BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W
BWlBduTUUim65BmNoRNRwZwviGLcUft1snoGQp4W

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Bawah Artikel

Recent

Bookmark

10 Desember : Perayaan Tahunan Hari HAM Internasional Yang Kosong

Human Rights

Pena Laut
- Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Right selalu diperingati pada 10 Desember sejak 75 tahun silam. Hari HAM Internasional ditandai dengan penandatangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan kebebasan mendasar seluruh umat manusia dalam menjalani kehidupan. Seperti pada umumnya piagam, deklarasi ini memasukkan poin-poin jaminan hak individu dimanapun tanpa membedakan bangsa, jenis kelamin, agama, Bahasa, dan status lainnya. Namun, dibalik judul perayaan yang identik dengan rasa bahagia, peringatan HAM selalu disambut dengan peristiwa pelanggaran HAM yang silih berganti dari waktu ke waktu. Sebut saja perang antara Palestina dengan Israel dan perang antara Rusia dengan Ukraina belakangan ini.

Seperti tidak pernah belajar dari masa lalu, pelanggaran HAM seperti sebuah siklus yang berulang-ulang terjadi, baik antara Individu dengan Individu, Individu dengan Kelompok, Kelompok dengan Kelompok bahkan Negara dengan Negara. Dunia mencatat kekejaman pemberangusan hak kebebasan atas hidup dilakukan secara brutal dan absolut oleh sebagian rezim atau pemerintahan di Dunia. Peristiwa menohok seperti rezim Adolf Hitler, Benito Mussolini dan konflik israel-palestina seharusnya menjadi alarm atas peristiwa masa lalu yang kelam bagi seluruh umat manusia.

Kita perlu mengulas peristiwa penting tonggak lahirnya HAM agar kita tidak tersesat dalam memaknai hari HAM Internasional dan merayakan kekosongan belaka. Penulis mencoba bernostalgia dengan segenap peristiwa tonggak lahirnya HAM seperti Piagam Madinah (622 Masehi), Piagam Magna Carta (1215 M), American Bill of Right (1689 M) dan Declaration Des Droits De I’Homme et Du Citoyen (1789) yang hampir keseluruhan peristiwa tersebut menolak praktik absolutisme dan kesewenang-wenangan, diskriminasi fisik dan gender, perbudakan, ketidakadilan dan memperjuangkan kesetaraan baik Suku, Bangsa, Ras maupun Agama. Lebih ringkasnya termaktub dalam tiga semboyan Revolusi Prancis yaitu kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persahabatan (fraternite).

Pelanggaran HAM bisa terjadi manakala terdapat entitas yang mengatur kebebasan kehidupan suatu individu atau golongan dengan cara sewenang-wenang, merugikan dan mencelakai. Meski hampir keseluruhan peristiwa diatas berlatarkan kehidupan bangsa feodal yang sarat akan absolutisme istana, bukan berarti pelanggaran HAM tidak bisa terjadi di era yang lebih terbuka dan demokratis. Pelanggaran HAM di negeri kita seperti momok yang setiap saat bisa menghantui segenap bangsa Indonesia. Kendati telah Merdeka dan menjamin HAM lewat konstitusi, Indonesia juga beberapa kali gagal menegakkan HAM, sebut saja peristiwa penculikan aktivis pro-reformasi, genosida G30-S PKI, Petrus, Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan mei 1998, peristiwa wasior dan wamena, pembunuhan masal dukun santet 1998, dll.

Sejatinya, hak manusia sangatlah luas dan kompleks. Tan Malaka dalam bukunya “Dari Penjara ke Penjara” menyebutkan bahwa hak manusia berkaitan dengan kehendak anggota masyarakat untuk melakukan perlindungan diri. Secara spesifik Tan Malaka membagi hak manusia menjadi dua yaitu kehendak mau hidup (kehendak positif) dan kehendak jangan mati (kehendak negatif). Dalam penjabaran yang lebih konkret, kehendak positif adalah kemampuan manusia dalam mencari hidup seperti makan, minum, pakaian dan kebutuhan sekunder, sebaliknya kehendak negatif adalah menolak bahaya dari penyakit dan kelaparan.

Semua peristiwa tonggak lahirnya HAM adalah bentuk perjuangan hak yang artinya perjuangan merebut hak yang positif dari hak yang negatif. Maka akan terlalu sempit jika kita memaknai perjuangannya HAM akibat praktik kesewenang-wenangan yang disebabkan dorongan kekuasaan. Perjuangan tersebut lahir justru karena kesadaran mutlak suatu individu aatau golongan akibat hak-haknya dibatasi. Artinya, selama terjadi kesadaran perampasan atas hak hidup, maka saat itu juga terjadi pelanggaran HAM.

Perayaan sesungguhnya dari peringatan HAM bukan hanya membangkitkan memori masa lalu dari praktik yang terjadi pada suatu bangsa, melainkan dengan membangkitkan kesadaran individu bahwa manusia berhak atas kehidupannya. Persis seperti definisi HAM oleh John Locke, yakni HAM adalah hak yang dibawa sejak lahir secara kodrati melekat pada setiap manusia yang bersifat mutlak dan merupakan pemberian Tuhan mencakup persamaan dan kebebasan yang sempurna. Untuk menunaikan hal itu, peringatan HAM semestinya tidak diseremonialkan setahun sekali, melainkan setiap hari dan setiap saat selama manusia hidup di Dunia. Sebab HAM bukanlah tragedi yang sekali seumur hidup terjadi, melainkan peristiwa yang akan terus menerus terjadi dan melekat selama manusia hidup di muka bumi.

Oleh : M. Haddad Alwi Nasyafiallah  

Posting Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah Dengan Bijak