BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Al quran dan Paradigma Politik

Al Qur an, Politik, Politik dalam Al Qur'an, Paradigma Politik

Pena Laut
- Dalam suatu hadits, menjelang baginda Nabi wafat (pada tahun 11 H/632 M), beliau telah memberikan wejangan kepada kaum muslimin agar tidak terperosok dalam jurang kesesatan, hendaklah selalu menempatkan kitab Allah dan Sunnah sebagai referensi utama dalam setiap langkah hidupnya (baca:Hadits). Kitabullah, dimaksudkan sebagai firman Allah yang tertuang dalam Al Quran sedangkan Sunnah (tradisi) adalah keseluruhan perilaku nabi Muhammad SAW selama hidupnya sebagai Rasulullah, karenanya sering pula dipandang sebagai tabyin (penjelas) dan pelengkap Al Quran.

Pesan Nabi di atas, sepintas memberikan suatu ilustrasi akan cakupan Al Quran terhadap semua problematika kehidupan. Tidaklah berlebihan jika kemudian sebagian orang, terutama kalangan mubaligh atau Da'i sering bersuara lantang, “bahwa Al Quran itu mencakup segalanya”, bahkan yang lebih ekstrem lagi, melihat Al Quran itu laksana ensiklopedia atau kamus yang sangat lengkap dan komprehensif bagi perjalanan hidup manusia, sehingga semua aspek kehidupan itu; baik ekonomi, politik, sosial, budaya ataupun lainnya sudah tersedia di sana. Pendapat semacam ini semakin mantap lagi jika dikaitkan dengan beberapa firman Allah seperti dalam ayat ke-68 surat an-Nahl, ayat ke-3 surat al-Maidah dan ayat ke 38 surat al-An'am.

Benarkah demikian? meski pendapat tersebut terkesan emosional dan super subjektif (lihat Abdul Wahab Khalaf, ilmu ushulul fiqh hlm 36) dalam tulisan singkat ini kita coba untuk mengungkap paradigma politik dalam frame Alquran

Aqidah Syariah Siyasah


Kedatangan Islam tidaklah terlepas dari tiga elemen utama; aqidah ( keyakinan keimanan) syariah (peribadatan baik secara vertikal maupun horizontal) dan siyasah (politik ketatanegaraan). Elemen pertama sangat nampak sewaktu nabi masih berada di Makkah, selama lebih kurang 13 tahun. Elemen syariah dan siyasah baru ter-cover semasa periode dakwah di Madinah sekitar 10 tahun lamanya. Jika semasa di Makkah, nabi baru sebagai pemimpin Agama, maka pada periode Madinah ini, selain menjadi pemimpin Agama, nabi juga tampil sebagai pemimpin Negara.

Sementara itu, nuansa politis kehadiran Islam, jika diamati secara seksama sebenarnya telah hadir bersamaan berkembangnya Islam di masa permulaan. Menurut Ibnu al-atsir, seorang sejarawan Sunni tersohor, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa Afif Al Kindi pernah berjumpa Al Abbas (pamanda Nabi SAW), ketika itu Afif menyaksikan seorang laki-laki (Muhammad) sedang shalat menghadap kiblat, lalu disusul seorang perempuan dan seorang pemuda yang turut menyertainya. Seraya Afif bertanya kepada Al Abbas, “Agama apa ini?” Al abbas menjawab “ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah keponakanku, ia menyatakan diri sebagai seorang utusan Allah dan berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi” (Lihat Ibn al Atsir, Al Kamil fi al Tarikh, jiid II, 1979 hlm 57). Obsesi semacam ini, dilirik oleh komunitas non muslim sebagai suatu tantangan bagi reputasi politik mereka. Benar, jika dikatakan bahwa untuk tidak berpolitik itu diperlukan langkah politis, sehingga setiap langkah “harokah” atau perjuangan tidak lepas dari bias-bias politik. Hatta, dunia pendidikan pun banyak di potret sebagai the political will bagi suatu bangsa dan negara.

Secara historis, ketiga elemen (aqidah, Syariah, siyasah) di atas berjalan mulus dan tanpa ada gejolak selama masa Rasulullah. Barulah setelah Baginda Rasulullah wafat, terjadi goncangan elemen siyasah, di mana belum sampai jenazah Nabi dikebumikan, elit politik umat Islam (Muhajirin, Ansor) mulai terjadi intrik-intrik politis seputar pengganti Rasulullah sebagai pemimpin negara. Masing-masing mereka memiliki hak untuk dipilih (Minna Amir wa minkum Amir). Ketegangan ini Akhirnya bisa diredam dengan dikumandangkannya hadits “Al aimmah Min Quraisy” oleh Khalifah Abu Bakar. Bias politik ini semakin memanas lagi pada saat akhir masa Khalifah Usman bin Affan. Pada saat itu kaum muslimin benar-benar terjadi krisis politik yang hebat, pertikaian internal umat Islam tak dapat dibendung lagi, sampai akhirnya mereka terpecah-pecah dalam berbagai faksi politik. Kondisi ini diperparah lagi dengan bias politik yang menyentuh pada bingkai akidah.

Tahsarruful Imam Manuthun Bi Mashlahatir Raiyyah


Berlainan dengan Syiah yang menempatkan Imamah sebagai salah satu Rukun Iman, di kalangan sunni visi politiknya bisa dikatakan tidak memiliki sistem yang jelas. Karenanya salah satu kaidah yang berlaku di kalangan mereka adalah Tahsarruful Imam Manuthun Bi Mashlahatir Raiyyah. Dalam kaidah ini, agama diturunkan ke dunia untuk Mashalih Al Ibad, kemaslahatan manusia; dan juga pemerintahan sebagai lembaga politik adalah instrumen atau Wahana untuk mewujudkan kemaslahatan, terutama kemaslahatan rakyat secara holistic, dan lebih khusus lagi pada rakyat kecil. Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu diperlukan partisipasi, dalam partisipasi ini rakyat harus diberi ruang agar rakyat sendiri yang memutuskan kemaslahatan, ini penting karena ketika rumusan kemaslahatan lebih dimonopoli oleh pemimpinnya, maka kemaslahatan rakyat akan banyak mengalami distorsi. Karenanya, di sini peran partisipasi sangat luas sekali. Kemudian agar rakyat bisa berpartisipasi dalam mengambil keputusan, walaupun harus mengambil mekanisme perwakilan. Perlu persyaratan kemandirian di kalangan mereka sendiri, kemandirian adalah prasyarat utama partisipasi. Karenanya basis al Dlarurat al Khams Yang relevan dengan deklarasi hak-hak asasi manusia sangat diperlukan bagi keberlangsungan kemaslahatan. Implementasi kaidah di atas diperlukan beberapa kriteria dan prinsip kepemerintahan yang sejalan dengan pesan-pesan Al quran atau as-sunnah. Prinsip-prinsip itu pula yang nantinya dijadikan paradigma politik Sunni, diantarannya adalah:

As Shidqu wal Amanah


Maksudnya, dengan adanya kejujuran dan tanggung jawab terhadap mandat yang dipikul seorang pemimpin, prinsip ini ditegaskan dalam ayat ke-8 surat al-Mu'minun dan ayat 283 surat al-Baqarah. Begitu pula dalam hadits riwayat Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Turmudzi dari Ibnu Umar “kullukum roin wakullukum mas'ulun anroiyati”. Sekedar contoh mengenai tanggung jawab penguasa yang ideal, sebagaimana kisah Sayyidina Umar Ibnu Khatab tatkala memangku jabatan khalifah, dimana beliau selalu turba dan blusukan dalam rangka mendengar suara hati nurani rakyatnya.

Al Adalah (Keadilan)


Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam ayat ke-26 surat As Shad, begitu pula dalam ayat ke 58 surat an-Nisa. Perlu digarisbawahi, bahwa menu keadilan bukanlah hanya konsumsi kaum muslimin saja, Islam memandang keadilan harus ditegakkan kepada semua orang tanpa pandang bulu dan tebang pilih, kendati seorang non-muslim sekalipun. Kisah turunnya ayat ke 105 surat an-Nisa (kasus Thu'mah), merupakan contoh keadilan secara holistik di mana seorang Yahudi yang dituduh mencuri, padahal sama sekali dia tidak mencuri, niscaya Allah menunjukkan atas kebenarannya.

As Syura (Permusyawaratan)


Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam ayat 159 Ali Imron dan ayat 38 Asyura. Begitu urgensinya prinsip ini, sampai Nabi Muhammad, meskipun dalam kapasitas sebagai seorang yang Ma'sum, ternyata masih diperintah Allah untuk bermusyawarah dengan para sahabat. terutama dalam ikhwal Al Maslahah Al ammah, prinsip ini menempatkan Islam sebagai agama yang mengikis habis kultur otoriterianisme dan absolutism. Karenanya, bukanlah pada tempatnya seseorang yang mengaku muslim atau tokohnya sekalipun, tetapi selalu mempertahankan arogansi kekuasaan, ambisi kekeluargaan, otoriter serta mempertahankan status quo.

Al Musawah (Egaliterian)


Nabi Muhammad dan para Khulafa Ar Rasyidin telah memberikan contoh sikap egalitian dalam segala jenis sektor kehidupan: ekonom, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Wajarlah jika kemudian lahir tokoh-tokoh semacam Abu Bakar, Umar, Bilal, Suhaib, Ammar dan seterusnya yang dalam peranan politiknya, maupun karir militer tanpa ada diskriminasi rasial, meski mempunyai perbedaan latar belakang budaya, Nuansa prinsipil semacam inidiafirmasi dan ditegaskan pula dalam ayat 156 surat al-Baqarah.

Walhasil, meskipun Al Quran tidak menyebut suatu bentuk dalam sistem ketatanegaraan secara shorih, tatanan sistem demokrasi yang saat ini menjadi primadona bentuk negara-negara di dunia memiliki titik temu dan relevansi yang sangat tepat, karenanya sungguhpun term demokrasi bukan produk Al Quran, saat ini sistem itulah yang lebih mencerminkan dan interpretasi paling pas dalam sistem politik kenegaraan Islam.

Oleh: Mahasin Haikal Amanullah (Founder Mukadimah Institute)
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak