BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Golput dalam Tarikh dan Guyonan Fiqh Islam



Pena Laut -
Golongan putih (baca: Golput) bukanlah nama suatu partai politik. Namun dalam perjalanan enam kali Pemilu di Indonesia eksistensinya senantiasa membayang-bayangi pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Satu fenomena di tengah kehidupan demokrasi di Indonesia yang semakin menguat sejak Pemilu dekade 70-an, di mana Golongan Karya sebagai salah satu peserta pemilu yang bukan dari unsur parpol menjadi single majority. Genderang Golput semakin meningkat tatkala konsensus nasional menyepakati adanya fusi beberapa partai dalam PPP dan PDI, terlebih pada pemilu 1992. Sekedar ilustrasi, pada pemilu keenam tersebut terutama di Yogyakarta, banyak kalangan mahasiswa yang mengkampanyekan Golput sebagai sikap pilihan (ideologis) dalam menghadapi pemilu. Agaknya fenomena Golput masih terus terlihat ketika pemerintah masih menganggap bahwa pemilu tidak lain adalah ajang kontestasi keluarga dan semakin membiaskan demokrasi di Indonesia.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1985 yang mengatur pemilihan umum di Indonesia, sesekali tidak disinggung adanya Golput, namun ketika kita mencermati substansi undang-undangnya, Golput bukan Sesuatu yang mustahil terjadi kembali, karena secara eksplisit undang-undang tidak mengharuskan bagi warga negara untuk memilih atau dipilih. Sudah menjadi suatu kelaziman bahwa yang harus dilaksanakan itu adalah kewajiban, sedangkan hak merupakan wewenang prerogatif bagi setiap individu masyarakat Indonesia, secara tidak langsung, ini dapat dijadikan sebagai landasan kritik refleksi hermeneutis atas UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 515 yang terkesan intervensi. Lantas bagaimanakah Islam memandang sikap demikian itu?

Dalam Islam, diskursus Golput atau Pemilu secara umum jarang digagas oleh para Fuqoha’. Bahkan fiqih siyasah (pranata politik) pun belum pernah muncul sebelum Ibnu Taimiyah (w 728 H\1328 M) melontarkannya. Kondisi ini bukan hanya di monopoli oleh Islam, tetapi juga dunia secara universal, tidak terkecuali negara-negara Eropa. Meskipun demikian, hadirnya Khulafaur Rasyidin sebagai pengganti kepemimpinan Rasulullah SAW dalam urusan pemerintah kalau dikritisi banyak indikasi-indikasi yang mencerminkan nilai yang bercorak demokratis. Maka kita bisa ber istidlal akan relevansi Pemilu atau Golput dalam wacana tarikh Islam era klasik.

Dalam catatan historis, wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H \ 632 M sempat menggoncangkan umat Islam. Polemik yang timbul adalah ketika para sahabat mulai masuk kepada permasalahan tentang siapa sebenarnya yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad dalam sisi pemimpin pemerintahan. Maka benih-benih fanatisme golongan mulai tumbuh, golongan Muhajirin dan Anshar, sebagai dua kekuatan yang besar saat itu sama-sama menginginkan kursi kekhalifahan. Perdebatan dan ketegangan sempat terjadi ketika prosesi suksesi secara sederhana berlangsung di Saqifah Bani Saidah yang finalnya memunculkan nama Abu Bakar sebagai khalifah I. Harus diakui, bahwa naiknya Abu Bakar dalam konstelasi perpolitikan dalam dunia islam memiliki arti yang sangat monumental bagi sistem kenegaraan bangsa-bangsa dunia saat itu. Nilai-nilai yang diterapkan mencerminkan suatu system yang demokratis, sekaligus menepis upaya penerapan ala monarki. Pembaiatan yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam saat itu kepada Abu Bakar, secara tidak langsung mengindikasikan legalitas kedaulatan rakyat, sehingga meskipun belum diadakan pemilu secara langsung, konsensus golongan Muhajirin dan Anshar dalam beberapa hal yang secara ontologis tidak jauh berbeda dengan pemilu yang kita ketahui sekarang.

Pada masa Abu Bakar hingga Utsman, perjalanan suksesi kekhilafahan umat Islam belum menampakkan adanya golongan yang abstand atau golput. Fenomena yang berkembang justru muncul sikap-sikap Oposan dari beberapa kelompok yang tidak respect terhadap sikap khalifah. Beberapa fitnah kepada Khalifah Usman misalnya, khalifah ke III ini menemui ajalnya atas konspirasi elite Oposan, sebagai bukti konkrit bahwa sikap Oposan yang sudah mencapai titik kulminasi. Barulah ketika memasuki periode di mana Ali Bin Abi Thalib naik ke kursi kekhalifahan, tepatnya saat meletus fitnah Al Kubro (malapetaka yang dahsyat) di kalangan umat Islam, lahir satu golongan yang memiliki karakter dan berpotensi sebagai golput. Pemicu malapetaka jika ditelaah (secara komprehensif) berawal dari Zuber dan Thalhah yang memobilisir pasukan dari Basrah, Kufah dan Makkah, untuk melawan dan menampakkan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib. Perang Jamal tidak bisa dihindari dan inilah perang pertama kali yang melibatkan antar sesama umat Islam berhadapan dalam satu front peperangan. Perselisihan semakin meruncing manakala Zubair dan Thalhah mendapatkan dukungan secara fisik dari Umm al mu’minin Siti Aisyah.

Ketika perselisihan semakin memanas, muncul satu kelompok yang dimotori oleh Abdullah Ibnu Umar yang memilih sikap abstain. Mereka membentuk poros tengah dengan tidak ikut serta dalam pertempuran, baik untuk membela khalifah Ali Bin Abi Thalib, maupun menyokong gerakan Zubair. Performance Abdullah Ibnu Umar dalam banyak hal bisa dikategorikan sebagai sikap golput, mereka merasa tidak terwakili sama sekali oleh kedua faksi yang bertikai. Ikut dipihak Ali Bin Abi Thalib dengan memerangi Umm al-mu’minin itu berarti menumpahkan darah saudara seiman, begitu pula sebaliknya. Dalam posisi serba sulit tersebut, sampai-sampai Abdullah Ibnu Umar sempat memberikan statement politik:

“Demi Allah kami tidak mengerti apa yang harus kami lakukan, persoalannya benar-benar dilematis, pelik (mutasyabih) bagi kami, karena itu kami diam saja.”

Sikap Golput dalam Islam juga menyublimke dalam sisi teologis, di tengah-tengah pertentangan antara berbagai aliran mazhab yang ekstrem. Khawarij dengan begitu mudah mengkafirkan orang mukmin yang berbuat dosa besar. Syiah mengklaim dirinya yang paling berhak atas kursi kekhalifahan. Sementara Ahlussunnah Wal Jamaah memandang orang mukmin yang berbuat dosa besar masih tetap dalam bingkai Mukmin. Dari blunder pemikiran ini, kemudian muncul satu kelompok pemikiran yang bersifat abstain. Adalah Murji'ah, satu paham yang tidak memberikan sikap pasti terhadap pelaku dosa besar. Dalam arti: Apakah mereka tetap mukmin atau kafir? mereka beralasan permasalahan ini sebenarnya sudah masuk dalam otoritas ketuhanan, berarti keputusannya menunggu nanti di akhirat yang akan dihakimi oleh Al-Hakim Allah SWT.

Walhasil, sebagai upaya untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Pemilu merupakan suatu keharusan bagi kontinuitas pemerintahan yang konstitusional sebagai pengatur urusan regulasi kaum muslimin (baca: rakyat). Disamping sebagai usaha mengaktualisasikan kaidah "maa la yatimul wajib Ila bihi fahuwal wajib."

Meski demikian, patut digaris bawahi, bahwa secara fardiah (privasi) hak pilih warga negara tidak bisa diganggu gugat. Mereka bisa menyalurkan hak tersebut sesuai dengan hati nurani sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat. Tidaklah dibenarkan (baca:haram) adanya upaya-upaya pemaksaan kehendak untuk menyalurkan intervensi sikap politik kepada individu ataupun sikap Golput kepada individu. Begitupun sebaliknya, karena itu pencoblosan bagi seorang warga negara itu mandub saja, atau paling tidak fardhu kifayah.

Oleh: Mahasin Haikal Amanullah
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak