BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

Anti Hierarki: Sebuah Pembelaan Terhadap Warga Negara Yang Golput

Golput, Anti-Hierarki, Demokrasi, Pemilu 2024

Pena Laut
- Jika ada rasa tidak percaya terhadap kandidat atau partai, jika tidak ada rasa percaya terhadap sistem politik, jika tidak adanya keyakinan akan perubahan maka bolehkah menjadi golput?

sikap skeptis terhadap pemilu dengan menjadi golput di Indonesia adalah sah, karena prinsip kebebasan dalam menggunakan hak suara menjadi fondasi yang kuat. Tidak memberikan suara dalam pemilu, atau golput, dianggap sebagai hak konstitusional yang dilindungi oleh negara. Pemilih dapat dengan bebas mengekspresikan pendapat mereka melalui golput tanpa harus khawatir akan sanksi pidana. Ketentuan ini terwujud dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, yang secara tegas menjamin kebebasan seseorang untuk memilih dan memiliki keyakinan politiknya. Hal ini menandakan bahwa negara mengakui pentingnya memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk menjalankan hak konstitusional mereka tanpa campur tangan yang merugikan.

Sikap skeptis terhadap pemerintahan mencerminkan ketidakpercayaan atau keraguan terhadap kebijakan, tindakan, atau transparansi pemerintah. Orang yang memiliki sikap skeptis terhadap pemerintahan mungkin meragukan niat atau efektivitas lembaga-lembaga pemerintah.

Beberapa bentuk sikap skeptis terhadap pemerintahan meliputi:

1. Ketidakpercayaan terhadap kebijakan: Orang yang skeptis terhadap pemerintahan mungkin meragukan kebijakan-kebijakan yang diusulkan atau diimplementasikan, serta mempertanyakan motivasi di balik kebijakan tersebut.

2. Kurangnya transparansi: Skeptisisme terhadap pemerintah sering kali muncul ketika ada kurangnya transparansi atau ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.

3. Ketidakpuasan terhadap kinerja: Orang dengan sikap skeptis terhadap pemerintahan mungkin merasa tidak puas dengan kinerja lembaga-lembaga pemerintah, termasuk keefektifan dalam menangani isu-isu publik.

4. Rasa ketidakadilan atau diskriminasi: Skeptisisme dapat muncul jika ada persepsi bahwa pemerintahan tidak adil atau terlibat dalam tindakan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

5. Ketidakpercayaan terhadap integritas: Skeptisisme seringkali muncul ketika orang meragukan integritas atau etika dari pejabat pemerintah, termasuk dugaan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

Sikap skeptis terhadap pemerintahan adalah respons alami terhadap situasi di mana kepercayaan publik terhadap otoritas pemerintah terpatahkan. Penting untuk memahami bahwa skeptisisme dapat menjadi katalisator perubahan positif dan memotivasi tindakan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas pemerintahan terhadap kebutuhan warga negara. Diskusi terbuka, advokasi perubahan, dan partisipasi aktif dalam proses politik dapat menjadi cara-cara untuk mengatasi ketidakpercayaan dan merestorasi kepercayaan dalam pemerintahan. Sikap skeptis berpotensi berubah menjadi sikap anti-hirarki terhadap pemilu yang mencerminkan pandangan bahwa sistem hirarki atau struktur otoriter dalam proses politik, termasuk dalam pemilihan umum, dapat menjadi penyebab masalah atau ketidaksetaraan. Meskipun beragam dalam bentuknya, sikap ini sering mencerminkan ketidakpuasan terhadap cara pemilihan umum yang diorganisir dan dijalankan.

Beberapa contoh sikap anti-hirarki terhadap pemilu melibatkan:

1. Penghindaran partisipasi: Beberapa individu yang memiliki sikap anti-hirarki mungkin memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu sebagai bentuk protes terhadap sistem yang dianggapnya otoriter atau tidak adil.

2. Pemilihan alternatif: Orang-orang dengan sikap anti-hirarki mungkin cenderung mendukung atau mempromosikan bentuk-bentuk partisipasi politik alternatif yang lebih terdesentralisasi atau horisontal, seperti aksi langsung, konsensus, atau model partisipasi langsung.

3. Kritik terhadap sistem pemilu: Sikap anti-hirarki dapat tercermin dalam kritik terhadap sistem pemilu yang dianggap terlalu terpusat pada elit politik atau partai-partai besar, dan mungkin kurang mewakili kepentingan dan aspirasi rakyat secara keseluruhan.

4. Advokasi reformasi demokratis: Beberapa individu atau kelompok mungkin berusaha untuk mereformasi sistem politik secara lebih fundamental, mencari solusi yang lebih terbuka, transparan, dan inklusif dalam proses pengambilan keputusan politik.

Penting untuk dicatat bahwa sementara sikap anti-hirarki dapat mencerminkan kritik yang penting terhadap ketidaksetaraan atau ketidakadilan dalam sistem politik, juga penting untuk mencari solusi konstruktif dan berpartisipasi dalam dialog politik yang dapat membawa perubahan positif. Pendekatan kolaboratif dan reformasi yang bijaksana dapat menjadi langkah-langkah menuju sistem politik yang lebih adil dan demokratis.

Oleh: Diaz Parengkuan  

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak