BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Masyarakat Konsumeris (Ikhtisar Pemikiran Jean Baudrillard)

Masyarakat Konsumeris, Budaya Konsumtif

Pena Laut
- Manusia, sebagai makhluk hidup di dunia ini memiliki banyak kebutuhan dalam kesehariannya. Entah itu kebutuhan untuk memenuhi perut, kebutuhan untuk ngopi, nge-rokok, dll. Yang jelas, banyak sekali kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dalam kesehariannya. Dengan mbuladaknya berbagai tetek bengek kebutuhannya itu, tentu manusia tidak bisa terlepas dengan perbuatan “Konsumsi”. Konsumsi merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Melalui aktivitas konsumsi (mengonsumsi), setiap individu dapat mudah untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Apalagi di zaman teknologi sekarang, manusia semakin mudah untuk meraih kebutuhan hidupnya itu.

Membincang mengenai aktivitas konsumsi, maka tentu tidak akan terlepas dari seorang yang bernama Jean Baudrillard (1929-2007). Ia merupakan seorang filsuf, sosiolog, pakar kebudayan yang berasal dari Prancis. Tak heran, berkat ia memfokuskan pikirannya dalam menganalisis budaya konsumeris, membuat namanya banyak dikenal di berbagai kalangan. Dari ketiga karyanya: The System of Object, The Consumer Society; Myths and Structures, dan Simulations, ini yang menunjukkan bahwa ia sangat fokus betul menganalisis tentang masyarakat konsumeris.

Pada tulisan ini, Penulis akan memaparkan sekelumit pemikirannya—tanpa bermaksud mereduksi—mengenai mayarakat konsumeris.

Pada abad ke-19, Karl Marx berhasil memperkenalkan dua nilai objek, yakni nilai-guna dan nilai-tukar. Nilai-guna adalah kegunaan barang, sedangkan nilai-tukar adalah harga barang. Kemudian Baudrillard memperluas gagasan Marx dan membuat terobosan pemikiran baru. Tak heran, karena Baudrillard adalah seorang filsuf post-modern—walau ia sebenarnya enggan disebut demikian—yang sebagian pemikirannya diinisiasi oleh pria berjenggot tebal itu, Marx.

Baudrillard mengatakan bahwa: “dibawah era kapitalis lanjut, mode of production telah digantikan oleh mode of consumption”. Bukan lagi produksi yang menjadi dominan masyarakat sekarang—post-modern, tetapi kini yang dominan adalah aktivitas konsumsi. Hal ini ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi, yang semula bertujuan untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan, menuju ke arah pemuasan hasrat dan gaya hidup. Nilai guna konsumsi bukan lagi dilihat dari segi manfaatnya, melainkan dilihat dari segi tanda atau simbolnya. Pakaian bukan lagi dilihat dari kebutuhan untuk menutupi badan, tetapi kini pakaian memiliki nilai tersendiri untuk bisa dikatakan layak pakai.

Setiap individu dalam masyarakat konsumeris mempunyai keinginan untuk terus menciptakan jurang pemisah antara dirinya dengan orang lain. Ia akan selalu mengonsumsi produk-produk yang dianggap akan memberikan atau meningkatkan status sosialnya, mengesampingkan pemikiran apakah ia membutuhkan produk tersebut atau tidak. Konsumen mengonsumsi produk bukan karena kebutuhannya, melainkan untuk memperoleh status sosial melalui nilai simbolis yang diberikan produk tersebut. Sepeda, motor, mobil, dsb. bukan lagi dilihat dari nilai fungsinya sebagai alat transportasi, tetapi alat-alat itu memiliki nilai tersendiri untuk bisa menunjukkan status sosialnya.

Orang yang kaya raya, jika tidak mengonsumsi tanda atau simbol dari orang kaya, maka ia tidak dianggap sebagai orang kaya. Ia kaya tapi hanya memakai hp Nokia ‘boto’, apalagi sekedar naik sepeda ‘ungklik’, dengan pakaian yang ‘morat-maret’, maka ia akan dianggap sebagai orang yang miskin. Sebaliknya, orang yang miskin, jika ia memakai hp Iphone, menaiki mobil BMW, maka ia akan dianggap orang yang kaya. Fenomena seperti inilah yang banyak terjadi di era post-modern. Ketika konsumsi manusia mengalami pergeseran makna. Bukan lagi dilihat dari nilai fungsinya, tetapi dilihat sebagai simbol status sosialnya. Dari hal inilah yang menyebabkan masyarakat termanipulasi oleh struktur tanda (petanda dan penanda).

Ketika ada iklan sabun Shinzui, misalnya. Yang memasang tokoh anggun dan menawan yang berkulit putih. Tak jarang, seseorang membeli sabun itu dengan dasar: agar putih seperti tokoh yang dipertontonkan. Padahal, tokoh yang dipertontokan masih belum tentu benar-benar putih karena mengunakan sabun itu. Contoh lagi dikalangan agamawan: fenomena seseorang yang ujung kepalanya—“batok-nya”—hitam, yang menunjukkan bahwa ia adalah orang yang ‘alim. Ketika anda termanipulasi oleh penanda, maka anda akan mengerahkan segala tenaganya, agar batok anda menjadi hitam, entah itu digesekkan ke aspal, ditatap-tatapne tembok, dsb. Yang penting penanda sebagai orang alim tercapai, bukan tercapainya hakikat dari orang alim itu sendiri. Realitas yang seperti ini tentu banyak terjadi di era sekarang, apalagi dikalangan akademisi. Seperti, mahasiswa yang cenderung mengejar nilai A, agar dianggap pintar, namun ia enggan memperluas wawasannya, mempertajam pikirannya, dsb. Cenderung berfokus pada penandanya, dan mengesampingkan hakikat dari sesuatu itu sendiri.

Fenomena seperti inilah, oleh Baudrillard disebut dengan realitas “simulacra” (semu/tiruan). Ketika realitas yang sebenarnya di”sama”kan dengan tanda-tandanya. Ketika isi pesan dikalahkan oleh pengemasan pesan. Ketika mengonsumsi bukan karena butuh, melainkan karena ingin penanda atau simbolnya, dengan mengesampingkan hakikat dari sesuatu itu sendiri. Kiranya tak salah bila Baudrillard mengatakan: “Masyarakat kini, pada akhirnya hidup dengan memakai topeng”.

Seperti inilah gambaran sederhana mengenai realitas “Masyarakat Konsumeris”, perspekif Jean Baudrillard.

Wallahu A’lam.

Oleh: Hilmi Hafi R.
Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak