BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Hiburan Lima Tahun Sekali: Guyonan Menjelang Pilpres

Pemilu 2024, Pilpres 2024, Presiden, wakil presiden, Guyonan Pilpres

“Dan kehidupan tak lain adalah permainan dan senda gurau.”


(QS. Al-An’am: 32)

Pena Laut - Ayat di atas merupakan rujukan—dan pengingat—bagi setiap orang yang terlampau tegang, kaku, dan acapkali bertemu masalah selalu memasang muka mbesengut. Sudah menjadi keniscayaan, bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia seringkali menemukan ganjalan-ganjalan yang membuat mereka terpaksa berhenti sejenak untuk menyingkirkannya. Seorang musafir memang harus berhenti barang sejenak untuk beristirahat, tafakkur, hingga men-tadabburi lingkungan sekitar guna mendapatkan pelajaran yang berharga. Seperti kata kebanyakan orang: nikmatilah sebuah perjalanan.

Tidak ada jalan yang benar-benar lurus dan mulus. Jika ada, itu hanya gambaran—atau nafsu—manusia saja. Setiap fenomena dalam realitas sosial, misalnya, kita akan menemukan ketidakberaturan. Itu sudah pasti. Akan aneh juga, bila manusia hidup tidak pernah menemukan persoalan yang membuat mereka garuk-garuk kepala, atau bahkan sampai jatuh sakit. Kan, demikian sudah menjadi sunnah-nya Allah, seperti yang kita ketahui. La yukallifullahu nafsan illa wus’aha. Tiap-tiap manusia pasti memiliki masalah sesuai kemampuan masing-masing, sehingga saat di kedai kopi atau tempat mana pun, jangan suka “adu nasib”. Nasib, kok, diadu.

Karena kehidupan juga memiliki sifat humoris-nya, maka sudah semestinya makhluk yang ada di bawah kolong langit mempunyai tabiat guyon. Humor, yang kita tahu, dapat menjadi medium yang jarang menemukan jalan buntu. Sebuah kritik sosial, menyampaikan informasi, dakwah, hingga memperingati kebahagiaan adalah beberapa muatan yang bisa dibungkus melalui medium humor. Secara antropo-sosiologis, humor (guyonan, dagelan, dan sejenisnya) bisa diterima di semua kalangan masyarakat; mau yang kaya sampai yang miskin, yang theis sampai atheis, borjuis sampai proletar, dan yang suka strukturalis sampai postrukturalis. Semua menerima humor—dengan berbagai karakter, varian, dan sesuai sosio-kultur masing-masing.

Indonesia, misalnya. Karena negara kita memiliki sumber daya yang melimpah ruah, kebudayaan yang pluralistik, dan keberagaman lainnya yang ikonik, tentu humor mempunyai posisi yang cukup sentral di dalam kehidupan masyarakat. Hal itu terbukti adanya grup-grup lawak seperti Srimulat, Warkop DKI, Percil CS, hingga belakangan ada komunitas Stand-Up Comedy. Menonton—via online maupun datang langsung—sebuah acara komedi adalah rujukan kebanyakan masyarakat Indonesia. Sebab, saat menyaksikan tontonan tersebut, pikiran mereka menjadi segar kembali.

Menjelang pemilihan umum (Pemilu) seperti sekarang ini, banyak orang mendadak jadi humoris. Entah dari sisi raut wajah, opini, story media sosial, atau pembahasan yang berkaitan dengan politik; Pilpres, khususnya. Terma “humoris” itu, tidak melulu soal gaya dan penyampaian dengan cara berkelakar, namun juga penyampaian yang serius, dengan wajah garang, dan keringat bercucuran. Dalam teori chaos, terdapat pandangan bahwa ada keteraturan di dalam kekacauan. Kurang lebih demikian sederhananya. Jika menyesuaikan dengan konteks pembahasan, maka bunyinya seperti ini: terdapat guyonan di dalam keseriusan.

Kalau tidak percaya, silahkan ikut nimbrung atau nyangkruk di dekat rumah masing-masing. Pembahasan sentral dan sedang “hangat” sekarang ini ialah soal Pilpres. Semua kalangan; mulai dari direktur perusahaan hingga tukang loak di pasar. Perbincangan mereka seputar 01, 02, dan 03. Belum lagi, para pendukung—yang memang benar pendukung atau sekedar ikut-ikutan—saling “serang” sana-sini. Sebagai masyarakat yang sadar, kita akan menemui “keriwehan” seperti ini setiap lima tahun sekali. Ada yang menganggapnya keseriusan untuk memenangkan calon, ada yang memandangnya sebagai hiburan semata, ada juga yang bodo amat dengan hiruk-pikuk semacam itu. Tulisan ini hanya akan berfokus pada fenomena politik sebagai hiburan “lima tahunan”.

Segala bentuk intrik dari ketiga paslon mencoba untuk bisa masuk di lingkaran-lingkaran pemilih pemula; generasi muda. Hal ini terlihat eksplisit dari wacana, media, dan video-video kampanye. Saat debat Capres dan Cawapres, misalnya. Berbagai gambar, potongan video, hingga diksi yang dilontarkan oleh masing-masing Capres-Cawapres dibuat guyonan oleh paara netizen. Contohnya seperti “slepet”, “sorry yee!”, “angin tidak punya katepe”, dan lain sebagainya. Semua itu, kan, mengundang tawa.

Coba aja dengarkan orang tua, paman, sanak family saat berkumpul, atau kawan-kawan kalian saat sedang nongkrong kalau sudah bahas Pilpres. Wah, bisa melampaui debat Karl Marx dan Mikhail Bakunin sewaktu Internasionale Pertama. Yang satu mendukung paslon 01, satunya lagi paslon nomor 02, dan orang yang jualan kopi kebetulan mendukung paslon 03. Tidak berhenti di sana, saling “sikat” satu sama lain terjadi. Narasi yang dibangun cenderung merendahkan, ndak sehat, dan terlampau “ndakik” saat menyebutkan program-program yang dihadirkan. Namanya juga kampanye, wacana yang dilontarkan sering sundul langit.

Tidak hanya itu, terkadang belum puas “nyerang” di dunia nyata, segera berpindah arena di dunia maya. Mengomentari postingan pendukung ‘sebelah’ dengan teknik kepenulisan yang kacau dan logika yang semrawut. Niatnya sih gagah, tapi justru membuat perut pembaca begah. Memang lucu tahun-tahun politik semacam ini. Seolah-olah, dunia tengah terbalik. Tidak ada objektivitas, kejernihan berpikir, sikap tabayyun, dan khusnudzan. Yang terjadi malah saling tegang, diskriminatif, dan impulsif. Sampai-sampai, dua sejoli yang sedang pacaran pun sekarang pembahasannya seputar Pilpres, hasil debat, dan geo-politik internasional. Gila!

Padahal, sudah banyak para ulama, pemimpin, dan tokoh masyarakat yang mendemonstrasikan “politik damai”. Tapi kelihatannya, kalau Pemilu lempeng-lempeng saja, masyarakat tidak begitu antusias. Justru yang dicari adalah “keseruan” dalam fenomena “dukung-mendukung” itu. Memang, kalau dipikir-pikir, benar juga kata Kundera: manusia berpikir, Tuhan tertawa. Lantas, bagaimana kalau manusia tidak berpikir? Barangkali Tuhan sampai “terpingkal-pingkal” ketika tertawa.

Ah sudahlah. Karena fenomena di atas ada setiap lima tahun sekali, jadi bisa buat hiburan bagi kita—yang menikmatinya dengan guyonan. Daripada mikir yang berat-berat, serius, rigid, mending menikmati “hiburan lima tahun sekali” ini dengan riang gembira sambil mengunyah pisang goreng yang masih panas dan kopi yang sedang enak-enaknya di-sruput!


Oleh: Dendy Wahyu Anugrah
1 komentar

1 komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak
  • mustofa
    mustofa
    27 Januari 2024 pukul 17.36
    Tidak menarik
    Reply