BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Menggugah/t Eksistensialisme PMII Ibrahimy

Eksistensialisme, mahasiswa, PMII IAI Ibrahimy

Pena Laut
- Banyak narasi yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan dengan rasionalisasi pendukungnya. Narasi ini menarik mengingat bahwa mahasiswa senantiasa berada dalam pihak oposan dan pembaharu dari sistem yang dianggap timpang. Belum lagi mahasiswa sebagai manusia, makhluk eksistensialis yang menjadi salah satu peran sentral dalam peradaban kehidupan yang absurd.

Sejak abad Modern, yakni sejak munculnya diktum Descartes yang berbunyi “cogito ergo sum” pasca renaissance Eropa, telah berhasil mempengaruhi kehidupan manusia secara signifikan. Unsur eksistensialis mewarnai corak filsafat setelah Descartes pada abad ke-XX, terutama di daratan Eropa. Namun, lagi-lagi masyarakat kontemporer seolah-olah hanya menafsirkan narasi itu berhenti pada “cogito” yang artinya aku berpikir, sebagai perjalanan mencari esensinya sendiri, tapi melupakan “ergo sum” sebagai tanggung jawab atas keberadaan dirinya.

Di Jerman dan Prancis, eksistensialisme semakin berkembang pesat, selain sebagai reaksi dari ketidakstabilan zaman pada waktu itu, juga sebagai antitesis dari filsafat materialisme yang dianggap belum bisa memuaskan masyarakat modern. terutama setelah perang besar, filsafat ini seolah-olah menjadi suatu hal yang kontemplatif. Manusia ingin mengetahui eksistensinya sendiri(?) (Kholidin 2022).

Dari dinamika itu, muncul banyak filsafat yang fokus pada pembahasan keberadaan (baca: eksistensi) manusia. Salah satu di antaranya ialah seorang filsuf dari Prancis bernama Jean Paul Sartre. Berbagai tulisan Sartre telah menggugah bangkitnya semangat kebebasan dan perjuangan di banyak negara terjajah. Kematangan tulisan dan dipadukan dengan konsep yang jelas tentang kebebasan dari pemikirannya menyebabkan para filsuf sesudahnya tetap menjadikan pemikiran Sartre sebagai bagian dari genealogi pemikiran mereka.

Bicara perihal Sartre, saya berpikir bahwa sebuah eksistensi merupakan konsep yang padu jika bersanding dengan keberadaan suatu entitas atau kelompok yang absurd, termasuk bagaimana kader PMII Ibrahimy dan pergerakan yang kian hari makin menemukan titik jenuh. Kejenuhan tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi zaman yang menghambat gerakan mereka, namun bisa pula dianggap pemahaman atas eksistensinya yang berujung tumpulnya gerakan sosial-kemasyarakatan.

Sebelum itu, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu eksistensialisme humanis ala Sartre.

Eksistensialisme Humanis dan Absurditas


Eksistensialisme Humanis adalah salah satu pemikiran Sartre di dalam karya-karyanya. Sartre begitu menikmati sekaligus mengkritik filsafat terdahulu seperti Kant, Hegel, Kiergekgaard, hingga Heidegger.

Sartre dengan eksistensialisme humanis dianggap sebagai antitesis dari para pemikir sebelum dirinya. Adapun penjelasan Sartre mengenai konsep pemikirannya akan banyak membahas tentang kebebasan seorang manusia tentang keberadaan mereka di dunia ini melalui lima pendekatan, yaitu; La Nausse, L’etre-pour soi, L’etre-en soi, La Liberta, dan La’autrui.

Untuk memahami Sartre ada beberapa poin wajib yang harus diketahui dalam eksistensialisme. Pertama, eksistensi mengikuti esensi. Dalam hal ini bagi Sartre, manusia adalah pengada yang sadar (l’etre-pour soi), dan kesadaran (l’etre-en soi). Manusia sebagai kesadaran subjek atau kesadaran itu sendiri. Sebagai kesadaran subjek, maka manusia akan membutuhkan objek untuk bertindak sesuatu dengan kesadaran yang dimilikinya. Oleh karenanya, manusia adalah suatu entitas yang “pasti” akan berbaur dengan ruang dan waktu (Mahmuddin Siregar 2015).

Pendekatan La Liberta (kebebasan) muncul ketika kesadaran atas diri dan kesadaran atas subjektivitas manusia tumbuh. Ini bagian yang sulit, sehingga Sartre menganggap manusia telah dikutuk untuk sadar, serta dikutuk menjadi bebas. Sebab dalam kebebasannya, manusia memiliki tanggung jawab kepada manusia lainnya (hablun minal an-naas). Sehingga dalam konsep ini, manusia akan menghadapi la’autrui (manusia dengan manusia lainnya).

Paham eksistensialisme Sartre menempatkan manusia pada kebebasan sekaligus tanggung jawab atas kebebasan itu. kebebasan yang bersifat abstrak hanya akan menepatkan manusia untuk tidak dapat menghayati keberadaannya sendiri dan terjerumus kepada absurditas. Adapun tanggung jawab itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untuk semua manusia.

Eksistensialisme dan Gerakan PMII Ibrahimy


Tak dapat dipungkiri, gerakan mahasiswa telah mampu memberikan dampak signifikan bagi kehidupan dan tatanan sosial masyarakat. Mahasiswa dikenal sebagai suatu entitas yang bangun untuk kebenaran melalui gerakan sosial mereka, tak ayal mahasiswa banyak disebut sebagai agen perubahan. Catatan emas perjuangan mengatakan bahwa beberapa kali mahasiswa mampu memberikan dampak hingga perubahan pada tatanan sosial masyarakat. Termasuk juga organisasi-organisasi mahasiswa yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa, yang mengambil peran fungsi sebagai distributor penanaman ideologi kepada para pemuda itu.

Sebagai salah satu organisasi mahasiswa di Institut Agama Islam Ibrahimy, PMII yang bernaung dalam kampus ini rasa-rasanya belum menemukan nilai dirinya yang esensial. Banyak pola gerakan yang berubah hanya karena bergantinya masa kepengurusan. Banyak orientasi yang inkonsisten secara “tidak sadar” yang diakibatkan oleh kondisi realitas, seperti tekanan dari pengampu kebijakan internal organisasi maupun kampus, yang seolah-olah abai dengan gerakan mereka, hingga konflik horizontal yang mereka temui dengan organisasi mahasiswa yang lain.

Tiga premis utama persoalan yang dihadapi oleh organisasi ini, yakni; hakikat keberadaan dirinya (etre = kesadaran), sistem kaderisasi, dan persoalan mental yang belum matang. Saya akan coba bahas satu-persatu.

Pertama, hakikat keberadaan (kesadaran). Seperti kata Sartre yang mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk eksistensialis, gerakan PMII Ibrahimy tidak menemukan orientasi yang padu dengan kondisi internal organisasinya. Meskipun pola pengkaderan masif yang dilakukan oleh orang-orang (pengurus) di dalamnya sangat layak mendapatkan apresiasi. Namun persoalan utama dari orientasi dan latar belakang terbentuknya organisasi ini belum pantas untuk dikatakan selesai. 

Gerakan-gerakan itu sama sekali tidak berdampak signifikan bagi kader mereka sendiri maupun lingkungan sekitarnya, sehingga dapat kami katakan bahwa inilah absurditas dalam tubuh PMII Ibrahimy.

Saya mencoba menggunakan logika deduktif dalam memahami persoalan ini, jika Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk sadar dan bebas, maka PMII Ibrahimy pun juga dikutuk dengan hal yang sama. Karenanya, kesadaran itu perlu dibangkitkan. PMII Ibrahimy perlu mencapai tingkat l’etre-pour soi, Pengada yang sadar akan diri sendiri, dan lebih lanjut penjelasan Sartre yakni; “pengada yang sadar akan subjek dan objek” (Mahmuddin Siregar 2015).

Namun konsekuensinya, dijelaskan lagi oleh Sartre, karena manusia itu pengada yang sadar (l’etre-pour soi), persoalannya menjadi rumit. Setelah kesadaran itu tumbuh, maka akan muncul tanggung jawab. Ini merupakan salah satu persoalan esensial dalam organisasi. Tanggung jawab organisasi dalam pengembangan dan arah gerak kader.

Kebebasan dalam berorganisasi tanpa adanya kesadaran akan tanggung jawab berorganisasi hanya akan berujung pada pola kaderisasi yang kurang rapih, bahkan cenderung absurd (tidak jelas). Pertanyaan salah satu kader yang menghampiri saya tentang ‘apa tujuan PMII Ibrahimy secara ideologis dan praktis yang akan ditawarkan kepada para kader?’ masih belum saya temukan jawabannya.

Kebanyakan senior hanya akan menjawab “jadikan PMII sebagai ladang berproses”, namun, ketika ditanya proses apa yang dimaksud, kebanyakan mereka kesulitan menjawab. Ini menunjukkan jawaban seperti di atas hanya sebagai pemanis lidah dan jawaban yang aman dari pertanyaan kritis semacam itu. Ini mengakibatkan sistem kaderisasi yang terkesan kuat dari segi aksidental, tapi lemah secara esensial.

Tujuan yang tertuang dalam Bab 4 AD/ART PMII merupakan pasal yang jelas, sekaligus multitafsir. Dikatakan jelas karena menjadikan arah gerakan organisasi menjadi tidak timpang. Tapi juga multitafsir, karena strategi untuk mencapai tujuan akan dibebaskan bagi para pimpinan organisasi untuk merumuskan formula yang ideal sesuai dengan kondisi sosial di lingkungan tiap tingkatan PMII bernaung. Formula itulah yang kelak akan menjadi sistem pengkaderan di tubuh PMII Ibrahimy.

Yang terakhir ialah persoalan mental yang belum matang. Sikap yang kurang dewasa dalam menghadapi problematika dan ketidakterimaan atas segala bentuk kondisi yang terjadi, seolah-olah menjadi penghalang besar bagi organisasi untuk segera memiliki pola pikir eksistensial dan dewasa. Hal-hal semacam sakit hati dan—yang biasa mereka sebut—seleksi alam, hanya akan menghalangi proses kaderisasi untuk segera sampai kepada tujuan yang sudah saya sebutkan di awal.

Sikap penerimaan atas suatu kondisi dan problematika apapun merupakan bagian dari kesadaran dan tanggung jawab yang berjalan beriringan. Persoalan menggugat eksistensialisme di tubuh PMII Ibrahimy juga mencakup manusia di dalamnya. Sebab, prinsip eksistensial disini bukan hanya dalam ranah kelompok, melainkan juga individu yang sejak awal telah memutuskan untuk berdiri bersama dalam organisasi.

Oleh karena itulah, PMII Ibrahimy sebagai salah satu dari sekian banyak organisasi mahasiswa, perlu menciptakan keberadaannya dan berdiri dalam posisi terbebas dari pengaruh apapun. Namun perlu diingat, bagi segala bentuk kebebasan memiliki konsekuensi tanggung jawab yang menghantui di belakangnya.

Maka dalam hal ini, gerakan PMII Ibrahimy perlu untuk terus bebas melawan pemikiran, dan sudah seharusnya siap terhadap segala tekanan dan gangguan sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebebasan bergerak yang dimiliki organisasi.

Sumber Literatur

Kholidin, Muhammad Iqbal. 2022. “Gerakan Mahasiswa Dan Eksistensialisme Ala Sartre.” https://lsfdiscourse.org/gerakan-mahasiswa-dan-eksistensialisme-ala-sartre/.

Mahmuddin Siregar. 2015. “Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre.” Yurisprudentia 01 No. 02: 30–46.

Oleh: Hafid Aqil
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak