan politik di Indonesia. Belum lagi, kekuatan NU—secara struktural dan kultural—sangat kuat. Salah satu contoh, dinamika Muktamar NU ke-29 yang digelar di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun 1994. Bagaimana kekuasaan rezim Soeharto berusaha mengintervensi Muktamar, karena keberadaan NU kala itu sangat kritis terhadap rezim Orde Baru. Namun, akhirnya ketegangan tersebut dapat terselesaikan.

Seperti yang kita lihat sekarang ini, NU telah memasuki abad kedua. Tepatnya NU sudah berusia 101 tahun. Usia yang sudah terbilang tua; semakin tua usia, semakin berat tantangannya. Begitulah yang harus dipahami sebagai warga Nahdliyin. Berbagai hambatan dan sandungan pada saat di perjalanan, adalah hal yang niscaya. Jika tidak menyingkirkan gangguan di jalan (Imatotul adza ‘anith thoriq), kita masih bisa menghindari gangguan itu.

Berada dalam situasi politik seperti saat ini, sebagai warga NU (Nahdliyin) kita mempunyai tugas yang tidak bisa dianggap remeh. Selain menjaga kondusifitas Pemilu mendatang, kita juga harus tetap fokus pada grand oriented NU itu sendiri, seperti apa yang dikatakan KH. Ahmad Mustofa Bisri: Memenangkan Indonesia. Menelaah statement Gus Mus—sapaan akrab—tersebut agaknya sangat menarik. Statement yang cespleng dan humoristik. Apalagi, hal itu disampaikan pada saat pembukaan Konferensi Besar (Konbes) NU dan Halaqah Nasional di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

Sebenarnya, jika ditelaah dengan seksama, apa yang disampaikan oleh Mustasyar PBNU tersebut merupakan tambihun (pengingat) untuk PBNU, terkhusus Ketua Umum KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Sebab, hal itu telah ditulis oleh Gus Yahya dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2021: 94):

Harus dipahami bahwa baik mendirikan NU maupun mendirikan NKRI bukanlah “proyek” langsung jadi, atau seperti mincuki mindhik, kata orang Rembang. Semua itu adalah perjuangan merintis peradaban baru, sebuah proyek raksasa yang harus digembalakan mengarungi sejarah dan menembus bolak-baliknya zaman. Maka, nilai yang paling transenden dalam hal ini adalah cita-cita peradaban itu sendiri.

Cita-cita peradaban yang diperjuangkan NU sangat kompleks dan membutuhkan strategi yang tidak sederhana. Selama kepemimpinan Gus Yahya, PBNU terus mendemonstrasikan wacana peradaban dunia. Berbagai halaqah dilakukan untuk memacu pergerakan menuju peradaban tersebut. Melihat wacana tersebut, apakah dalam praktiknya, PBNU benar-benar melangkah ke sana?

Sebagai Nahdliyin, kita harus cermat membaca langkah-langkah yang dilakukan PBNU untuk tetap pada pendirian, yakni sebagai entitas yang mempunyai visi-misi besar perihal peradaban manusia dewasa ini. Namun, belakangan, kita dihebohkan dengan adanya isu yang datang dari elit NU itu sendiri menjelang Pemilu 2024. Perbedaan pendapat dalam tubuh NU, memang sangat lumrah dan bisa dikatakan sudah menjadi tradisi. Bagi kaum sarungan, perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu, yang dimaksud ikhtilaful ummah di sini harus berdasar; al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan kitab kuning (turots). Secara historis, kebijakan yang diambil oleh NU (para ulama) tidak bersifat ujug-ujug, melainkan harus sesuai dengan tradisi pesantren. Misalnya, kebijakan tersebut harus melalui pertimbangan fiqh, nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah, dan maslahah bagi umat. Setiap kebijakan yang diambil, pasti para ulama NU memberikan dalil-dalil yang mendukung kebijakan tersebut. Demikian tradisi NU.

Transparansi dan akuntabilitas PBNU perlu dikelola dengan baik, sehingga warga Nahdliyin tidak lantas kebingungan dalam memahami setiap persoalan yang terjadi. Seperti isu yang beredar baru-baru ini: PBNU diduga menginstruksikan struktur NU untuk mendukung Capres-Cawapres 02. Kabar itu diafirmasi oleh KH. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dalam kanal Youtube Putcast pada beberapa minggu lalu.

Gonjang-ganjing tersebut membuat Nahdliyin berada dalam kebimbangan. Pembahasan mengenai netralitas PBNU dalam Pemilu dipertanyakan. Sebagian cendekiawan NU, di Yogyakarta misalnya, membuat pernyataan sikap atas tindakan yang dilakukan oleh elit NU tersebut. Demi meminimalisir fitnah dan bias informasi, seyogyanya PBNU membuat konferensi pers atau klarifikasi terbuka atas isu yang beredar tersebut. Sehingga, tidak terjadi distorsi di kalangan masyarakat Nahdliyin secara umum.

Akhirul kalam, pernyataan KH. Ahmad Mustofa Bisri tersebut perlu di-tafakkuri dan diamalkan. Tugas “memenangkan Indonesia” lebih krusial daripada harus memenangkan Capres. Membangun peradaban jauh lebih penting, daripada harus hilir-mudik mengais suara untuk memenangkan Capres. Pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai yang termuat dalam Khittah NU ’26 perlu dirumuskan kembali, agar tidak terjadi anomali dan politisasi jam’iyyah Nahdlatul Ulama.


Oleh: Dendy Wahyu Anugrah (Anggota Lakpesdam MWC NU Purwoharjo, Banyuwangi)

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak