BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Memayu Hayuning Kampus

Memayu Hayuning Bawono, Kampus IAI Ibrahimy, Ibrahimy Kapan Nambah Gedung, Alasan Pembangunan Kampus

Pena Laut
- Di telinga kita sudah tak asing lagi dengan yang namanya pepatah (terutama pepatah Jawa), sering kali kita melihat beberapa penggalan pepatah di media sosial. Bahkan tak hanya di media sosial, kerap kali mendengarnya lewat guyonan, terlebih lagi di tongkrongan, yang membahas apa saja tanpa terpaku satu tema.

Masyarakat Jawa memiliki sebuah pepatah yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh mereka, yaitu Memayu hayuning bawono. Konsep memayu hayuning bawono dapat dimaknai dari kata memayu, yakni mempercantik dengan maksud memperindah segala sesuatu yang sudah ada. Dalam hal ini yang dimaksud mempercantik, yaitu, mempercantik hayuning bawana (cantiknya dunia dan seisinya).

Judul di atas merupakan plesetan dari pepatah Jawa – memayu hayuning bawono menjadi Memayu Hayuning Kampus. Menurut penulis, istilah bawono dan kampus (skala makro mikro) keduanya memiliki kesamaan, sama-sama haruslah dijaga dan bila perlu memperindahnya. Di sini penulis menegaskan kembali, memperindah bukan hanya bentuk fisik, tetapi juga isi yang terkandung di dalamnya.

Jika kita melihat kampus kita tercinta—IAI Ibrahimy, apa yang harus diperindah?. Mungkin, jawaban demi jawaban mulai bermunculan, ketika kita menanyakan perihal kampus. “Seharusnya, kampus memberikan ruangan kelas yang layak kepada para mahasiswanya, beberapa kali saya ditempatkan di aula, hanya dibatasi dengan triplek. Apalagi kelas yang sering pindah, aku merasa seperti manusia nomaden”, keluh kesah yang terdengar ketika penulis menanyakan perihal kampus dari salah seorang mahasiswa IAI Ibrahimy. Dari sebuah contoh argumen di atas, terlintas di benak mengurai beberapa tanya, mungkinkah banyak mahasiswa di kampus IAI Ibrahimy merasakan hal demikian? Alhasil, beberapa obrolan dengan mahasiswa yang berkecimpung di IAI Ibrahimy melontarkan pandangan yang hampir sama. “saya berharap mendapatkan kelas yang layak”, “saya berharap para tenaga pendidik memberikan pemahaman kepada kami”, “saya berharap....”, “saya berharap...”.

Sekilas rangkuman keluh kesah mahasiswa yang hadir hari ini. Lantas kenapa tidak memberanikan diri untuk mengutarakan permasalahan itu kepada para birokrat (pimpinan rektorat)?, “saya takut, nanti nilai saya dipengaruhi”, “saya sudah menanyakan masalah kampus, tapi tetap saja tidak ada perubahan, sepertinya mereka tutup mata dan tutup telinga”, dan beberapa jawaban yang hampir sama, terkhusus kegiatan belajar mengajar yang dirasa masih kurang.

Penulis melihat kondisi kelas yang tidak dialogis, antara dosen (subjek) dan mahasiswa (objek), sebuah terma pendidikan yang memosisikan para mahasiswanya sebagai objek yang harus diisi dengan seonggok ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh dosen sebagai subjek. Tidak adanya proses uji coba melalui proses dialog atas ilmu pengetahuan yang disalurkan oleh tenaga pendidik dalam ruang kelas atau perkuliahan, akan menghasilkan mahasiswa berada dalam zona nyaman. Dari fenomena mahasiswa yang terbelenggu oleh zona nyaman tersebut, akan melahirkan para mahasiswa yang sempit pemikiran dan tidak sadar akan eksistensinya sebagai subjek, demikian tentunya bergeser daripada konsep pendidikan sebagai pembentukan pribadi mahasiswa.

Dunia perkuliahan pada umumnya adalah sebuah usaha sadar manusia dalam memahami sesuatu. Dalam ruang kelas misalnya, proses pembentukan karakter mahasiswa akan tumbuh jika metode story telling dalam penyampaian bahan ajar oleh para dosen, diubah menjadi proses dialogis yang sarat keterbukaan dan keterlibatan secara aktif antara dosen dan mahasiswa dalam membumikan ilmu pengetahuan sebagai objek.

Dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, magnum opusnya Paulo Freire, ia mengemukakan metode pendidikan berpola dialog. Seorang pemikir pendidikan yang berdiri di atas jalur kritis, pendekatan kritis ala Freire lebih menekankan pada penumbuhan sikap kritis dan kreatif mahasiswa. Mahasiswa tidak dipahami sebagai objek tersendiri yang harus diisi dengan kumpulan ilmu. Namun, mahasiswa harus dianggap sebagai subjek yang dilengkapi kemampuan untuk mengubah realitas yang dihadapinya ke arah yang lebih baik. Pendidikan yang memosisikan mahasiswa sebagai objek sama dengan memperbodohnya sehingga tidak terjadi perkembangan kesadaran.

Fenomena mahasiswa yang diposisikan sebagai objek dalam perguruan tinggi, merupakan cerita monumental yang sampai detik ini masih dilakukan dengan begitu ciamik oleh para dosen. Tentunya pendidikan model ini harus diakhiri, karena hal ini yang akan melahirkan pribadi yang kehilangan jati diri bukan pribadi yang sadar akan tujuannya.

Oleh karena itu, model pendidikan saat ini diharuskan menjadi ruang penyadaran manusia agar di kemudian hari para individu yang pernah mengenyam bangku perkuliahan mampu menerjemahkan konstruksi ilmu pengetahuan dan memasuki realitas sosial yang berperikemanusiaan, maka perlu kiranya pembelajaran dalam ruang perkuliahan tidak monoton pada perkara dunia yang memikirkan untung-rugi melainkan menghadirkan pembelajaran yang tidak terlepas daripada kenyataan sosial sehingga melahirkan mahasiswa yang tidak terkena virus oposisi biner dan tidak anti sosial.

Oleh: Alfan Hidayatullah  

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak