Pena Laut - Perpustakaan merupakan suatu lembaga literasi yang didalamnya pastilah terdapat berbagai banyak buku dengan berbagai genre. Mulai dari buku pelajaran biasa, novel, jurnal, dan lain-lain. Jika kita menggunakan adagium bahwa buku merupakan jendela dunia, maka wajib adanya di sebuah instansi, apalagi instansi Pendidikan seperti kampus yang katanya suatu tempat untuk mengembangkan intelektualitas dari para mahasiswa. Berarti, perpustakaan di suatu kampus bisa dikatakan sebagai core. karena dengan adanya perpustakaan, mahasiswa dapat mengembangkan intelektualitasnya, dan juga membuka cakrawala pengetahuan melalui buku-buku yang dibacanya.
Akan tetapi, saya melihatnya berbeda di suatu instansi Pendidikan yang cukup masyhur di banyuwangi, yakni Institut Agama Islam Ibrahimy Genteng. Kampus islam yang indah, dengan warna hijau yang menjadi ciri khasnya. Saya sebagai mahasiswa disana, seakan-akan skeptis jika perpustakaan di kampus ini sebagai core. Pasalnya, di kampus ini (sepengalaman saya) perpustakaan hanya untuk dilewati, bukan untuk dikunjungi, seakan-akan seperti tempat yang terbengkalai. Hanya beberapa persen saja mahasiswa yang mengunjunginya, pun juga sebentar. Entah untuk benar-benar membaca buku, gosip, atau hanya untuk ngisis saja. Tetapi sebenarnya terserah mereka kesana ngapain, toh juga termasuk fasilitas yang diberikan kepada para mahasiswa, kan?
Kali ini saya akan memaparkan beberapa faktor yang membuat Lembaga tersebut terlihat sepi seperti bangunan terbengkalai. Yang pastinya berdasarkan keluhan saya, dan teman-teman mahasiswa yang saya kenal, yakni:
Pertama, Tempat Yang Kurang Strategis.
Kita semua tahu, bahwa penempatan perpustakaan IAI Ibrahimy berada di lantai satu, paling pojok timur dari bangunan kampus ini. Entah bagaimana dahulu mengkonsep perpustakaan ini berada di pojokkan, kenapa kok tidak ditengah?, seperti halnya; koperasi. Saya pernah mendengar bahwa ada salah satu mahasiswa kampus ini tidak mengetahui dimana keberadaan dari perpustakaan ini. Bahkan, jika dilihat dari kantin kampus pun yang posisinya saling berhadap-hadapan, papan tulisan “Perpustakaan IAI Ibrahimy” kurang kelihatan (samar), karena tertutup dengan pohon. Memang cukup miris tentang persoalan penempatan ini.
Kedua, Banyaknya Buku Yang Terbengkalai.
Didalam perpustakaan ini, saya mengakui banyak buku yang unik, bersejarah, dan juga menarik untuk dibaca. Yang saya maksud bukan seperti buku yang menjurus tentang mata kuliah yang biasanya rigor. Akan tetapi seperti; novel, buku-buku bersejarah seperti buku karangan tan malaka, sok hok gie, Muhammad yamin, dan lain-lain yang biasanya para mahasiswa sangat tertarik untuk membacanya. Sayangnya, saya sendiri menemukan buku-buku ini tidak pada tempat yang yang sepantasnya seperti buku yang lain. Yakni, pada tumpukan buku di belakang yang hanya berada didalam kardus yang sudah tidak layak.
Juga banyak beberapa buku yang menjurus kepada mata kuliah, yang tidak berada pada tempatnya. Contohnya saya menemukan buku tentang hukum, tetapi berada di rak yang bertuliskan “Pendidikan”. padahal jika hal ini tidak segera dirapikan Kembali, maka akan amburadul. Dan pastinya menyulitkan mahasiswa untuk menemukan buku yang ia maksud.
Ketiga, Prosedur Peminjaman Buku Yang Menyulitkan
Ihwal prosedur peminjaman buku ini, termasuk faktor terbesar yang membuat perpustakaan ini terlihat sepi seperti terbengkalai, karena prosedur didalamnya yang menyulitkan. Karena tidak mungkin mahasiswa membaca di perpustakaan satu buku sampai khatam, pastilah mereka memilih meminjamnya (dibawa pulang). Tetapi, per mahasiswa jika ingin meminjam buku haruslah mempunyai kartu anggota perpustakaan. Yang untuk mendapatkannya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp.50.000. Nominal yang membuat para mahasiswa cukup ragu jika akan membuatnya, pun didalam kartu tersebut ada masa berlaku yang cukup singkat. Yang berarti jika kartu itu sudah melewati masa berlaku yang telah ditentukan, harus membuatnya lagi. Tetapi, jika saya lihat-lihat tidak jauh berbeda dengan KTM, hanya sedikit yang membedakan.
Saya berangan-angan kenapa kok tidak pakai KTM saja ya? Atau menyerahkan data dari mahasiswa misal; nama, prodi/fakultas, alamat, dan nomor telepon?, karena isi dari kartu tanda anggota perpustakaan sama seperti data dari mahasiswa seperti contoh diatas. Malah jika hanya menyerahkan data seperti itu, saya yakin tidak akan memberatkan mahasiswa yang ingin meminjam buku.
Keempat, Pelayanan Yang Kurang Ramah
Memang hal ini terlihat sepele, dan tidak terlalu berpengaruh. Sepengalaman saya ketika begitu masuk di perpustakaan, sikap dari penjaga perpustakaan hanya melirik saja, bahkan kadang tidak menoleh sama sekali, seolah-olah tidak ada yang masuk. Tidak ada sambutan Ketika pengunjung masuk, ataupun sedikit senyuman pun tidak ada. hal ini mengakibatkan bagi setiap pengunjung yang masuk akan merasa kurang enak ataupun sungkan. Padahal jika penjaga perpustakaan memberikan sambutan minimal dengan senyuman, pastilah rasa kurang enak dari pengunjung akan hilang. Dan tidak bisa dipungkiri, bisa saja mereka semakin semangat berkunjung di perpustakaan.
sebenarnya tulisan ini hanya untuk mengingatkan kembali kepada pihak yang terkait, karena saya sebagai mahasiswa juga memiliki hak untuk merawat dan melestarikan tradisi intelektual mahasiswa. Khususnya pada hal literasi seperti ini. Tetapi, jika pihak terkait tidak ingin membenahinya dan tetap bersikap apatis, ya terserah. Namun, seyogyanya pihak terkait harus teliti dengan masalah ini. Mengingat kembali bahwa kampus adalah sebuah instansi Pendidikan! yang didalam dunia pendidikan pastilah tidak terlepas dengan yang namanya buku. Dan kita semua tahu bahwa perpustakaan lah tempat dari kumpulan beberapa buku yang dapat menunjang kebutuhan primer dari para mahasiswa nya.
Dan juga kepada teman-teman mahasiswa yang terhormat, kalian itu orang yang kritis, sebagai agent of control, agent of change, dan juga sebagainya, katenye. Tapi apakah bisa mencapai itu semua tanpa dibekali oleh literasi yang cukup? Sudahlah, bangunlah dari hibernasi mu, kawan!
Ahmad Browen Danifusunan.
Posting Komentar