Pena Laut - “Sikap saling legowo dan tidak saling menyalahkan harus benar-benar menjadi ruh dari para elite keduanya.”
Bertolak dari fenomena yang tengah berkembang terkait persoalan seputar posisi dan relasi NU dengan PKB, atau sebaliknya, menunjukkan bahwa masih terjadi bias noumena, kesimpang-siuran anomali dan bahkan perbedaan penafsiran (kalau tidak disengaja untuk dibuat demikian) oleh keduanya.
Karena itu, tidak mengherankan jika masing-masing pihak berupaya memaknai dan kemudian memposisikan diri sebagaimana hasil ijtihadnya masing-masing. Akibatnya tidak jarang (bahkan hampir always) terjadi perbedaan yang cukup signifikan antar keduanya dan cenderung bertentangan, dan fenomena atas realitas pra pilpres 2024 depan sangat afirmatif untuk mendukung argumentasi itu.
Bagaimanapun juga, kondisi ini akan sangat merugikan kedua belah pihak, minimal ketika hendak mewujudkan dan mensupremasikan nilai luhur keduanya: turut berkhidmat bagi kesejahteraan bangsa dan negara ini. Atas dasar argumentasi ini, jika boleh memberi premis:
Pertama, para elite kedua belah pihak hanya akan disibukkan dan asyik dengan persoalan yang hanya terkait dengan internal mereka. Padahal, persoalan dan kasuistis yang tengah termanifestasikan dalam negara ini amatlah banyak, berjibun dan menyesakkan. Bagaimana keduanya akan memberikan andil bagi pemecahan persoalan bangsa ini, sebagai bentuk aktualisasi tanggung jawab, kalau waktu dan energinya hanya dihabiskan untuk tethek-bengek internal saja. Lebih parahnya kalau waktu dan energinya (maaf) hanya untuk memenuhi “kepuasan” masing-masing elitnya. Jelas (dengan telanjang mata) ini kontra-produktif ketika melihat sisi historisitasnya: keduanya sengaja didirikan untuk mengejawantahkan konsep rahmatan lil alamin dan sebagai perwujudan dari kebangkitan kesadaran politik para founding fathers-nya.
Kedua, fenomena ini akan menambah kebingungan masyarakat grass root, boleh jadi (mungkin) “perbedaan” itu atau apapun namanya tidak berimplikasi sedikitpun bagi para elit masing-masing, karena bisa jadi itu bagian dari an high political strategy-nya. Akan tetapi, bagaimana akan kondisi psikologis masyarakat bawah (Nahdliyin sebagai pendukung utama). Haruskah mereka dipaksa memahami dan kemudian mengikuti pola-pola yang tidak mereka mengerti? Kalau ini yang terjadi, jangankan merealisasikan paradigma rahmatan lil alamin, mewujudkan rahmatan lil Nahdliyin saja dirasa nihil dilakukan oleh keduanya.
Dan yang pasti, kembali lagi ke masyarakat bawah Nahdliyin khususnya, rasa-rasanya tidak sedikitpun akan tercerahkan tetapi malah akan terkotak-kotak oleh kepentingan masing-masing elitnya. Akibatnya sangatlah sederhana, keinginan masyarakat Nahdliyin untuk lepas dari keadaan de javu orde baru (marginal, teraleniasi, terbelakang, sapi perahan, ban serep dan entah apalagi) dan keinginan mendapatkan maqomam mahmuda (memiliki post strategis yang berdampak pada kemashlahatan publik) akan menjadi utopia abadi.
Ketiga, lambat laun akan memunculkan anggapan atau (maaf lagi) sengaja dimunculkan-bahwa lahirnya PKB dianggap sebagai an historical accident (sebuah kebetulan sejarah) dalam prespektif politik NU. Dan rasanya itu kurang bijaksana maupun bijaksini. Mengingat, diakui atau tidak bahwa kelahiran PKB justru merupakan an historical neccessity (sebuah keharusan sejarah) bagi NU. Pandangan terakhir akan semakin mendapatkan justifikasi benar manakala kita mencoba melihat kembali bagaimana posisi dan peran politik NU di masa lampau, orde lama umunya dan orde baru khususnya.
Nggibahin suka dan tidak suka, pada dua masa itu, posisi dan peran politik NU tidak lebih dari seorang aktor pembantu, dan sialnya selalu dikadali. Itulah yang memunculkan komitmen kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984.
Akan tetapi, dengan perkembangan konstelasi politik mutaakhir, khususnya dalam muktamar ke-30 Lirboyo, telah terjadi sedikit trans-politik dalam NU. Yakni yang selama ini menyatakan tidak ke mana-mana tapi ada di mana-mana, kini kemudian berubah menjadi; hendaknya dalam memilih partai, warga NU memperhatikan partai yang secara embrio difasilitasi NU.
Apabila menggunakan paradigma di atas, rasanya sebuah fenomena akhir pekan ini tidak terjadi. namun, karena ia terlanjur muncul dan menjadi snowball atas distingsi wacana, bahkan berdampak negatif bagi akar rumput, maka ada beberapa alternatif mindset dalam menyikapinya.
Pertama, bagaimanapun pahitnya, harus diakui antara NU dan PKB memiliki hubungan baik secara genealogi, filosofi, ideologi, geopolitik, historis, madzhab, bahkan nabi yang sama (Nabi Muhammad). Ibarat dua sisi mata uang yang sama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pernyataan yang muncul adalah: PKB itu telur NU, PKB itu anak NU dan sebagaimana metafor lainya.
Realitas itu mengharuskan terjadinya kultus atas pembagian wilayah garapan, baik porsi maupun proporsi secara rigid dan baku. Hal ini adalah ikhtiar terakhir untuk menghindari saling benturan dan tabrakannya kedua belah pihak.
Pun demi menghindarkan pihak eksternal yang berusaha membenturkan keduanya dan tertawa setelah mendapatkan keuntungan dari kondisi itu. Pertanyaannya adalah, apakah keduanya tidak memiliki hal itu? Jawabnya: sudah ada. Sebagai jamiyyah terbesar di negeri tercinta, NU memiliki sikap sosial kenegaraan yang dirumuskan dalam sikap politik tawasuth, tawazun, tasamuh dan ta’adul. Demikian juga halnya PKB, sebagaimana yang dirumuskan sebagai platform partai.
Kedua, dibutuhkan sikap konsisten dan komitmen tinggi dalam rangka memegang dan mengaplikasikan aturan main yang dimiliki. Artinya, meskipun keduanya ibarat dua sisi mata uang, bahwa masing-masing menempati lokus dan domain yang berbeda harus diakui sebagai sebuah keniscayaan.
Sikap legowo dan tidak saling menyalahkan (baik minteri, kerumangsan, ego sektoral) harus benar-benar menjadi ruh dari para elit keduanya dalam memandang, menyikapi dan mengejawantahkan masing-masing. Dan yang tak kalah pentingnya, jangan sesekali mempermulus kepentingan kelompoknya, ego pribadinya dan sikap sikap pengkerdilan terhadap siapapun yang tidak sepaham dengan politik praktisnya, kemudian dikemas dan dengan serapi mungkin untuk dijadikan dalih kemashlahatan umat dalam berbangsa dan bernegara, mengatasnamakan Tuhan dan agama sebagai bungkusnya atau apapun itu.
Rasanya, ini adalah problem krusial yang sifatnya fundamental, sebaiknya segera dihindarkan jika keduanya tetap ingin berkhidmat bagi bangsa ini.
Yang paripurna, Teruntuk punggawa yang sudah bersikeras banting tulang, remas otak dan peras keringat demi sebuah agama, bangsa dan negara, wabil khusus kepada KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Syansuri,KH Wahab Hasbullah, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Musthofa Bisri, KH.Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyad,KH. Muchid Muzadi. Al fatihah.
Opini Oleh: Mahasin Haikal Amanullah (Lakpesdam PCNU Banyuwangi)
Posting Komentar