BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Karakteristik Intelektual (Ilmuwan) Perspektif Fahruddin Faiz

Intelektual, Karakteristik, Fahruddin Faiz

Pena Laut
- Kalangan Gen-Z terutama generasi pergerakan, siapa yang nggak kenal Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag, seorang akademisi dan dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Beliau juga sering aktif mengisi kajian Ngaji Filsafat, di mana filsafat yang sering dihubungkan dengan keruwetannya, tetapi beliau menyampaikan dengan begitu renyah, sehingga mudah dicerna oleh akal. Oktober kemarin beliau mengisi “Seminar Nasional : Banalitas Intelektual dalam Perspektif Filsafat” di kampus hijau IAI Ibrahimy, Banyuwangi. Banal dalam KBBI adalah kasar, tidak elok, biasa sekali. Banalitas sering diartikan sesuatu yang sebenarnya salah, tetapi dianggap wajar oleh sebagian orang. Dalam menjaga kemampuan intelektual agar tidak disalahgunakan dan penyalahgunaan dianggap wajar, maka perlu adanya karakter yang fardu ain ada pada diri setiap seseorang. Intelektual (selanjutnya disebut ilmuwan) adalah

1. Profesional dan Bertanggung Jawab terhadap ilmu yang dimiliki

Profesional bukan dalam arti mampu beradaptasi dengan berbagai disiplin ilmu, beliau memberikan penjelasan yang dimaksud profesional adalah menguasai, memperdalam satu disiplin ilmu, jadilah pintar dalam keahlian masing-masing tidak cukup hanya itu, tetapi juga harus bertanggungjawab dengan ilmu yang dimiliki. Tanggung jawab sosial juga diperlukan ilmuwan, kenapa? Karena dalam struktur masyarakat, ilmuwan berada di tengah antara para elit dengan lapisan masyarakat kelas bawah. Lapisan tengah merupakan posisi strategis untuk menjangkau kelas atas dan merambah kelas bawah. Bayangkan apa yang terjadi jika seorang ilmuwan menyalahgunakan kecerdasannya pasti yang dilakukan hanya menimbulkan kemudharatan, kerusakan di muka bumi. 

2. Memiliki Rasa Kasih Sayang

Ilmuwan yang memiliki kecerdasan yang tinggi haruslah memiliki rasa welas asih antar sesama manusia, sebagai makhluk yang diberi kepahaman dalam satu bidang ilmu maka ia harus momong bagi yang belum paham, apabila terdapat perbedaan dalam berpendapat, maka tidak boleh membencinya apalagi iri dan dengki, ilmuwan yang pembenci akan sangat berbahaya bagi yang dibenci. Ilmuwan haruslah menghiasi diri dengan akhlak mulia. Dengan demikian orang yang benci akan luluh sendiri.

3. Mampu Menjaga Diri

Menjaga ilmu, bukan perkara mudah, apalagi dalam ihwal menjaga diri dari sesuatu yang menjerumuskan, berhati-hati dalam bertindak, selalu berhati-hati dalam setiap tindakannya, sebab menghargai dirinya dan ilmu yang ada dalam dirinya, meskipun hanya sekedar mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Ilmu itu jernih, jangan dicampur adukkan dengan kotoran, kejernihan apabila dicampur dengan yang kotor, maka akan menjadi kotor. Pintar-pintarlah menjaga diri, menjaga pertemanan, menjaga hatimu. Selain dalam rangka menjaga kejernihan ilmu, juga harus menyadari bahwa sebagai orang berilmu itu menjadi panutan masyarakat. Beribu kebaikan yang dilakukan akan ternodai dengan satu tindakan salah. Maka tuntutannya, harus siap menjadi poros yang baik. Jadilah sunnatan hasanatan, bukan sunnatan sayyi’atan.

4. Selalu Mengasah Kecerdasan

Ilmuwan tidak mudah puas dengan ilmu yang dimilikinya, semakin terus mengarungi lautan ilmu, maka akan semakin merasa tidak tahu apa-apa. Dengan ketidaktauan inilah akan membuat ilmuwan terus haus akan ilmu. Tidak berhenti di situ saja, tetapi terus ber-muhasabah diri, “Apakah ilmu hanya yang ada dalam diriku, tetapi masih banyak yang belum aku ketahui”. Ilmuwan senantiasa menghafal ulang (Muraja’ah), karena apabila tidak dihafal atau dipahami secara terus-menerus, maka akan menyebabkan lupa terhadap ilmu yang dimilikinya.

5. Mampu membagi ilmu dan Menghasilkan karya

Ilmuwan itu harus pintar membagi ilmunya, salah satu kebermanfaatan yang dapat dirasakan adalah dengan cara disebarluaskan. Tidak menjadi penghalang bagi seseorang yang bukan jurusan tarbiyah atau keguruan saja. Mengutip dari kitab Adabul Ta’lim Wal Muta’allim, mengajarkan ilmu yang dimilikinya sebagai bentuk melestarikan, memelihara, dan menjaga ilmu. Mantan Rais Syuriah PBNU, KH. Ahmad Ishomudin menjelaskan bahwa, “Termasuk kemungkaran, orang alim yang menyembunyikan ilmunya”. Maka, sudah selayaknya ilmu itu dibagikan. Salah satu upaya membagi ilmu adalah melalui karya. Bentuk karya bisa berupa tulisan. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Orang boleh sekolah setinggi-tingginya, tapi apabila ia tidak menulis maka ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah”. Menulis akan terkenang sepanjang masa, terlepas dari siapapun yang membaca.
Maka dari itu, belajarlah. Ilmu bagaikan perhiasan bagi penyandangnya. Berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Ilmu adalah jalan pada kebaikan, penyelamat dari segala kesulitan, semoga kita semua semangat dalam mencari ilmu.

Sumber literatur

Kitab Adabul Ta’lim Wal Muta’allim

Baihaqi, W. (n.d.). Tanggung Jawab Ilmuwan Dalam Masyarakat.

Baihu. (2020). ETIKA MENUNTUT ILMU ILMU MENURUT KITAB TA'LIM WAL MUTA'ALIM. Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam, 106-110.

Buku Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer

https://nu.or.id

Oleh: Hasrul M. Kidam  



Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak