Pena Laut - Tiap pergantian tahun, berbagai aktivitas masyarakat—saya berani tebak—sudah direncakan. Mulai dari membakar sesuatu—semangat, misalnya, atau nongkrong bersama kawan, makan-makan dengan keluarga, mengadakan sholawatan—yang ini biasanya diadakan oleh ormas dan remaja masjid, camping, hingga berkencan dengan kekasih—tapi yang satu ini enggak bahaya, ta?.
Belum lagi perencanaan dalam menjalani kehidupan dan harapan-harapan untuk setahun ke depan, biasanya diksi yang digunakan ialah ‘resolusi’. Memang beberapa tahun belakangan, ‘resolusi’ selalu laku di kalangan masyarakat remaja hingga dewasa-muda. Dengan maksud untuk merencanakan target yang ingin dicapai atau hanya sekedar evaluasi dan niatan memperbaiki diri.
Ini baik, mengingat dawuh dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa “kejahatan yang diorganisir (terencana) itu lebih baik daripada kebaikan yang tidak terorganisir (terencanakan)”.
Budaya resolusi ini bisa kita pahami melalui pendekatan filsafat Srukturalis-simbolis yang diasumsikan oleh Levi-Strauss. Lelaki ini mengatakan bahwa fenomena kebudayaan dapat ditanggapi sebagai sistem atau rangkaian tanda. Sedangkan sebuah tanda selalu memiliki makna atau bisa dikatakan ‘diberi makna’, akan tetapi makna ini berada pada tataran yang terkadang tidak disadari oleh pemberi tanda itu sendiri.
Dari pendekatan di atas, budaya resolusi merupakan budaya tahunan masyarakat untuk merefleksi dirinya dan berfungsi sebagai perencanaan atau target yang ingin dicapai setahun mendatang. Tanda dalam budaya resolusi ialah ketika menjelang pergantian tahun, dan resolusi menjadi salah satu makna yang terdapat dalam tanda tersebut.
Tulisan di atas hanya sebagai pembuka dari poin yang ingin saya tulis di sini.
Ngomongin soal resolusi, coba bayangkan ketika kamu membaca tulisan ini, kamu sedang mengharapkan sesuatu di tahun depan akan terjadi dalam kehidupanmu. Misalnya, gedung kampus yang lebih instagramable, akreditasi kampusmu yang tiba-tiba melonjak naik, atau perpustakaan kampusmu yang buku dan fasilitasnya sudah kayak perpustakaan Universitas Amsterdam. Eh, kok harapannya perihal kampus mulu? Bisa, deh, kalian berharap dapat pacar, atau uang satu milyar secara cuma-cuma. Toh, kata al-Qur an “min haitsu laa yahtasib”.
Tapi sebelumnya, ada baiknya kita bahas dulu perihal resolusi tahun baru, agar yang sudah kita rencanakan tidak hanya menjadi wacana pribadi saja. sebab, resolusi haruslah solutif, ngapain dinamakan resolusi kalau justru tidak memberikan solusi?
Cara Membuat Resolusi:
Dalam buku Secangkir Teh Manis, Qurani menjelaskan bahwa ketika menulis sebuah keputusan dari rencana—selanjutnya kita sebut ‘target’ saja, kamu harus memikirkan sesuatu yang paling mungkin bisa kamu wujudkan. Tidak perlu menuliskan atau memutuskan hal-hal besar, atau yang terlalu ‘ndakik’, jika kita ambil dari kamus Softinala. Cukup menargetkan hal-hal yang kamu yakin bisa capai dalam setahun ke depan.
Apapun solusinya, pastikan untuk menyeimbangkannya dengan religiusitas yang baik. Satu studi menemukan bahwa orang yang melibatkan Tuhan dalam semua aktivitas mereka lebih mungkin untuk mencapai tujuan mereka. Jangan hanya menjadikan resolusi sebagai tren agar tidak ‘ketinggalan kereta’ di sosial media. Perlu dicatat bahwa resolusi bukanlah parameter yang dapat menentukan keberhasilan dan keindahan impian orang. Ingatlah bahwa penyelesaian adalah permintaan yang harus dibuat sebagai bentuk tanggung jawab diri.
Resolusi setidaknya memiliki tiga fungsi yang fundamental. Yakni, pertama, sebagai bentuk afirmasi untuk pikiran. Menjadi pribadi yang lebih baik bukanlah hal yang mudah, perlu tahapan-tahapan sistematis dalam mewujudkan hal ini. Mencatat target resolusi adalah salah satu caranya.
Kedua, memberikan rasa yang damai. Dalam hidup terkadang banyak sekali cobaan yang terpaksa kita harus cobain untuk melatih dan menumbuhkan kedewasaan seseorang. Dan yang ketiga ialah, menjadi panduan untuk mencapai tujuan. Seringkali kita lupa dengan tujuan hidup ketika bertemu dengan hal-hal yang menggiurkan, mencatat resolusi menjadi alternatif bagi kamu yang suka lupa diri.
Meninjau dari ketiga fungsi di atas, saya menyarankan kepada bapak Rektor IAI Ibrahimy untuk mencatat dan membuat resolusi untuk lembaga kampus yang dinaunginya. Sebab, resolusi ini memiliki banyak manfaat yang nantinya akan berimbas kepada para mahasiswa. Mumpung tahun baru, jadi lebih baik membuat perencanaan dulu, perihal tercapai atau tidak, kita kembali pada prinsip Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan dalil al-Qur an di atas. Opitimis! Target-target ini bisa ditulis, dicetak, atau pasang di homescreen agar rekomendasi ini tidak sia-sia.
1. Penambahan Gedung Untuk Mahasiswa
Seperti yang kita tahu, beberapa kelas di Ibrahimy sampai menggunakan auditorium yang disekat dengan baja ringan. Sudah begitu, kalau menjelang sore datang, mahasiswa yang bertempat di sana harus rela matanya minus karena silau matahari yang menembus kaca ruangan dengan kejam.
Ini target pertama. Jika kita mau menelaah secara spesifik, coba hitung dulu berapa kelas yang tidak kebagian ruangan di hari mahasiswa sedang padat-padatnya. Lalu bangun gedung sebanyak itu saja dulu. Atau kalau masih keberatan, coba buat kebijakan agar mahasiswa membawa kacamata hitam setiap menggunakan ruang kelas siluman di auditorium yang di sekat itu.
2. Memperbaiki Kualitas Perpustakaan
Poin kedua ini memang kurang populer, sebab hanya berapa persen mahasiswa yang sering datang ke perpustakaan. Tapi bagaimanapun, perpustakaan adalah ruang belajar yang sebenar-benarnya bagi mahasiswa, sedangkan ruang kelas adalah tempat dialektika dan transformasi pengetahuan.
Coba bayangkan ketika mahasiswa sedang di kantin, lalu mereka menengok ke arah selatan, mereka pasti melihat berdirinya ruang perpustakaan yang terlalu dipojokkan di sana. Ini bukan sebuah kesetaraan gedung. Bagaimana mungkin gedung kantin lebih tampak daripada ruangan perpustakaan, jika dilihat dari ruang kelas mahasiswa? Kalau misalnya resolusi ruangan perpustakaan ini terlalu tidak mungkin, saya menyarankan sebuah inovasi agar gedung kantin itu diberikan rak-rak yang diisi buku. Agar mahasiswa dapat membaca buku Arkeologi Pengetahuan milik Michel Foucault, atau Madilog sembari ‘nyambeli’ cilok. Menarik, bukan?
3. Akreditasi Kampus Yang Segera Naik Ranking
Ini bagian yang paling mengesalkan, karena semua orang harus bekerja sama dalam menaikkan ranking Institut. Tapi bagaimanapun, ini tanggung jawab bersama dan seorang rektor harus mampu memberikan komando.
Namun, poin ketiga ini bisa diloncati untuk tahun 2024. Sebab, resolusi harus terukur (measurable). Dan jika ranking akreditasi ini tercapai alhamdulillah. Tapi kalau tidak, coba lihat mahasiswa yang sudah merencanakan ikut CPNS ketika lulus, dan mendapati kampus mereka tidak masuk kriteria, kira-kira bagaimana perasaan mereka?
4. Iklim Akademik Menjadi Tugas Seluruh Pihak
Sudah empat bulan Pak Fahruddin Faiz menjadi pembuka pintu pengetahuan mengenai Kultur Intelektual. Tapi selama itu pula, iklim belum mencapai permukaan, apalagi substansinya.
Meskipun sebenarnya poin keempat lebih cenderung sebagai evaluasi—sebab Tridharma Perguruan Tinggi akan tercapai dalam iklim akademik yang bagus, Hal ini akan saya sebut ‘sesuatu yang perlu diresolusi’ saja.
Jika iklim tidak mampu diubah melalui metode ceramah, maka pakai metode jemput bola. Kenalkan kultur yang katanya menjadi idaman itu kepada mahasiswa melalui keseharian mereka. Ajak mereka untuk membahas isu-isu aktual. Coba gali gagasan dan ide-ide mereka tentang masyarakat sesuai dengan bidang masing-masing.
Sebetulnya masih banyak resolusi untuk dikerjakan di tahun 2024. Jangan cuma presiden dan dewan-dewan yang baru, solusi juga harus segera diperbarui agar semakin solutif. Itu saja saran dari saya, jika memang dirasa terlalu 'ndakik', mungkin Pak Rektor punya gagasan dan resolusi yang lebih membumi, dan lebih acceptable di kalangan civitas akademika IAI Ibrahimy.
Sebetulnya masih banyak resolusi untuk dikerjakan di tahun 2024. Jangan cuma presiden dan dewan-dewan yang baru, solusi juga harus segera diperbarui agar semakin solutif. Itu saja saran dari saya, jika memang dirasa terlalu 'ndakik', mungkin Pak Rektor punya gagasan dan resolusi yang lebih membumi, dan lebih acceptable di kalangan civitas akademika IAI Ibrahimy.
Dan jika mungkin segenap Pembaca yang budiman juga ingin menyarankan resolusi di 2024, 2025, dan seterusnya boleh-boleh saja, kok. Bisa tulis di kolom komentar.
Oleh: Hafid Aqil
Posting Komentar