Kritik Seni Rupa di Banyuwangi
Pena Laut
... menit baca
Dengarkan
Pena Laut - Bagaimana kritik seni rupa di Banyuwangi bertumbuh? Kering dan Hambar, ibarat sayur tanpa garam. Saya mencoba lebih spesifik memaparkan terkait kritik seni yang menyertai peristiwa seni rupa di Banyuwangi. Sejauh ini, minimnya karya tulis kritik menjadi salah satu faktor kemunduran seni rupa Banyuwangi. Bagi sebagian besar Perupa di Banyuwangi kritik masih dipahami sebagai sesuatu yang menjengkelkan. Sebagai contoh, dalam satu situasi Perupa menuntut adanya kondisi pasar yang dinamis, sehat dan kompetitif namun menutup diri terhadap proses evaluasi mutu karya yang dihasilkan. Perupa mengharapkan karyanya laku keras namun akan menggerutu dan marah apabila karyanya dikritik. Belum lagi pembacaan atas perspektif yang lebih luas dan dalam tentang fungsi seni di luar kepentingan pasar. Padahal, tanpa kritik mustahil kemajuan seni rupa bisa didapat.
Akibat kritik tidak terbangun, seni rupa di Banyuwangi menjadi kurang bergairah. Misalnya saja, ketika jurnalisme menjadi garda terdepan penyampai informasi kepada masyarakat hampir tidak ditemukan media massa lokal di Banyuwangi yang memfasilitasi kolom penulisan kritik seni bagi penulis dan yang dikonsumsi masyarakat melulu sebuah reportase aktivitas seni tanpa kritik. Hal demikian menjadikan masyarakat buta wacana akan perkembangan kondisi seni rupa yang sebenarnya. Diperparah, mayoritas sarjana seni rupa di Banyuwangi terkesan menjaga jarak terhadap aktivitas kritik. Para sarjana seni rupa itu lebih asyik membangun popularitasnya dengan berpameran di sana sini namun gagap untuk bisa bersinergi membangun seni rupa dengan memasyarakatkan kritik. Padahal para sarjana seni rupa itu dengan bekal intelektualnya punya potensi yang lebih besar untuk bisa membangun iklim yang kompetitif dan dinamis. Bisa diduga para sarjana tersebut adalah generasi yang menjadi korban ketidakjelasan kurikulum di lembaga perguruan tinggi seni hari ini. Tidak sedikit Perupa otodidak maupun pegiat seni rupa di Banyuwangi yang juga sinis terhadap kemunculan kritik.
Apakah kritik seni rupa itu? Kritik seni rupa bagi saya adalah percakapan dan analisa tentang Perupa dan karyanya yang kemudian diinterpretasikan untuk menghasilkan sebuah penilaian. Sudut pandang subjektif seperti itu membuka peluang perdebatan yang mungkin dirasa membosankan. Di kalangan Perupa dan pegiat seni rupa di Banyuwangi perihal definisi dan fungsi seni itu sendiri tidak pernah mencapai pemufakatan. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya naif ketika ada yang berusaha “menyeret-nyeret” seni kedalam rumusan “humanisme universal” dan “seni untuk rakyat”. Jika anggapan demikian hanya berhenti pada tafsir politis, barangkali tidak akan pernah ada upaya penyelamatan terhadap lukisan Les Noces de Cana (1562) karya pelukis Italia Veronese dan karya-karya Sang “Jiwa Ketok” S. Sudjojono yang keduanya kemudian dianggap sebagai karya besar penanda zaman. Di tengah hegemoni karya yang bersifat “hiasan” tetap akan selalu ada karya yang dijaga dan ditempatkan dalam museum untuk dijadikan tanda peradaban. Justru yang menjadi naif ketika menganggap tradisi penulisan kritik seni adalah upaya politis untuk mendukung salah satu Mazhab diantara keduanya. Seniman tidak perlu merasa terbebani untuk memilih salah satu diantaranya atau tidak keduanya karena hal ini hanya soal kesadaran untuk menetapkan pilihan. Saya yakin, kritik bisa hidup dalam pandangan dua Mazhab tersebut.
Dalam prosesnya pengkritik boleh berlaku subjektif, menggunakan ukuran-ukuran yang metodologis atau sekedar asumsi, sah-sah saja. Pengkritik atau penulis kritik seni bisa menyesuaikan diri dengan lawan bicara atau pembacanya untuk memperbincangkan kritik. Konsepsi ideal dan hal-hal yang bermakna filosofis tentang seni bisa diutarakan sebagai penajaman dalam membangun interpretasi sampai pada penilaian dan kesimpulan. Adanya sebuah penilaian akan berpotensi memunculkan reaksi bahkan perdebatan itu hal yang biasa. Lumrah dan tidak perlu baper menanggapi nya. Orang boleh setuju atau tidak. Bebas-bebas saja. Jika Perupa Banyuwangi masih alergi dengan adanya upaya membangun kritik seni rupa semacam itu maka pendapat yang akhir-akhir ini mengatakan bahwa seni rupa Banyuwangi hari ini mengalami perkembangan hanyalah klaim sepihak alias akon-akon yang dibangun untuk menutupi ketidakmampuan membangun iklim seni rupa yang sehat.
Banyuwangi mempunyai sumber daya manusia yang mumpuni di bidang penulisan. Sastrawan Banyuwangi yang sesekali menulis esai seni rupa diantaranya adalah Fatah Yasin Noor, ia pernah menulis kritik seni rupa dalam esai nya yang berjudul: Mata Seorang Mualaf. Esais Taufiq Wr. Hidayat juga menulis, diantaranya: Narasi Pinggiran, Perhelatan Seni di Banyuwangi, dan Orang Dekat. Peneliti Musik Etnis dan Penulis Elvin Hendratha pernah menulis esai seni rupa beraroma kritik apresiatif yang berjudul: Di Ujung Desa. Penulis sendiri pernah menyoroti stagnasi perkembangan seni rupa Banyuwangi dalam esai kuratorialnya, berjudul: Ruwatan Budaya. Selain yang disebutkan, belum diketemukan lagi tulisan kritik seni rupa dari para penulis Banyuwangi yang lain. Minimnya budaya arsip pelaku seni di Banyuwangi menjadi faktor yang mungkin mengakibatkan tidak terpantaunya jejak karya tulis kritik seni rupa Banyuwangi yang pernah lahir di masa lalu. Di kancah seni rupa nasional dikenal nama-nama penulis kritik seni rupa sekaliber S. Sudjojono, Sudarmaji, Sanusi Pane, D. Djayakusuma, Kusnadi, Dan Suwaryono, Baharuddin, Trisno Sumardjo, Sanento Yuliman, Popo Iskandar, Bambang Bujono, Hardi dan Agus Dermawan T. Mereka sangat produktif memproduksi esai maupun kritik seni rupa yang bernas dengan gaya penulisan masing-masing yang khas. Namun, juga menjadi perhatian yang serius bahwa dinamika perkembangan seni rupa nasional zaman itu sepertinya tidak berdampak luas terhadap perkembangan penulisan kritik seni rupa di daerah. Dinamikanya cenderung bersifat sentralistik di wilayah Jakarta, Bandung dan Jogjakarta.
Banyuwangi kaya akan modal tradisi yang kuat. Adat istiadat dan tradisinya bisa menjadi materi utama untuk penciptaan karya seni rupa dan kritik seni nya. Dimungkinkan terciptanya terobosan dan bentuk karya seni rupa baru yang lebih lokalistik. Tidak cukup Perupanya hanya melukis penari Gandrung, misalnya — para Perupa perlu berpikir untuk menciptakan produk seni rupa yang lain tidak hanya menciptakan lukisan dua dimensi dengan menempatkan Gandrung sebagai materi utama. Boleh saja melukis Gandrung, tapi setidaknya visual yang dihasilkan menimbulkan “keresahan” bagi yang melihatnya. Apakah Gandrung akan benar-benar punah dan tetap “termarjinalkan” ? Tari Gandrung telah menjadi Brand dari industri besar pariwisata Banyuwangi. Penari Gandrung mengalami regenerasi tapi tidak untuk Pakem dan hal yang sakral di dalamnya. Jika yang dimunculkan, di dominasi hanya atraksinya saja tanpa kerja pelestarian yang serius maka nilai tuntunan yang tersirat dalam gending-gending yang di nyanyikan para pelaku Gandrung Terob berpotensi tidak dikenali lagi oleh penari generasi muda di masa depan. Pakem dan ragam ritual yang menyertainya sulit diharapkan bisa dikuasai oleh penari Gandrung generasi muda.
Adanya Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi tak lebih sebuah perhelatan untuk melestarikan tontonan. Festival Gandrung Sewu 2022 di pantai Marina Boom Banyuwangi mendorong hasrat sebagian Perupa untuk meresponnya dengan melakukan aktivitas melukis on the spot berukuran super besar. Apa yang dilakukan oleh para Perupa tersebut menambah semarak tontonan atas atraksi yang disuguhkan dalam festival tersebut, sayangnya bukan dalam konteks melahirkan karya besar yang lahir atas sebuah kesadaran kritis bahwa kesenian Gandrung sesungguhnya akan mengalami kepunahan. Pengamatan saya, sangat disayangkan bahwa para Perupa itu menghadirkan karya super besar namun nihil makna. Bukankah seniman, dalam hal ini Perupa mempunyai potensi untuk merekonstruksi Gandrung dalam wujud karya, pilihan bentuk dan alternatif seni yang lain ? misalnya dengan mengadopsi pemikiran George Herbert Mead tentang performativitas tubuh dalam seni performatif — memungkinkan Gandrung akan bertransformasi ke wujud visual yang lebih progresif. Konsepsi George Herbert Mead atas tubuh membuka peluang untuk menjadikan diri Gandrung sebagai subjek sekaligus objek yang kondisinya terancam punah. Kesadaran muncul bahwa kesenian Gandrung lahir dan tumbuh karena proses sosial tak bisa dinafikan, begitupun “kematian” nya. Mempertahankan “hidup” nya butuh sebuah gerakan sosial. Bagaimanapun Gandrung adalah tubuh itu sendiri. Tubuh kesenian yang melankolis dibalik kemolekan dan gemerlap perayaannya. Seni performatif yang boleh agak sedikit “provokatif” bisa dilakukan secara kolektif dengan misi bersama mengkampanyekan pentingnya menjaga “tubuh” Gandrung agar terhindar dari krisis nilai dan kepunahan.
Jadi, bertolak dari fenomena sosial Gandrung tersebut memungkinkan Perupa berkarya tidak hanya sebatas “melukis” Gandrung dengan hanya merekam kecantikan sang Penari nya namun ada peluang dan tantangan untuk menciptakan ragam karya seni rupa lain yang lebih menyentuh dan mewakili “suara” dari dalam, tentang sebuah persoalan. Pertanyaannya, apakah bisa kesadaran itu lahir jika tanpa melalui kritik ?
Hari Purnomo, M.E. - Dosen IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi.
Posting Komentar