Pena Laut - Paradigma yang menangkap realitas kehidupan masyarakat harus sama, seragam, dan homogen telah menemui “ajal”-nya pada awal abad ke-20. Segala entitas yang beku, fixed, dan absolute dihadapkan pada epistemologi yang berusaha untuk mencairkan dan melumerkan, sehingga pada saat ini, pluralitas dan heterogenitas menjadi karakteristik yang tidak bisa diabaikan, atau bahkan ditanggalkan begitu saja. Dalam Islam mafhum mengenai hal ini, salah satunya ialah khilafiyah (perbedaan pendapat, interpretasi, dan sikap). Dengan ikhtilaf yang terjadi dalam menyingkap persoalan, manusia tentu menggunakan seperangkat metodologi yang beragam. Akhirnya, menghasilkan pemahaman dan wawasan yang utuh dan sublim.
Secara historis, berbagai tamsil telah kita ketahui, terutama dalam sejarah Indonesia. Bagaimana Ir. Sukarno berselisih pendapat dengan kawan-kawannya—yang dulu pernah bersama-sama belajar pada H.O.S Cokroaminoto—seperti Kartosuwiryo dan Semaun. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh ketiga tokoh tersebut berimplikasi pada situasi dan kondisi Indonesia hingga saat ini. Suatu hal yang eksplisit ialah perbedaan ideologi (Nasionalis, Komunis, dan Islamis). Lebih lanjut, dalam tubuh organisasi yang didirikan oleh para kiai pada tahun 1926 pun juga demikian, yakni Nahdlatul Ulama. Keberadaan NU tidak bisa dilepaskan dengan hiruk-pikuk yang terjadi pada masa Imperialisme-Kolonialisme, atau pada masa penjajahan. Respon ulama terhadap perilaku penjajah, adalah satu dari berbagai indikator mengenai hubbul wathan-nya para kaum sarungan kala itu. Bahkan, perjuangan kaum sarungan ditandai dengan adanya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 dan memuncak di Surabaya pada 10 Nopember 1945 yang kita kenal dengan sebutan Peristiwa 10 November—dan selalu kita peringati setiap tahun.
Melihat beberapa fakta historis di atas, memberikan seonggok pengetahuan bagi kita, bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus dihindari, ditanggalkan, atau bahkan dihilangkan. Jika terdapat pemikiran yang demikian, agaknya perlu segera diwaraskan, atau membutuhkan asupan literatur yang dapat memberikan kesegaran bagi pemikirannya. Sebab, selain jargon “Empat sehat-Lima sempurna”, kita sangat membutuhkan nutrisi intelektual, bukan asam sulfat! Sehingga budaya masyarakat yang toleran dan inklusif akan tetap berjalan harmonis sebagai manifestasi dari pemahaman kita terhadap perbedaan. Namun, bukan berarti ikhtilaful ummah tidak memiliki konsekuensi dan implikasi sama sekali. Konsekuensi yang memiliki dampak terhadap pandangan masyarakat perlu menjadi concern kita bersama dalam menyikapi perbedaan pendapat para pemimpin, misalnya.
Belakangan ini, kita dipertontonkan oleh beberapa fenomena yang mencengangkan dan mengernyitkan dahi kita. Situasi dan kondisi Indonesia saat ini, sepertinya tengah di-ubek-ubek oleh segelintir elite politik. Hal ini berimplikasi pada elemen-elemen yang ada di dalamnya. Salah satu contohnya di kalangan Nahdliyin. Bagaimana para elite NU (baca: NU struktural) berbeda pandangan dengan salah satu Par-Pol yang dulu juga lahir dari rahim NU, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara gamblang, kita dapat melihat fenomena Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) dan Cak Imin (Ketua Umum PKB) tengah berbeda pandangan mengenai politik, khususnya tentang PKB dan NU.
Untuk melihat bagaimana keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang PKB dan NU, agaknya perlu uraian ringkas dan jelas. Dan, juga membaca seberapa besar pengaruh ikhtilaf tersebut terhadap warga Nahdliyin akar rumput. Dua pembahasan ini yang akan menjadi fokus pembahasan. Namun, sebelumnya, sudah sepatutnya kita membaca surah al-Fatihah terlebih dulu untuk memulainya. Al-fatihah.
Gus Yahya dan Cak Imin: PKB dan NU?
Kita tahu bagaimana sejarah mencatat, bahwa PKB tidak akan pernah terpisah—secara kultural dan ideologi—dengan NU. Semua juga sudah tahu, meski tidak secara struktural, NU (lebih tepatnya beberapa tokoh NU) ikut serta dalam pembentukan partai tersebut. Setelah Soeharto atau—meminjam istilah Gus Mus—Raja Orba lengser dari tahtanya, inisiatif untuk mendirikan partai di kalangan Nahdliyin mulai tampak di permukaan. Seperti yang tersimpan rapi dalam Gus Dur Garis Miring PKB (2008) karya KH. Mustofa Bisri (Gus Mus):
“Setelah Pak Harto lengser, sorak-sorai kebebasan pun membahana di seantero Nusantara. Yang kemarin-kemarin sembunyi-sembunyi, pada bermunculan. Yang tadinya tiarap, bangkit. Yang selama ini sakit gigi pun kemaruk unjuk gigi. Maka, siapa yang akan menyalahkan bila kemudian orang-orang NU—terutama yang menyadari bahwa NU pernah lumayan sukses dalam politik—ingin mendirikan partai.”
Akhirnya, dengan segala upaya yang dilakukan oleh sekelompok orang NU yang mempunyai orientasi dalam pembentukan partai, melewati berbagai pertimbangan, musyawarah, meminta restu para kiai, hingga keputusan membentuk Tim Lima dan Tim Asistensi, partai baru pun dideklarasikan pada 29 Rabiul Awal 1419 Hijriyyah atau 23 Juli 1998 di Jakarta.
Tentu, pendirian partai yang memiliki karakteristik, nilai, dan kultur yang sama dengan NU—bahkan secara struktural, PKB dibuat mirip dengan NU; terdapat Dewan Syura dan Dewan Tanfidz—ini tidak lantas berjalan mulus bagaikan pipi mbak-mbak Fatayat. Perjalanan yang penuh rintangan dan berbagai problematika internal maupun eksternal terus dihadapi oleh partai yang diinisiasi oleh Gus Dur ini. Sehingga, tak jarang, hubungan NU (struktural) dan PKB terlihat tidak harmonis, tidak simetris, dan cenderung mbalelo.
Contoh yang dapat kita ambil saat ini ialah, perbedaan pendapat Gus Yahya dan Cak Imin dalam memandang tetek-bhengek soal PKB dan NU—secara lebih luas, menyangkut kontestasi politik mendatang. Gus Yahya berpendapat bahwa, memang secara historis, PKB didirikan oleh kaum Nahdliyin dan juga atas peran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Namun, dalam perkembangannya, secara struktural, NU tidak memiliki hubungan erat dengan partai manapun, terkhusus PKB. Pandangan Gus Yahya ini, jika dilihat dengan seksama, agaknya Gus Yahya meneruskan pandangan Gus Dur tentang NU tehadap politik praktis; secara kelembagaan, NU tidak ikut-ikutan politik praktis; NU membebaskan hak pilih masyarakat Nahdliyin untuk memilih dan mendukung siapapun. Hal ini dapat dilihat dalam NU Memasuki Abad Modern (1986) tentang warga NU bebas menyalurkan aspirasi politiknya. Secara eksplisit dan dengan gaya retoris-humoris Gus Dur, beliau mengatakan:
“Lho, terus terang saja, mau Pemilu nanti ditanya, ‘bagaimana?’. Yah, terserah! Sampeyan ndak wedi dhemit, kono ono wit ringin! Lho, nek sampeyan kepingin moco Qur’an nganggo lentang tok nggak pakai lampu, nyobloslah PPP. Lho, kalau sampeyan ingin kumpul banteng, silahkan ndak apa-apa di PDI. Sing dipenging iki kumpul kebo, bukan kumpul banteng. Jadi enak toh kita? Karena politik yang langsung itu, sudah urusannya warga NU, bukan urusannya NU sebagai organisasi.”
Apalagi, di awal kepemimpinan Gus Yahya, beliau menyerukan gerakan “Menghidupkan Gus Dur” untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang dulu diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya. Dapat dikatakan, Gus Yahya adalah salah satu kader Gus Dur yang saat ini di dalam kelembagaan NU mencoba untuk “mengembalikan” dan memfokuskan orientasi NU kepada peradaban bangsa, bahkan dunia. Sekelumit pemikiran Gus Yahya mengenai hal tersebut dapat ditelusuri dalam karya beliau yang bertajuk PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020). Di sana kita akan diperlihatkan gagasan-gagasan yang berfokus pada kerja-kerja peradaban dunia, tentu dengan spirit dan nilai NU yang selama ini kita pegang teguh.
Sedangkan, pandangan Cak Imin—sudut pandang dari PKB—justru masyarakat Nahdliyin juga harus berperan, ikut serta, dan memberikan aspirasinya pada partai yang dulu didirikan oleh para tokoh dan politisi Nahdliyin. Secara tegas, Cak Imin dan para pendukungnya, mengatakan bahwa PKB dan NU seperti dua mata uang; PKB itu NU, NU itu PKB. Lebih jauh, beberapa kiai yang dulu juga ikut mendedikasikan diri dan berperan penting dalam pendirian partai yang didirikan pasca-Orba itu menandaskan bahwa PKB-NU itu “huwa-huwa” (mengistilahkan keduanya dalam isim dhomir) yang berarti PKB adalah NU dan NU adalah PKB.
Belum lagi ikhtilaf antara Gus Yahya wa ashabih dan Cak Imin wa akhwatuhu terlihat dibentur-benturkan oleh media dan cenderung dianggap sebagai perselisihan tanpa ujung. Atau, memang sosok keduanya dari dulu sudah ndak klop, wallahu a’lam. Dari perselisihan pendapat tersebut, kita dapat melihat bagaimana dialektika terjadi di kalangan Nahdliyin. Itu baru para elite-nya, belum nanti di rumpun NU yang sebenarnya sebagai faktor penguat dan penjaga legacy yang telah diperjuangkan oleh para ulama. Sehingga, perbedaan pendapat—dengan disertai media yang terus memberitakan kepada publik—tersebut memiliki pengaruh bagi masyarakat, khususnya warga NU—yang konsisten tahlilan, istighosah, manaqiban, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Pimpinan Beda Pandangan, Nahdliyyin Kelabakan
Perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya dan cenderung bersifat momentum tersebut, jika dilihat dengan seksama, memberikan dampak yang tidak bisa dianggap remeh. Memang, ikhtilaf itu rahmah. Tapi, jika dipikir-pikir, tidak semua ikhtilaf itu membawa rahmah dan maslahah juga. Seperti saur-manuk yang dilakukan oleh Gus Yahya dan Cak Imin di media massa, acara tertentu, atau saling lempar sana-sini dengan statement yang terkadang membingungkan warga NU secara umum. Dulu Gus Mus juga pernah membuat tulisan satire, renyah, dan tentunya dengan balutan humor khas tentang PKB yang oleh beliau dijuluki “Partai Khusus Berkelahi”.
Memang sudah dari dulu PKB dan NU (struktural) memiliki ketegangan syaraf yang tak berkesudahan. Apalagi, dengan persengketaan dalam tubuh PKB kala itu yang sampai saat ini masih tertanam dan tergambar jelas di pikiran muhibbin, santri, dan orang-orang yang dulu PKB nyell. Perhelatan itu adalah kubu Mathori Abdul Djalil dan kubu Gus Dur. Perihal bagaimana konflik yang terjadi waktu itu, rasanya perlu menelusuri literatur lebih lanjut. Ada beberapa kekhawatiran saat menelaah fenomena perdebatan Gus Yahya dan Cak Imin tersebut, terutama dampak yang dirasakan warga NU secara umum.
Pertama, warga NU yang berjuang di wilayah akar rumput dibuat bingung dan linglung oleh para elite NU dan PKB. Sebab, perdebatan panjang antara mereka berdua memberikan pengaruh bagi keharmonisan dan gotong-royong warga NU yang telah dilakukan bersama selama ini. Kekakuan Gus Yahya dan karepe Cak Imin itu harus segera diselesaikan, setidaknya warga NU diberikan pemahaman yang rasional dengan adanya perbedaan pendapat tersebut—tak jarang keduanya juga saling sindir satu sama lain, langsung atau tidak. Mbok, ya, seharusnya warga NU tidak dibuat bingung seperti sekarang ini. Misalnya, ada yang ikut pendapatnya Gus Yahya, tapi mereka ingin juga berpartisipasi di PKB. Atau, ada yang sepakat dengan Cak Imin, tapi ia tidak sampai hati mengabaikan statement Ketua Umum PBNU, karena setiap kali Pemilu pasti ikut arahan PBNU. Nah, demikian harus segera dicari langkah-langkah yang solutif, agar masyarakat NU tidak tunggang-langgang dan cenderung di-obat-abetke oleh para elite PKB dan PBNU.
Kedua, pandangan boleh berbeda, tapi tujuan harus tetap sama. Mau siapapun dia, apapun status sosialnya, kok, mereka khidmah di NU, harusnya bisa melebur di NU. Paradigma egaliter tetap menjadi ciri khas NU yang eman kalau sampai mengalami erosi. Dengan demikian, kita dapat mendudukkan persoalan dengan lebih mudah. Karena, jika masih memiliki sikap bahwa pandangannyalah yang benar, selain daripada itu salah. Bisa momprot lama-lama. Mentalitas kita dihadapan NU seyogyanya tidak lain adalah khidmah kepada para ulama, ngenger demi peradaban, dan untuk mewujudkan mabadi khaira ummah. Titik. Seperti salah satu kaidah fiqh yang sangat erat dengan khazanah pemikiran Nahdliyin, yakni Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah.
Ketiga, jika terdapat problem historis yang belum selesai bayna PKB wa NU, atau lebih tepatnya problem personal yang nggeret-nggeret kedua lembaga tersebut, apa tidak bisa direkonsiliasi. Sejauh ini, lempar sana-lempar sini membuat warga NU kelabakan dan banyak yang belum bisa mendiferensiasi informasi yang memuat PKB-NU. Warga NU cenderung masih gebyah-uyah, masih terdapat fanatisme buta terhadap pendapat dan langkah-langkah para elite NU maupun PKB. Hal ini perlu dibenahi. Sebab, jika tidak, akan terjadi distorsi yang justru membahayakan kehidupan sosio-kultural warga NU itu sendiri.
Siapapun yang mengoyak-oyak NU, semoga segera enyah dari tubuh mulia NU. Siapapun yang nguri-nguri NU dengan tanpa pamrih, semoga dapat memberikan maslahah bagi umat. Semoga segala ikhtiar kita membuahkan hasil yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini kita perjuangkan bersama. Al-fatihah.
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah (Santri Mukadimah Institute)
Posting Komentar