Segera mandi, ambil pakaian terbaikmu, dan pamit kepada Bapak-Ibu dan kekasihmu.
Katakan kepada mereka: “Saya akan pergi ke Softinala”.
Mohon doa dan restu. Berangkat!
(Rektor Softinala Institute, 2023)
Pena Laut - Gerak-gerik mata berusaha menembus fenomena yang terjadi pada realitas semu. Berbagai simbol, tanda, bahasa, dan wacana ditangkap oleh kemampuan kognitif untuk menyingkap segala sesuatu yang menyimpan makna. Sikap skeptis manusia dalam menguji sebuah entitas yang dianggap kebenaran terus dilakukan. Semua membutuhkan metode dan interpretasi untuk menghasilkan konklusi yang memuaskan birahi pengetahuan manusia. Ya, manusia selalu mempunyai birahi dalam setiap langkahnya. Birahi yang bermakna konotatif maupun denotatif. Barangkali Schopenhauer tidak salah berpikiran mengenai kehendak. Bahwa kehendak lah yang membuat manusia menderita. Namun, segera para murid dan orang yang sedari awal sentimen terhadapnya, mengkritik pemikiran yang pesimistik itu. Para filsuf berdialektika untuk memberikan wawasan, pengetahuan, dan tesis baru untuk dikaji dan diverifikasi ketangguhannya.
Salah satu filsuf yang meletakkan konsep kehendak Schopenhauer di dalam petualangan intelektual ialah Nietzsche. Seorang yang selama hidupnya membuat para pembaca—setelah membaca kisah hidup dan pemikirannya—memunculkan berbagai ekspresi. Sepertinya Jerman patut bangga diri—tapi jangan terlalu berlebihan—karena pernah memiliki filsuf berkumis tebal dan di akhir hayatnya, ia tidak diberi kesempatan untuk menikmati rasa cinta dari kekasihnya. Dari konsep kehendak gurunya itu, Nietzsche berhasil melampaui kehendak pesimistik Schopenhauer. Kemudian kita mengenalinya dengan sebutan: Kehendak Berkuasa.
Jika kita membaca perjalanan intelektual dari masa ke masa, kita akan menemukan beragam perspektif dan runtutan dialektis. Sehingga, saat ini kita dapat menikmati dialektika yang terus “bertengkar” di dalam wacana pengetahuan. Pertengkaran yang tidak akan kita temui dalam peperangan, pertarungan tinju, dan fenomena remaja membawa senjata tajam (baca: klitih). Boleh jadi, kenikmatan yang kita dapatkan lebih dari sekedar kata-kata manis yang keluar dari mulut kekasih: “Engkau adalah semesta bagiku, teruslah bersamaku dalam mengarungi samudera kehidupan”. Sebagian dari kita, mendengar kata-kata itu, pasti akan mengatakan, “Halah mbel!”. Saya rasa, demikian hanya persoalan like or dislike. Itu saja. Agaknya kita perlu tamasya untuk merelaksasi pikiran kita yang semrawut, njubel, dan tumpul seperti hukum yang diarahkan kepada penguasa.
Dalam perjalanan intelektual, kita akan menemukan tempat yang biasa digunakan sebagai lokus dialektis. Sebut saja seperti Coffe House yang didirikan pertama kali di Eropa pada tahun 1652 dan Café d’Alexandre di Paris (Budi Hardiman, 2020). Atau, layaknya Maqha dalam tradisi intelektual Mesir (Abshar Abdalla, 1997). Memang, sebagai orang yang berkecimpung di dunia intelektual, tidak akan merasa nyenyak jika belum menemukan tempat untuk berdiskusi, guyon, dan berkumpul orang-orang dari beragam latar belakang—kultur, ideologi, dan khazanah pemikiran. Namun, belakangan, fenomena tersebut mulai redup dan jarang ditemui di kota-kota yang diklaim sebagai wilayah metropolis, urban, dan maju. Tentu, hal demikian sudah banyak yang mengkaji akar persoalan dan bagaimana cara menuntaskannya.
Fenomena tersebut juga terjadi di daerah ujung timur pulau Jawa. Ya. Banyuwangi. Di sana terdapat kampus dengan latar belakang yang berbeda-beda. Saya tidak akan menyebutkan satu per satu dengan latar belakang masing-masing. Menyebutkan atau tidak, saya rasa tidak menjadi soal. Yang jelas, pada kesempatan ini, saya akan membahas tentang lokus intelektual yang ada di salah satu Desa Genteng Wetan, ia bernama Softinala. Nama itu cukup familiar bagi mahasiswa, pejabat kantor, dan masyarakat di area Genteng Wetan. Selain menjual makanan, minuman, dan Es krim untuk dijilat—karena juga banyak para penjilat yang berdatangan—dengan varian rasa, di Softinala kita akan menemukan sekelompok pemuda yang hinggap di kursi dengan pembicaraan yang cukup ciamik. Bahkan, di atas meja sering kita temui laptop, buku, dan fasilitas intelektual lainnya. Perihal Softinala—dan bagaimana situasi yang terjadi—silahkan datang sendiri untuk menikmati, mengamati, dan mendengarkan wacana-wacana ndakik dari gerombolan mahasiswa itu. Sehingga, saya bersaksi, bahwa berkat Softinala lah insan Ulul Albab, intelektual organik, hingga teknokrat dapat terbentuk.
Sebagai Softinalean—muhibbin Softinala—saya memiliki beban tugas untuk terus mendemonstrasikan wacana intelektual yang keluar dari selongsong Softinala. Beberapa nilai, secara intrinsik, dapat dijadikan pelajaran untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Bagaimanapun, Softinala memberikan banyak pelajaran kepada seluruh manusia, agar mereka senantiasa berani untuk hidup. Jika terdapat adagium populer berupa, “Fatum Brutum Amor Fati”, maka Softinala memiliki adagium yang hampir mirip, yakni “Fatum Brutum Amor Kredit”. Maklum saja, Softinala memang khas dengan berbagai wacana yang terlampau ndakik-ndakik. Bahkan, belakangan ini, ia mempunyai inisiatif untuk melampaui Dasein-nya Martin Heidegger. Gila!
Dengan interpretasi dan metodologi yang serampangan, tulisan ini akan memaparkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Softinala. Sebelum melanjutkan pembacaan atas tulisan ini, silahkan duduk dengan posisi yang nyaman, menggunakan pikiran yang terbuka, dan pastikan kopi sudah siap untuk dinikmati. Kalau tidak ada, silahkan segera pergi ke Softinala!
Softinala dan Nilai-Nilai Etis
Sebagai entitas yang tidak mau kalah dengan wacana struktur, ideologi yang hegemonik, dan nilai-nilai etis yang digagas oleh para cendekiawan terkemuka, Softinala tengah dihimpit oleh berbagai persoalan yang membuat manusia terkadang memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya sebagai manusia yang tangguh. Persoalan manusia, jika ditelisik lebih dalam, akan memunculkan sebuah ketidakjelasan nilai dalam kehidupannya. Krisis identitas di dalam realitas sosial, misalnya, terlihat sangat eksplisit dan perlu penanganan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal-hal yang demikian ini, adalah salah satu sebab manusia pontang-panting dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang diharapkan. Yakni menganggap remeh segala sesuatu.
Membahas perihal nilai, tidak akan pernah ada habisnya. Karena, kita sebagai manusia memang membutuhkan nilai dalam setiap langkah untuk menyusuri jalan setapak demi setapak di dalam kehidupan. Bertemunya “wajah” orang lain, menurut Levinas, adalah panggilan etis bagi setiap manusia (Hidya Tjaya, 2018). Hal ini menandakan, bahwa manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai etis, sebab ia akan selalu berpapasan dengan yang lain. Urusan ada manusia yang melengos, melipir, dan lari terbirit-birit saat bertemu orang lain atau mantan kekasihnya, misalnya, itu urusannya lain. Bisa jadi, “wajah” yang dilihat oleh orang itu seperti wajah yang sangat mengerikan dan membuat mereka trauma. Takut, jika sewaktu-waktu orang lain itu menerkam kita dari berbagai arah.
Sekurang-kurangnya, Softinala memiliki beberapa nilai etis, antara lain: kesabaran, kebersamaan (kolektivitas), pertengkaran wacana, dan—ini yang saya suka—guyonan. Nilai etis tersebut, akan dijelaskan dengan narasi dan tempo yang sesingkat-singkatnya. Ya Allah! Saya lupa baca bismillah. Oke, saya akan membacanya dan para pembaca juga harus membacanya. Bismillahirrohmanirrohim.
Kesabaran
Setiap orang yang datang di Softinala, akan diuji kesabarannya. Setelah turun dari kendaraan, dan menyapa Big Boss atau Ketua Yayasan Softinala Institute, kita harus memesan sesuatu. Soal ini wajib dilakukan. Karena jika tidak, kita akan mendapatkan Surat Peringatan (SP) 1 dari beliau. Setelah memesan pun, kita harus menunggu pesanan kita datang. Wajar saja, di sini menolak keras segala pikiran praktis dan instan. Segala sesuatu yang instan, menurut Softinala, akan menghasilkan barang mentah dan jika dikonsumsi cenderung hambar. Sehingga, para customer harus sabar menunggu pesanan.
Belum lagi kalau sedang rame-ramenya. Berbagai pesanan berdatangan, dan Big Boss akan bekerja maksimal untuk melayani para pelanggan. Namun, dengan catatatan, harus bersabar. Hal inilah yang diajarkan oleh agama Islam, seperti yang dikatakan oleh Umar bin Khattab:
“Jika engkau bersabar, takdir akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh kesah, takdir juga akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapat dosa”.
Sehingga, kesabaran adalah kunci untuk meraih kebahagiaan. Jika tidak sabar menunggu, silahkan cari tempat yang menggunakan konsep cepat saji. Rasakan sendiri. Bisa dipastikan, engkau tidak akan merasakan bagaimana menunggu sesuatu yang menjadi keinginanmu. Segala hal pasti memiliki proses dan dengan menikmati proses itulah, kita akan dapat menghargai hasil yang telah kita nantikan. Demikian pula dalam menjalani kehidupan. Tidak semua apa yang kita inginkan, segera terwujud saat itu juga. Semuanya membutuhkan proses pencarian, pembuatan, dan sering kali menunggu. Lihat saja, bagaimana “menunggu” adalah sesuatu yang penting dan biasa dilakukan, seperti di dalam lirik lagu Rhoma Irama (Menunggu), Iwan Fals (Kumenanti Seorang Kekasih), dan Zivilia (Aishiteru).
Para Softinalean diwajibkan untuk menunggu. Sehingga, mereka tidak akan membual dan mencela ketika menunggu seseorang. Karena, jika kita membutuhkan kedatangan seseorang, alangkah baiknya, kita yang menunggu. Kesabaran merupakan nilai etis yang diajarkan Softinala kepada kami. Setidaknya, dengan demikian, kita merasa bahwa tidak hanya datang lalu pulang begitu saja. Namun, kita di Softinala mendapatkan pelajaran tentang bagaimana kita menjadi orang yang sabar.
Kebersamaan
Pepatah mengatakan, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Sepertinya, pepatah tersebut sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana tidak, kita akan terus bertemu dengan seseorang dan bahkan berkumpul dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebuah kebersamaan adalah sesuatu yang mampu memberikan pengaruh signifikan bagi perubahan. Bahkan, pergeseran ideologi di suatu negara, dapat tercapai dengan kebersamaan. Secara historis, revolusi yang terjadi di seluruh belahan dunia, tidak akan tercapai tanpa adanya kebersamaan. Bersama-sama dalam mewujudkan visi-misi agar sesuai dengan apa yang dianggap ideal. Revolusi Kuba tahun 1959 (Deutschmann, 2014), misalnya. Jika hanya dengan kekuatan Fidel Castro saja, seorang diri, niscaya tidak akan terwujud sebuah revolusi yang menumbangkan rezim Batista. Apalagi, tanpa koleganya yang berwajah rupawan itu, Che Guevara.
Kebersamaan merupakan hal yang paling krusial dalam merubah dan melakukan sesuatu. Seperti halnya yang terjadi di Softinala. Para mahasiswa berkumpul untuk ngopi, membahas sesuatu, dan tak jarang melakukan sesuatu secara kolektif. Mereka sadar, bahwa kebersamaan akan memberikan semangat dan keberhasilan dalam sebuah gerakan. Keutuhan dalam menjaga persaudaraan dan merawat tradisi intelektual, merupakan aktualisasi nilai yang diajarkan oleh Softinala. Tidak heran, jika Softinala memiliki seorang Rektor, Presiden, Advokat, dan gelandangan intelektual yang terus menjadi pengganggu kekuasaan. Jika meminjam istilah Plato dalam Apologia Socrates, mereka adalah “lebah penyengat kuda-kuda yang malas” (Plato, 2019).
Perihal kebersamaan, agaknya tidak perlu panjang-lebar dalam membahasnya. Soal demikian, sudah mafhum bagi kita yang sudah gede ini. Tentu, kebersamaan ini berkonotasi positif. Yang negatif, biarkan itu menjadi iklim busuk yang bersemayam di Senayan dan Istana Negara.
Pertengkaran Wacana dan Guyonan
Akhirnya, kita telah sampai pada nilai terakhir dalam pembahasan kali ini, yakni pertengkaran wacana dan guyonan. Pertengkaran biasa diidentikkan dengan hal-hal yang menyakitkan, saling melukai, dan sampai berdarah-darah. Wajar saja, kata itu sering kali diartikan sebagai gelut, jotosan, dan cakar-cakaran. Pemaknaan tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, kita akan memakai istilah-istilah serupa dengan pembahasan yang memiliki spektrum lebih luas. Pertengkaran di sini, adalah dialektika wacana yang sering dikeluarkan oleh Softinalean saat nangkring di Softinala.
Wacana yang dihadirkan oleh Softinalean cukup beragam, mulai dari filsafat, politik, kebudayaan, hingga wacana humor yang menjadi sentilan. Pertengkaran wacana satu dengan yang lain berjalan penuh dengan nuansa humor. Bagaimana mereka mampu memberikan wacana dengan humor yang khas dan tangkas. Kritik mereka bisa dikatakan ittiba’ kepada Mahbub Djunaidi, Gus Dur, Bernard Shaw, Kundera, dan lain sebagainya. Tentu, dengan pengetahuan dan penguasaan masing-masing. Fenomena gojlok-gojlokan sangat kental di Softinala. Metode gojlok digunakan untuk mendorong para mahasiswa untuk terus belajar dan melakukan kegiatan intelektual dalam mengembangkan kualitas diri.
Dalam suasana dialektis seperti di Softinala, kita akan menemukan pertengkaran yang terkadang tidak memiliki ujung yang pasti. Bahkan, sering kali tanpa konklusi. Memang, mereka berdiskusi tidak menginginkan konklusi, melainkan dialektika yang berjalan terus-menerus tanpa henti. Kendati demikian, banyak juga mahasiswa yang baper dan cenderung diam—atau hanya menikmati pertengkaran—dari gojlokan tersebut. Berjimbun kritik dilontarkan oleh Softinalean kepada siapapun, utamanya kepada kekuasaan. Struktur yang memiliki potensi represif, anti-kritik, dan tindakannya selalu manipulatif adalah sasaran empuk bagi Softinalean.
Kendati proses kritis-dialektis tersebut mempunyai posisi yang cukup fundamental dalam tradisi Softinala, namun yang menjadi karakteristik Softinalean ialah mampu menjadikan humor sebagai sarana. Dengan catatan, guyonan tersebut mempunyai landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, banyak wacana humor dari Softnalean pada saat pertengkaran wacana sedang terjadi. Bagi Softinalean, “sampaikan kebenaran dengan cara guyonan”. Wacana tersebut seperti memiliki unsur magis yang subversif, melawan, dan tujuan sederhananya ialah menggelitik!
Segera mandi, ambil pakaian terbaikmu, dan pamit kepada Bapak-Ibu. Katakan kepada mereka: “Saya akan pergi ke Softinala”. Mohon doa dan restu. Lalu, berangkat!
Sekian,
Patria o Softinala!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, khodimul Softinala Institute
Bancaakan, eh, Bacaan maksudnya
Abshar Abdalla, U. (1997). Tirani dan Benteng. Ummat.
Budi Hardiman, F. (2020). Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Kanisius.
Deutschmann, D. (2014). Che Guevara dan Revolusi Kuba. Narasi.
Hidya Tjaya, T. (2018). Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Kpg.
Plato. (2019). Apologia Socrates. Basa Basi. penerj. Atollah Renanda Yafi
Sebagai entitas yang tidak mau kalah dengan wacana struktur, ideologi yang hegemonik, dan nilai-nilai etis yang digagas oleh para cendekiawan terkemuka, Softinala tengah dihimpit oleh berbagai persoalan yang membuat manusia terkadang memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya sebagai manusia yang tangguh. Persoalan manusia, jika ditelisik lebih dalam, akan memunculkan sebuah ketidakjelasan nilai dalam kehidupannya. Krisis identitas di dalam realitas sosial, misalnya, terlihat sangat eksplisit dan perlu penanganan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal-hal yang demikian ini, adalah salah satu sebab manusia pontang-panting dalam menjalani kehidupan sebagaimana yang diharapkan. Yakni menganggap remeh segala sesuatu.
Membahas perihal nilai, tidak akan pernah ada habisnya. Karena, kita sebagai manusia memang membutuhkan nilai dalam setiap langkah untuk menyusuri jalan setapak demi setapak di dalam kehidupan. Bertemunya “wajah” orang lain, menurut Levinas, adalah panggilan etis bagi setiap manusia (Hidya Tjaya, 2018). Hal ini menandakan, bahwa manusia adalah makhluk yang tidak akan pernah terlepas dari nilai-nilai etis, sebab ia akan selalu berpapasan dengan yang lain. Urusan ada manusia yang melengos, melipir, dan lari terbirit-birit saat bertemu orang lain atau mantan kekasihnya, misalnya, itu urusannya lain. Bisa jadi, “wajah” yang dilihat oleh orang itu seperti wajah yang sangat mengerikan dan membuat mereka trauma. Takut, jika sewaktu-waktu orang lain itu menerkam kita dari berbagai arah.
Sekurang-kurangnya, Softinala memiliki beberapa nilai etis, antara lain: kesabaran, kebersamaan (kolektivitas), pertengkaran wacana, dan—ini yang saya suka—guyonan. Nilai etis tersebut, akan dijelaskan dengan narasi dan tempo yang sesingkat-singkatnya. Ya Allah! Saya lupa baca bismillah. Oke, saya akan membacanya dan para pembaca juga harus membacanya. Bismillahirrohmanirrohim.
Kesabaran
Setiap orang yang datang di Softinala, akan diuji kesabarannya. Setelah turun dari kendaraan, dan menyapa Big Boss atau Ketua Yayasan Softinala Institute, kita harus memesan sesuatu. Soal ini wajib dilakukan. Karena jika tidak, kita akan mendapatkan Surat Peringatan (SP) 1 dari beliau. Setelah memesan pun, kita harus menunggu pesanan kita datang. Wajar saja, di sini menolak keras segala pikiran praktis dan instan. Segala sesuatu yang instan, menurut Softinala, akan menghasilkan barang mentah dan jika dikonsumsi cenderung hambar. Sehingga, para customer harus sabar menunggu pesanan.
Belum lagi kalau sedang rame-ramenya. Berbagai pesanan berdatangan, dan Big Boss akan bekerja maksimal untuk melayani para pelanggan. Namun, dengan catatatan, harus bersabar. Hal inilah yang diajarkan oleh agama Islam, seperti yang dikatakan oleh Umar bin Khattab:
“Jika engkau bersabar, takdir akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapatkan pahala. Jika engkau berkeluh kesah, takdir juga akan tetap berlaku bagimu, dan engkau akan mendapat dosa”.
Sehingga, kesabaran adalah kunci untuk meraih kebahagiaan. Jika tidak sabar menunggu, silahkan cari tempat yang menggunakan konsep cepat saji. Rasakan sendiri. Bisa dipastikan, engkau tidak akan merasakan bagaimana menunggu sesuatu yang menjadi keinginanmu. Segala hal pasti memiliki proses dan dengan menikmati proses itulah, kita akan dapat menghargai hasil yang telah kita nantikan. Demikian pula dalam menjalani kehidupan. Tidak semua apa yang kita inginkan, segera terwujud saat itu juga. Semuanya membutuhkan proses pencarian, pembuatan, dan sering kali menunggu. Lihat saja, bagaimana “menunggu” adalah sesuatu yang penting dan biasa dilakukan, seperti di dalam lirik lagu Rhoma Irama (Menunggu), Iwan Fals (Kumenanti Seorang Kekasih), dan Zivilia (Aishiteru).
Para Softinalean diwajibkan untuk menunggu. Sehingga, mereka tidak akan membual dan mencela ketika menunggu seseorang. Karena, jika kita membutuhkan kedatangan seseorang, alangkah baiknya, kita yang menunggu. Kesabaran merupakan nilai etis yang diajarkan Softinala kepada kami. Setidaknya, dengan demikian, kita merasa bahwa tidak hanya datang lalu pulang begitu saja. Namun, kita di Softinala mendapatkan pelajaran tentang bagaimana kita menjadi orang yang sabar.
Kebersamaan
Pepatah mengatakan, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Sepertinya, pepatah tersebut sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bagaimana tidak, kita akan terus bertemu dengan seseorang dan bahkan berkumpul dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebuah kebersamaan adalah sesuatu yang mampu memberikan pengaruh signifikan bagi perubahan. Bahkan, pergeseran ideologi di suatu negara, dapat tercapai dengan kebersamaan. Secara historis, revolusi yang terjadi di seluruh belahan dunia, tidak akan tercapai tanpa adanya kebersamaan. Bersama-sama dalam mewujudkan visi-misi agar sesuai dengan apa yang dianggap ideal. Revolusi Kuba tahun 1959 (Deutschmann, 2014), misalnya. Jika hanya dengan kekuatan Fidel Castro saja, seorang diri, niscaya tidak akan terwujud sebuah revolusi yang menumbangkan rezim Batista. Apalagi, tanpa koleganya yang berwajah rupawan itu, Che Guevara.
Kebersamaan merupakan hal yang paling krusial dalam merubah dan melakukan sesuatu. Seperti halnya yang terjadi di Softinala. Para mahasiswa berkumpul untuk ngopi, membahas sesuatu, dan tak jarang melakukan sesuatu secara kolektif. Mereka sadar, bahwa kebersamaan akan memberikan semangat dan keberhasilan dalam sebuah gerakan. Keutuhan dalam menjaga persaudaraan dan merawat tradisi intelektual, merupakan aktualisasi nilai yang diajarkan oleh Softinala. Tidak heran, jika Softinala memiliki seorang Rektor, Presiden, Advokat, dan gelandangan intelektual yang terus menjadi pengganggu kekuasaan. Jika meminjam istilah Plato dalam Apologia Socrates, mereka adalah “lebah penyengat kuda-kuda yang malas” (Plato, 2019).
Perihal kebersamaan, agaknya tidak perlu panjang-lebar dalam membahasnya. Soal demikian, sudah mafhum bagi kita yang sudah gede ini. Tentu, kebersamaan ini berkonotasi positif. Yang negatif, biarkan itu menjadi iklim busuk yang bersemayam di Senayan dan Istana Negara.
Pertengkaran Wacana dan Guyonan
Akhirnya, kita telah sampai pada nilai terakhir dalam pembahasan kali ini, yakni pertengkaran wacana dan guyonan. Pertengkaran biasa diidentikkan dengan hal-hal yang menyakitkan, saling melukai, dan sampai berdarah-darah. Wajar saja, kata itu sering kali diartikan sebagai gelut, jotosan, dan cakar-cakaran. Pemaknaan tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, kita akan memakai istilah-istilah serupa dengan pembahasan yang memiliki spektrum lebih luas. Pertengkaran di sini, adalah dialektika wacana yang sering dikeluarkan oleh Softinalean saat nangkring di Softinala.
Wacana yang dihadirkan oleh Softinalean cukup beragam, mulai dari filsafat, politik, kebudayaan, hingga wacana humor yang menjadi sentilan. Pertengkaran wacana satu dengan yang lain berjalan penuh dengan nuansa humor. Bagaimana mereka mampu memberikan wacana dengan humor yang khas dan tangkas. Kritik mereka bisa dikatakan ittiba’ kepada Mahbub Djunaidi, Gus Dur, Bernard Shaw, Kundera, dan lain sebagainya. Tentu, dengan pengetahuan dan penguasaan masing-masing. Fenomena gojlok-gojlokan sangat kental di Softinala. Metode gojlok digunakan untuk mendorong para mahasiswa untuk terus belajar dan melakukan kegiatan intelektual dalam mengembangkan kualitas diri.
Dalam suasana dialektis seperti di Softinala, kita akan menemukan pertengkaran yang terkadang tidak memiliki ujung yang pasti. Bahkan, sering kali tanpa konklusi. Memang, mereka berdiskusi tidak menginginkan konklusi, melainkan dialektika yang berjalan terus-menerus tanpa henti. Kendati demikian, banyak juga mahasiswa yang baper dan cenderung diam—atau hanya menikmati pertengkaran—dari gojlokan tersebut. Berjimbun kritik dilontarkan oleh Softinalean kepada siapapun, utamanya kepada kekuasaan. Struktur yang memiliki potensi represif, anti-kritik, dan tindakannya selalu manipulatif adalah sasaran empuk bagi Softinalean.
Kendati proses kritis-dialektis tersebut mempunyai posisi yang cukup fundamental dalam tradisi Softinala, namun yang menjadi karakteristik Softinalean ialah mampu menjadikan humor sebagai sarana. Dengan catatan, guyonan tersebut mempunyai landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, banyak wacana humor dari Softnalean pada saat pertengkaran wacana sedang terjadi. Bagi Softinalean, “sampaikan kebenaran dengan cara guyonan”. Wacana tersebut seperti memiliki unsur magis yang subversif, melawan, dan tujuan sederhananya ialah menggelitik!
Segera mandi, ambil pakaian terbaikmu, dan pamit kepada Bapak-Ibu. Katakan kepada mereka: “Saya akan pergi ke Softinala”. Mohon doa dan restu. Lalu, berangkat!
Sekian,
Patria o Softinala!
Oleh: Dendy Wahyu Anugrah, khodimul Softinala Institute
Bancaakan, eh, Bacaan maksudnya
Abshar Abdalla, U. (1997). Tirani dan Benteng. Ummat.
Budi Hardiman, F. (2020). Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Kanisius.
Deutschmann, D. (2014). Che Guevara dan Revolusi Kuba. Narasi.
Hidya Tjaya, T. (2018). Emmanuel Levinas: Enigma Wajah Orang Lain. Kpg.
Plato. (2019). Apologia Socrates. Basa Basi. penerj. Atollah Renanda Yafi
Posting Komentar